Fiction
Cerber: Kota Kelahiran [3]

16 Oct 2017


Dalam perjalanan menuju kafe, Rose mengajakku melipir  ke Marche Jean Talon, salah satu pasar tradisional  yang tak jauh dari kafe. Karena pasar itu dibangun secara terbuka, pedagang dan pembeli sama-sama mengenakan baju musim dingin.

Menurut Rose, sekali sebulan ia dan Ibu datang ke pasar ini. Bukan hanya untuk berbelanja buah dan sayur yang dijajakan oleh para petani setempat, melainkan juga untuk menikmati makanan khas yang sulit didapat di tempat lain, seperti sosis bebek bakar yang murah dan enak. “Ini makanan kesukaan Nemah.” Rose membeli 3 buah  bhajis yang baru diangkat dari penggorengan.

Pedagangnya menjajakan itu layaknya pedagang gorengan di pasar tradisional di Indonesia. Makanan India itu berupa  irisan wortel dan bawang bombay yang digoreng dengan tepung. Serupa dengan bakwan. Bedanya, bhajis sangat terasa kunyit dan jintannya.  

Sambil makan bhajis, Rose mengajakku melintas lorong-lorong pasar hingga kemudian kami tiba di kafe, yang siang itu cukup ramai. Ah, pantaslah Ibu suka kafe ini. Tempatnya nyaman untuk duduk dengan aroma manis tak berkesudahan. “Nemah paling suka apple-raspberry pie.” Rose menunjuk irisan pie dengan raspberry merah di atasnya.

“Ok, aku pesan itu.” Tak terasa kami sudah mengobrol sana-sini hingga jam menunjukkan pukul 15.00. Rose mengingatkan aku untuk segera ke bandara. Di tepi jalan, sambil menunggu taksi lewat, aku membuka kedua telapak tangan, menadah salju. Meremasnya. Membiarkan wajahku disentuh olehnya. Aku mulai menyukai salju.  

“Kamu nanti kangen sama salju,” komentar Rose. Rose melambaikan tangan ketika sebuah taksi melintas.

“Cote Vertu,” kataku pada pengemudi saat kami sudah duduk di kursi taksi.

“Pierre Elliott Trudeau.” Rose mengoreksi dengan menyebut nama bandara internasiol di Montreal. “Aku mau ke Cote Vertu.” Cote Vertua adalah wilayah tempat Rose tinggal.

“Ada barang yang ketinggalan?”  Rose melirik jam tangannya. Aku menggeleng.

“Rose, bolehkah aku menyewa salah satu kamar di rumahmu, sebelum aku mendapat apartemen….” Lama ia menatapku.

Rupanya ia mencoba mencerna arti dari ucapanku yang tidak ia sangka. Kemudian, kudengar ia berulang-ulang ia menyebut nama Tuhan. Mengguncang-guncang tubuhku. Aku tak percaya ia begitu gembira. Seperti ia menemukan anaknya yang hilang.

“Baiklah, aku punya harapan untuk mempertemukanmu dengan Brian. Ia anak lelakiku yang baik. Sudah memiliki pekerjaan. Dua kali pacaran. Pertama dengan perempuan keturunan Rumani dan yang kedua keturunan India. Aku rasa ia cocoknya dengan perempuan keturunan Asia sepertimu. Dia suka nasi goreng. Kamu tak keberatan  jadi menantuku kan,  meski Brian berkulit hitam!”

Aku tertawa saja mendengar ocehannya. Belum kuceritakan kepadanya bahwa aku suka pria berkulit hitam. Dentra juga berkulit hitam. Oh, ya, hal lain yang aku katakan pada Ayah di telepon adalah keputusanku untuk tinggal di Montreal dengan segala alasan dan rencanaku.

Tentunya tak masalah karena aku memegang paspor Kanada. Tapi, aku lupa cerita pada Ayah  bahwa untuk modal awal tinggal di kota kelahiranku, aku punya uang 100 ribu dolar Kanada, sekitar 1 miliar. Warisan dari Ibu!  “Ayah doakan kamu diterima di Universitas  McGill,” kata Ayah di telepon pagi dini hari tadi, waktu Montreal. (Tamat)

***

Ida Ahdiah

 
Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/
 


Topic

fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?