Fiction
Cerita Pendek : Dunia Bapak

10 Mar 2019


 
“Oleh karena syairnya tak pernah naik kelas, maka bapakmu beralih pada hobi lainnya. Mengarang cerita. Berawal di Pantai Padang sore itu.” Ceritanya terhenti ketika ia menepikan mobilnya di depan sebuah toko kecil. Toko itu sudah tutup.
 
“Tunggu sebentar di sini.” pintanya tergesa. Ia bergegas turun dari mobil menuju rumah di belakang toko. Seorang perempuan muncul dari balik pintu rumah itu, bahkan sebelum sempat Apak Asrul mengetuknya.
 
Wanita beruban itu menyerahkan sebuah bungkusan yang langsung diterima oleh Apak Asrul.
 
Setelah percakapan singkat yang mengharukan, itu kesimpulanku karena wanita itu tampak membendung air matanya dengan kedua tangan, mereka berpisah.
 
Wanita itu masih berdiri di depan pintu saat Apak Asrul mulai memacu mobilnya. Aku menurunkan sedikit kaca jendela sehingga ia dapat melihatku. Kami saling bertukar senyum hingga saat mata kami tak lagi saling menangkap.
 
“Mak Risa, kawan abak kau juga. Waktu kecil kami sering dibagi karupuak sanjai oleh amaknyo. Abak kau paling suka karupuak sanjai saka. Tapi kubawakan juga karupuak balado di sini. Buku pertamanya ditulis ditemani karupuak ini.”
 
Ia menyerahkan bungkusan itu padaku. Semoga Bapak masih sempat menikmatinya sebelum komplikasi penyakit itu benar-benar membawanya pergi. Aku mengangguk seraya menyampaikan terima kasih.
 
”Apak boleh lanjutkan ceritanya?” pintaku memohon.
 
Ia terdiam sejenak. Mungkin mengingat-ingat di mana ia mengakhiri ceritanya tadi.
 
“Ah ya. Di Pantai Padang. Demi melihat ombak yang bergulung damai, abak kau teringat cerita Malin Kundang. Semua anak Padang menyayangi amaknyo. Tidak satu pun ingin berakhir seperti Malin Kundang si anak durhako. Menjadi batu dan mungkin berlumut. Tapi lain dari biasanya, abak kau tidak bersyair, melainkan menyusun paragraf pendek untuk dimasukkan dalam bukunya. Aku lupa isi paragraf itu.”
 
Ia terkekeh sebentar, lalu kembali muram.
 
Aku ikut tertawa. Di jalan lengang ini malam tidak seramai jalan Jakarta. Mungkin akan menyenangkan, jika aku tumbuh besar di sini. Mobil kami berjalan pelan melewati landmark kota ini. Jam Gadang menjulang gagah, meski telah berumur. Bapakku asli daerah ini. Tapi, ini pertama kalinya aku memiliki kesempatan melihatnya langsung.
 
Seperti tahu apa yang kuperhatikan. Apak Asrul memacu mobilnya lebih lambat lagi. Sekilas namun pasti aku terpaku pada angka empat di jam itu. Ia tidak dibuat sebagaimana angka Romawi yang kuketahui.
 
Lalu Apak Asrul bijak melanjutkan ceritanya, “Isi paragraf itu disimpannya sampai kami remaja. Abak kau mulai senang menulis khayalannya. Meski terseret-seret sehingga memakan waktu lama akhirnya dia menyelesaikan tulisan Ibu itu. Di tiap kesempatan dia memintaku membaca tulisannya. Di tiap itu juga kubilang tulisannya kacau. Sampai-sampai dia mengubahnya berulang-ulang di banyak tempat. Terkadang di bab 1 terkadang di bab 5. Padahal, kubilang kacau karena aku pun tak tahu tulisan bagus itu seperti apa. Aku kan tidak suka membaca,” tawanya pelan dan tertahan.
 
Ah, ternyata mereka benar-benar sahabat tanpa sekat.
 


Topic

#cerpen, #fiksi

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?