Fiction
Cerber: Kota Kelahiran [3]

16 Oct 2017


UNIVERSITAS MCGILL
“Menurutmu, Ibu masih mencintai Ayah?” Aku menanyakan itu karena penasaran,  sampai akhir hayatnya Ibu tidak pernah menikah lagi.  Dan, aku  menanyakan itu  sambil menatap bendera Kanada yang berkibar di puncak kubah gedung Universitas McGill, yang berdiri tahun 1821, dan tampak berwibawa.

Aku yang mengajak Rose mendatangi universitas ini, sepulang dari Old Montreal karena letaknya di tepi jalan besar, tak jauh dari hotel tempat aku menginap. Aku ingin melihat dari dekat universitas tempat Ayah dan Ibu dulu mendapat beasiswa. Namun, tempat yang juga menyebabkan Ayah dan Ibu berpisah. Aku tahu, tidak mudah untuk menjadi mahasiswa di salah satu universitas terbaik di dunia ini. Dan ibu membuktikan, ia mampu.

Saat itu, Ibu mengambil ilmu politik. Aku membayangkan, jika saja rencananya berjalan mulus, Ibu sekarang mungkin sudah menjadi pengamat politik yang kerap muncul di televisi, anggota DPR, atau apalah mengingat ia adalah aktivis kampus. Atau, ia sudah menjadi profesor jika berkarier sebagai akademisi di kampus seperti Ayah.

 Ibu pintar. Ibu kuat. Aku rasanya tidak rela ia menyerah di tengah jalan. Bulu kudukku meremang membayangkan semangat Ibu menjalani hari-hari di gedung ini. Ia tentu memiliki citacita besar, termasuk mengamalkan ilmunya sekembalinya ke Indonesia.  Namun yang terjadi, hingga akhir hidupnya Ibu terpuruk makin jauh dari cita-citanya. Ia menjalani hidup hanya untuk bertahan.  Memikirkan itu, aku merasa ada yang mengganjal di tenggorokanku. 

“Ibu sudah melupakan ayahmu, tapi tidak pernah bisa melupakanmu,” jawab Rose.

 “Apakah Ibu punya teman dekat pria?”

Aku mengajak Rose berjalan  menikmati suasana kampus yang cukup ramai, karena menjelang ujian dan libur akhir tahun.  Aku  ingat,  Ayah pernah mengusulkan agar aku melamar kuliah S-2 saja. Dan,  salah satu universitas yang ia sebut adalah McGill. Kata Ayah, aku punya peluang untuk masuk karena aku lulus dengan nilai bagus. Bahasa Inggrisku juga bagus. Kemampuan beradaptasiku juga tak diragukan.  Aku menganggap itu pujian seorang ayah untuk anak perempuannya. Belum tentu benar.

“Selama kamu diterima di universitas,  apalagi yang ternama, tersedia pilihan beasiswa. Tidak seperti zaman Ayah dulu, susah mencari beasiswa,” Ayah mencoba terus merayuku. Aku memang bersikukuh ingin bekerja dulu, mencari pengalaman, dan memiliki penghasilan.  Dengan itu, aku berharap bisa memilih bidang yang paling tepat. Apakah aku ingin berkarier sebagai dosen seperti Ayah, atau karier lainnya.

Yang jelas, hingga saat ini aku masih galau. Bisa jadi karena aku baru saja kuliah, mungkin masih butuh waktu untuk mengambil jarak dari gaya hidup anak kuliahan. Namun, aku, kok, ngiri, ya, melihat mahasiswa dengan mata setengah mengantuk dan rambut yang kelihatannya disisir jari tangan, keluar masuk kampus McGill,  menggendong tas laptop.

Semalam mungkin mereka begadang mengerjakan tugas.  Sebab, aku dengar dari Ayah, 10 menit saja mereka telat menyerahkan tugas, nilai mereka bisa berkurang, bahkan gugur. Saat aku berhenti di depan patung James McGill,  pendiri universitas  yang tangan kirinya memegang topi dan tangan kanannya memegang tongkat, Rose bercerita.

“Ada beberapa pria yang ingin menjadikan ia pacar atau istrinya.  Selain kulit Asia dan paras ayunya, Nemah itu pintar dan ceria. Ia pandai membuat suasana beku menjadi cair dan membuat orang merasa dihargai. Seorang ayah tunggal di daycare, tempat Nemah bekerja, pernah mendekatinya. Setelah beberapa kali kencan, Nemah mengatakan tidak cocok. Hubungan dengan para pria biasanya berakhir dengan persahabatan. Hanya dengan pria Maroko, ia menjalin hubungan yang cukup lama. Namun,  Nemah mengaku, terlalu rumit untuk sebuah perkawinan di usianya itu. Ia tak lagi memiliki energi untuk mengurai kerumitan….”

“Kamu punya pacar?”

“Pernah punya, tapi sekarang sudah putus,” jawabku. Rose menepuk-nepuk pundakku penuh simpati.

“Terima kasih. Aku sudah siap pacaran lagi, kok. Kamu punya calon?” candaku.

“Kamu pacaran dengan Brain saja. Jadi menantuku.” Aku tertawa tergelak-gelak mendengarnya.

“Rose, tolong foto aku di samping foto patung ini….” 
Aku bergaya di dekat patung Kakek McGill. “Sekarang ambil gambarku  dengan latar belakang gedung. Jangan lupa, perlihatkan  bendera Kanada yang sedang berkibar….”

“Sekarang di sini, ya, Ros….”

“Ambil gambar langit birunya lebih dominan….” Beberapa kali Rose menuruti keinginanku sampai  ia menggerutu. Namun kemudian, ia menghampiriku,  ketika melihat aku  mengusap mata berulang-ulang.  Berada di kampus ini membuatku memikirkan Ibu.
 


Topic

fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?