Fiction
Cerber: Sebatas Aurora [1]

3 Jun 2017

Bagian 1
 
SEDETIK SETELAH MENGAKHIRI PERCAKAPAN singkat dengan seseorang di ujung telepon, mendadak gurat wajah Radit mengeras. Matanya berkecamuk. Dipandanginya pesawat telepon yang kini membisu dengan kening berkerut kencang. Pikirannya diliputi konflik. Benarkah itu?
            Sesaat Radit menimbang-nimbang. Mengetuk-ngetuk jemarinya dengan cepat di atas meja, tanda ia dalam kegelisahan yang parah. Sedetik kemudian ditariknya langkah menuju ke tepi  jendela. Termenung panjang di sana. Ada kemarahan yang membakar hatinya, memeras perasaannya demikian hebat. Tapi, entah kenapa ia masih belum sepenuhnya memercayai kebenaran informasi yang baru saja didengarnya itu.
Radit mengusap peluh yang tiba-tiba membanjiri tengkuknya. Padahal,  alat pendingin udara di dalam ruangan berukuran empat kali lima yang sedang didiaminya bekerja normal seperti biasa. Mungkin, degub jantungnya yang berdetak kencang, memompa aliran darahnya lebih cepat dari biasa, membuat peluh itu mengucur deras.
            Ah… Radit menggeleng cepat. Mencoba mengabaikan informasi itu. Mungkin itu hanya orang iseng yang ingin mencuri perhatiannya di siang yang panas ini, bisik hatinya menenangkan. Melangkah kembali ke meja kerja. Menjatuhkan tubuhnya di kursi. Ada banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan dan lebih membutuhkan perhatiannya, daripada memikirkan gosip murahan yang belum tentu kebenarannya.
Radit menarik napas. Melirik sesaat ke luar jendela. Menemukan pucuk angsana yang mengintip dari jendela lantai tiga ruang kerjanya bergoyang lembut dipermainkan angin, seperti mengangguk daun itu berkata, membenarkan kata hatinya yang gelisah. Radit tersenyum tawar. Tak ingin terhanyut lebih jauh.
            Dihimpun kembali seluruh konsentrasinya yang sempat berantakan karena telepon singkat yang diterimanya beberapa menit yang lalu. Menatap huruf-huruf dan angka-angka yang tertera pada lembaran kertas di hadapannya dengan tatapan tajam dan fokus. Seakan tak ada yang lebih penting dari itu. Namun, baru beberapa detik berlalu, pikiran Radit kembali melayang. Kenapa ini? Ada apa dengan hatinya? Di hadapan kertas-kertas yang sedang ditekuninya, kenapa pikirannya justru tersedot pada satu wajah. Walau hatinya tak sepenuhnya meyakini kebenaran informasi itu, ia tak mampu mengingkari, hatinya telah terusik.
            Radit menutup lembaran kertas di tangannya dengan cepat. Mencari-cari sesuatu di antara tumpukan buku di sudut meja. Benda yang selalu sulit ditemukan di saat-saat genting seperti ini. “Brak!” Ada yang terjatuh. Jurnal laporan keuangan tak sengaja tersenggol tangannya dan kini berserakan di lantai. Namun, Radit benar-benar tak peduli. Begitu kunci mobil yang dicari berhasil ditemukan, Radit bangkit. Melangkah cepat. Membuktikan firasat  yang menenggelamkannya pada perasaan galau  yang teramat dalam.
            Bam!!! Pintu ditutup dengan kencang. Minie, sekretaris Radit yang sedang asyik mengetik, tersentak. Belum pernah Minie melihat bosnya menutup pintu dengan kasar. Apalagi memperlihatkan wajah segugup itu. Walau baru beberapa bulan Minie menjadi sekretaris Radit, ia tahu persis  bosnya bukanlah tipe lelaki yang meledak-ledak. Tapi, kenapa sekarang berbeda? Pembawaan bosnya yang biasanya selalu tenang dan penuh wibawa kini dibalut ketegangan yang terlihat jelas. Minie menggigiti bibir, cemas. Baru saja Minie bersiap-siap mengingatkan jadwal meeting dengan klien penting beberapa menit lagi, Raditya, bosnya, sudah menghilang dan tak terlihat lagi. Tubuh itu seperti tersedot ke dalam mesin waktu dan hilang menjadi debu.
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?