Hari ini.
Mereka bertatapan, gugup seperti dua ekor binatang liar yang tiba-tiba berhadapan di tengah hutan. Re mundur. Tak ada jalan keluar. Dinding kayu yang beku menyentuh ujung bahunya. Ia menggeser beberapa langkah ke kanan sambil berbisik pada dirinya sendiri untuk tidak panik.
Tapi, pepohonan saling bertabrakan mengeluarkan bunyi seperti melolong. Ditingkahi jendela kayu yang berderak-derak dibentur angin tanpa henti. Sementara di luar, terpampang jalan tanah yang sempit, terus-menerus diterjang hujan yang kini berubah menjadi semacam anak sungai. Badai tampak lebih menakutkan seperti tak ada batas antara langit yang telanjang dengan tempat terpencil ini. Ia merasa seolah tengah berlutut dalam pusaran badai.
Tanpa terduga, sebuah bunyi keras memekakkan menghantam jendela kecil itu, melemparnya seperti piring terbang. Jendela yang terempas itu, melongo, menganga, memamerkan alam yang dahsyat ke arah lautan di mana ombak mengamuk dan menggerus tiap bibir pantai yang disentuhnya, kemudian memecah menjadi buih-buih putih yang menggerombol meraksasa. Lautan yang luas bergolak dengan kegilaan yang tak bisa ditawar, apalagi diredam. Dan mereka terjebak! Di situ.
Angin menampar wajah Re, memaksanya untuk memicingkan mata. Sementara dari celah-celah bilah bambu, tak ubahnya pencuri yang mengendap-endap masuk, udara yang gigil mulai menerobos dalam diam.
“Lompati api itu!” teriakan lelaki itu menyadarkannya. Napas Re naik-turun dengan cepat. Tapi, dia masih membatu di tempatnya.
“Menjauhlah dari jendela itu!”
Lelaki itu menyadari keraguan Re, menghitung dengan cermat lalu detik berikut, ia melompat. Badannya berkilat dalam cahaya api, datang melayang dengan kecepatan tinggi. Dalam sekejap, sudah berada tepat di depan Re. Dadanya yang bidang menabrak dahi Re. Lelaki itu mundur selangkah tanpa mengalihkan pandangan dan Re berdiri kaku laksana sebuah patung, balik menatap dengan terkesima.
Sekian jeda berlalu dalam diam yang menyiksa membuat Re lupa akan perasaan malu. Dalam cahaya api unggun, tubuh lelaki itu seakan memerah. Re ingin bicara, tapi mulutnya terkunci. Pikirannya menjadi bernyala-nyala terhadap lelaki yang berdiri sangat dekat di hadapannya. Terlalu dekat hingga jari-jarinya seperti terbakar.
Belum hilang rasa terkejutnya, tanpa berkata sepatah pun, lelaki itu menarik tangannya dengan satu sentakan kuat dan menyeretnya menjauhi jendela yang menganga. Menuju bagian sudut yang lebih terlindungi. Sedikit tekanan di bahunya, isyarat dari lelaki itu agar mereka segera merunduk. Bersimpuh di lantai tanah yang membeku. Re merasakan gigil mencubiti seluruh permukaan kulit. Apalagi hanya dengan selembar pakaian melekat di tubuhnya.
Dalam cuaca yang menggila, mereka merasakan badai seolah menancapkan kukunya di pondok tua yang sebagian sudah doyong ke samping itu.
Mereka mendengar suara dengkingan angin menyapu dinding kayu, suara gemuruh laut yang bergejolak seakan belum puas memuntahkan isi lautan dan suara keributan di puncak-puncak pohon.
Tiap saat api yang akan mati itu bergerak, berayun-ayun dan Re menanti dengan waswas. Di tengah kegaduhan angin dan dalam kesuraman yang mencekat, tercium asin laut merambas, bergantungan di udara. Bibir Re bergeletar membiru.
Lelaki itu seperti dapat menebak jalan pikiran Re. Ia merapat dan tanpa ragu merenggut tubuh Re, memeluknya. Gerakan yang mengejutkan itu membuat Re tercekat. Ia dapat mendengar denyut nadi lelaki itu. Aroma tubuhnya. Hangat embusan napasnya. Re hampir tak berani bernapas. Apalagi bergerak.
Tangan lelaki yang kokoh itu membenamkan kepala Re ke dalam dadanya dan kehangatan perlahan namun pasti menjalar, menjelajahi ujung jemari Re hingga kepala. Berbalur dengan kenyamanan yang mampu mendobrak kebekuan di kulitnya. Lelaki itu telah menghilangkan gigilnya dan mengembalikan kesadarannya. Rasa yang telah lama hilang itu kini dicecapnya bersama seorang lelaki asing.
Lelaki itu mempererat dekapannya, dengan suara seakan berasal dari negeri yang jauh, ia berbisik menenangkan, “Tenanglah, ini agar kau tidak terkena hipotermia.”
Suara lelaki itu meredam gelisahnya. Re menghitung menit-menit yang berlalu, tapi terasa seabad baginya. Lalu nyala api yang mulai menyuram itu akhirnya benar-benar hilang dalam pandangan. Re tak memiliki gambaran apa pun di kepalanya.
Rangkaian kalimat panjang penuh protes yang siap merentet keluar, menghilang begitu saja. Tak ada sesuatu yang benar-benar dapat membawanya lari dari kekacauan sesaat, selain bayangan pepohonan yang melintas di benaknya dengan akar kokoh mencengkeram. Itu adalah akar pepohonan mangrove yang selama ini ia rawat sepenuh hati, yang akhirnya turut menggelap di matanya.
***
Tanaman mangrove yang didominasi jenis rhizophora dan burgruera itu menjulang tinggi memenuhi sebagian besar pantai. Sementara di beberapa titik, bibit-bibit mangrove berjajar rapi membentuk barisan tersendiri.
Re dan Jinan melemparkan pandangan puas pada kerja keras mereka beberapa bulan belakangan. Di tiap bibit, tampak tujuh hingga delapan helai daun yang bermunculan. Sayangnya, tadi malam angin kencang melanda pulau. Re mengkhawatirkan robohnya bibit mangrove yang baru mereka tanam. Bila tak segera dibenahi, bibit itu akan hanyut dan pekerjaan mereka sia-sia belaka.
Tak peduli dengan panas yang menyengat dan peluh yang bersimbah, Re terus melangkah, membiarkan kakinya terendam air laut hingga sebetis. Ia berjalan hati-hati di antara jalur tanam di mana simpul yang satu dengan simpul lainnya berjarak sekitar satu meter. Matanya mencari dengan saksama ajir-ajir yang roboh. Dan tiap kali menemukannya, ia menancapkan kembali pasak dari potongan bambu itu dengan kuat hingga separuh bilahnya terbenam.
Dengan cekatan, ia mengikat ulang batang bibit yang terlepas dari ajir menggunakan tali rafia. Sesekali, ia juga mencabut tanaman liar yang tumbuh di sekitar bibit. Re mengembuskan napas lega. Untunglah tak banyak bibit yang hanyut. Mungkin terdengar konyol. Tapi bagi Re, mangrove ini adalah bayi-bayinya.
Lalu terdengar teriakan Jinan. Re menoleh dan mendapati Jinan melambaikan tangan kuat-kuat. Re memicingkan mata yang silau karena garangnya sinar matahari. Tangan Jinan yang lain menunjuk sebatang bibit yang sebagian daunnya menguning dan bahkan ada yang sudah rontok. Re menelan ludah. Serangan kutu loncat. Harus segera disingkirkan agar tidak berimbas pada tanaman yang lain.
“Aku harus menyingkirkan ini!” teriak Jinan lagi.
Re segera mengangguk dan memberi kode ok. Jinan berlalu meninggalkannya. Sebelum makin jauh, gadis itu kembali berteriak, “Jangan lupa, sekaligus pantau kelulusan hidup di bagian sini!”
Jinan memang cerewet, tapi Re tak keberatan karena rekannya itu pekerja keras yang sangat teliti. Saat Jinan kembali, Re sudah memulai pekerjaannya yang lain. Mengontrol para bapak yang sedang menyemprot bibit mangrove dengan air laut untuk mencegah parasit berkembang biak. Karena aroma buah segar disenangi serangga dan kepiting. Untungnya serangga tidak suka menempel pada daun yang mengandung garam.
Tak betah berdiam diri, Re menggendong salah satu alat yang tergeletak menganggur di pasir dan mulai bergerak menyemprot.
“Re, tunggu!” cegah Jinan.
Re menoleh dan urung menyemprot.
“Kau sudah dengar berita itu?” Jinan bertanya dengan hati-hati.
“Soal NGO asing yang akan bekerja sama dengan kita?”
“Sepertinya Novan belum bicara padamu, ya?” Jinan mendesah.
“Beberapa hari lagi kudengar mereka datang. Memangnya kenapa?” Re tak mengalihkan pandangannya. “Toh, kita sudah sering kedatangan para ilmuwan asing itu.”
Jinan mengibaskan tangan kuat-kuat. “Kali ini bukan soal penelitian karakteristik mangrove, tapi...,” Jinan menggantung kalimatnya. Lalu ia berbicara dengan setengah berbisik, “Kupikir Novan merasa tak enak hati padamu, jadi dia belum bilang.”
Re menggeletakkan alat semprot di pasir yang landai. “Jangan bertele-tele. Katakan sekarang. Kau membuatku penasaran.”
“Ok. Tapi, kuharap kau tak terkejut.”
“Hei, kenapa kau bertingkah aneh seperti ini?” cetus Re, mendapati Jinan yang tampak gelisah.
“Kerja sama kali ini tentang pelatihan pengambilan data terumbu karang.”
Sekian jeda dalam hening. Baik Jinan maupun Re sama-sama membisu.
Akhirnya, Jinan memberanikan dirinya bicara. “Novan sudah berusaha menolak dengan menjelaskan bahwa sejak tiga tahun ini kau tidak lagi memegang divisi kelautan, tapi kantor pusat tak mau kompromi. Mereka tahu benar kau memegang lisensi scubadiving.”
Re masih terdiam. Tanpa bisa dicegah, pikirannya terseret ke tiga tahun lalu. Sesuatu yang kerap membuatnya terbangun tengah malam dengan keringat dingin. Re menggigit bibir. “Aku tak sanggup menyelam lagi.”
“Aku tahu. Kau masih belum bisa melupakan Mailo, bukan?”
***
Re ingat benar, ketika pertama kali ia melihat Mailo. Caranya berdiri dan memandang ke laut, itu yang membuat Re tak tahan untuk tidak mengamatinya diam-diam dari jauh. Seperti seekor predator mengintai mangsanya.
Ada sesuatu dalam diri lelaki itu yang membuatnya sangat berbeda. Ia begitu menyatu dengan alam sekitarnya dan begitu akrab dengan para nelayan, seolah-olah dia adalah bagian dari mereka. Dari balik lensa teropongnya, Re menangkap ada keteduhan bermain di balik bulu matanya.
Mata cokelat dan tenang itu kini menengadah ke langit. Ke arah barat, tempat warna oranye menggantung di sana, di antara awan-awan yang mulai menggelap. Kemudian ia mengalihkan pandangan pada sebatang kayu yang tergeletak pasrah di pasir.
Mailo mulai mendorong sebuah perahu ketinting milik lelaki tua yang kelelahan, yang segera saja tertawa lebar dan membiarkan Mailo menolongnya. Diletakkannya kayu tadi di dasar perahu sehingga perahu itu dapat meluncur dengan mudah. Kini ia beristirahat untuk mengatur napas. Dahinya basah oleh keringat dan pipinya mengilap. Angin yang dingin bertiup lirih, lelaki itu terlihat menikmatinya, mengarahkan wajah ke arah datangnya angin dan membiarkan rambutnya meriap.
Re mengerjap. Matanya menghangat. Hampir tiga tahun berlalu, namun ia merasa masih bernapas di hari yang sama.
Kini matahari betul-betul tenggelam. Ranting pepohonan berayun kelabu ditelan senja. Jalan di sekitar situ cukup menyulitkan. Dengan batu-batu hitam yang licin dan lebar. Bagi yang belum terbiasa, besar kemungkinan ia akan tergelincir, bila tak hati-hati. Re berusaha mencari jalan tanpa salah di antara bebatuan dan akar pepohonan yang menonjol, meski sesekali terantuk.
Ia melewati lapangan kosong yang biasa dipakai anak-anak bermain, tak jauh dari sebuah sekolah dasar tempat ia biasa mengajar ekstrakurikuler konservasi lingkungan tiap hari Sabtu. Di kejauhan, terdengar air pasang membawa suara gemuruh dan laut mulai menggelap. Laut selalu menghitam sesaat sebelum bulan muncul.
Ketika ia menyapukan pandangan jauh ke atas, di sekitar lereng bukit, ia melihat cahaya terang memancar dari jendela mercusuar itu.
Malamnya, angin kencang bertiup bercampur hujan. Angkasa dan lautan disesaki dengan keributan dan dengkingan angin. Re teringat, angin yang lumayan dingin meniup dan menerpa kapal-kapal di dermaga sewaktu matahari terbenam sore tadi. Cuaca di pulau ini memang tidak bisa ditebak. Selalu berubah dengan tiba-tiba.Re tak menyadari, malam ini pantai diteror ombak yang datang menggunung dan kepiting berkejaran, berlomba mencapai daratan yang lebih tinggi.
***
Terjaga dari pingsannya, Re mendapati suatu bayangan yang asing dan samar-samar, berdiri di seberang api. Ia sangsi, apakah ia sedang bermimpi. Bertolak belakang dengan hal terakhir yang diingatnya adalah api yang mulai padam.
Ada seorang lelaki bertelanjang dada berdiri di sana dengan rambut yang meriap menyentuh tengkuk, tengah membentangkan sehelai kaus untuk dikeringkan di dekat api. Berdiri seperti itu, bagian tubuh atasnya tampak jelas. Bahu yang kokoh dan kulit berkilat tertimpa bias cahaya dari api.
Ketika Re sadar bahwa ia sedang tidak bermimpi, tiba-tiba suatu gagasan melintas di otaknya yang memang tengah kacau. Ia memutuskan untuk berpura-pura tertidur hingga dapat mengawasi terus-menerus lelaki di depannya dengan mata setengah tertutup. Dan memang tubuh itu begitu enak dipandang tanpa bergerak sama sekali. Tak pernah terbayangkan, meski dalam imajinasinya sekalipun, ia akan terjebak badai bersama seorang lelaki asing.
Tubuh yang berdiri di depannya itu mengingatkannya akan Mailo. Roman wajah yang selalu bermandikan air laut dan dada lebar yang menandai jejaknya sebagai seorang penyelam. Bahkan dekapannya pun mengingatkan Re pada cara Mailo memeluknya. Hanya Mailo yang pernah memeluknya sehangat itu.
Re berulang kali berbisik pada dirinya sendiri agar tak larut dengan perasaannya. Karena lelaki itu tak mungkin Mailo. Lelaki itu masih bernapas, sedang Mailo... spontan sesuatu merangsek dadanya. Nyeri yang hebat.
Lihatlah baik-baik, Re. Wajah mereka tidak sama. Jadi, berhentilah berkhayal. Ini bukan seperti sinetron picisan tentang saudara kembar yang terpisah. Mungkin ia terlalu merindui Mailo sehingga apa yang ada pada diri lelaki ini dianggapnya menyerupai.
Re menguatkan diri dan mulai merasa takut, jangan-jangan sikap pura-puranya diketahui.Ia lalu membuka mata lebar-lebar.Namun sosok lelaki itu tetap mengabur. Ia mengintip dari celah-celah nyala api yang kini sudah hampir menjangkau atas kepalanya dan tubuh itu menjadi tak terbedakan dari gerak-gerik nyala api itu sendiri. Re mengerjapkan mata. Kini bahkan nyala api tampak seolah bergerak-gerak di pipinya. Ada perasaan bersalah dengan berpura-pura tidur. Tapi, apakah ia bersalah bila ia kini bangun? Keberaniannya timbul dari alasan yang wajar.
“Kau sudah baikan?”
Lelaki itu mendekat, berjongkok dan memajukan wajahnya. Tabrakan pandangan itu tak terelakkan lagi. Re merasa tak waras untuk sesaat ketika asin laut bercampur aroma men’s cologne itu menguar dari tubuh lelaki di depannya. Bahkan lelaki ini memiliki aroma yang sama dengan Mailo. Bagaimana mungkin!
***
Belajar, bermain, bersahabat dengan alamMembangun jiwa yang sehat dan cerdas untuk selamatkan lingkungan
Menumbuh kembangkan rasa setia kawan
Perilaku jujur dan peduli lingkungan untuk jadi generasi penerus
Itulah kami, hei!
Itulah kami, hei!
Itulah kami, Anak Peduli Lingkungan.
Lagu itu dinyanyikan dengan penuh semangat oleh sekelompok anak kelas enam sekolah dasar yang tergabung dalam kelompok Anak Pencinta Lingkungan. Mereka baru saja usai melahap materi mengenai lingkungan hidup yang diajarkan Re. Pihak lembaga konservasi tempat Re bekerja memang selama ini menjalin kerjasama dengan sekolah setempat untuk memperkenalkan program konservasi dengan menyisipkannya pada kegiatan ekstrakurikuler.
Re berjalan bersama rombongan anak-anak yang tetap ceria, meski harus berjalan kaki sekitar setengah jam dari tempat penyemaian benih menuju lokasi penanaman.
“Aku boleh ikut?” lelaki itu, entah dari mana, mendadak muncul begitu saja. Dengan kamera digital tergantung di leher, membuatnya lebih mirip seperti turis yang kesasar di pulau terpencil.
Bagaimana mungkin ia menolak permintaan orang yang sudah menyelamatkannya dari badai?
“Kau yakin mau ikut? Mungkin ini akan membosankan.” Entah kenapa, berhadapan dengan lelaki ini membuatnya salah tingkah.
“Ini muridmu?” tanya lelaki itu, mengedip jenaka. “Kau tak ada potongan seorang guru,” godanya lagi.
“Aku memang bukan guru,” balas Re, masih dengan sedikit kikuk.
Lelaki itu tergelak. “Ok, bukan ibu guru ini mau ke mana?”
“Menanam bibit mangrove.”
Lelaki itu memasang wajah tak yakin.
“Jangan meremehkan anak-anak ini. Mereka sudah menanam dan merawat lebih dari tiga ribu bibit mangrove, apa kau tahu?” ujar Re, bangga.
***
Re memanjat tangga batu yang rendah di sebelah aliran air hingga menggapai tempat di mana ia dapat mendengar suara mata air. Dengan bantuan senter, ia dapat melihat dengan jelas mata air itu. Air yang bening melimpah dari celah batu berlumut menuju sebuah tempat penyimpanan air yang lebih besar, seperti sebuah kolam yang dibatasi batu-batu alami dan salah satu sisinya meluber.
Kucuran air meluncur ke bawah melalui sela-sela lumut, meliuk-liuk dan menimbulkan irama tersendiri. Sesekali terdengar seruan burung hantu. Suasana agak ribut oleh kepak sayap yang menghantam dedaunan dan ranting hingga menimbulkan bunyi kemeresek. Diikuti bunyi-bunyi binatang malam lainnya dan diiringi gemercik air yang meluber.
Dia benar-benar sial. Lupa mengecek persediaan bahan bakar. Padahal, Jinan sudah mengingatkannya minggu kemarin, persediaan mereka sudah menipis. Genset tak dapat menyala. Tentu saja pompa air bakal mati total. Penduduk di pulau ini sangat tergantung pada genset. Minggu ini giliran dia piket. Tak enak rasanya kalau harus merepotkan Novan dan yang lainnya. Re merutuki dirinya yang pelupa. (Bersambung)
Baca juga:
Cerber: More Than Blue [2]
Cerber: More Than Blue [3]
Topic
#FiksiFemina
