Fiction
Cerber: Kota Kelahiran [3]

16 Oct 2017



THE CLOCK TOWER
Esok harinya, sepulang dari bank, Rose mengajakku ke Old Montreal, sebuah sudut kota yang dipenuhi gedung-gedung tua dengan jalanan batu dan taman di sepanjang tepi sungai. Namun, siang itu bangku-bangku taman kosong. Beberapa  bahkan tak bisa diduduki  karena dipenuhi salju. Kereta kuda yang biasa digunakan turis  untuk berkeliling wilayah terkenal di Montreal itu, juga sepi penumpang. Di musim dingin,  tak banyak turis yang tertarik mengunjungi  Old Montreal yang di musim panas terkenal ramai itu.

“Aku ingin menunjukkan padamu tempat ari-arimu dihanyutkan,” kata Rose. Drama apa lagi gerangan yang telah dilakukan Ibu! Aku pun menjajari langkah Rose, menyusuri Sungai Saint Lawrance,  di bawah suhu minus 9 derajat Celsius, menuju menara jam tua yang biasa disebut The Clock Tower. 

Dari kejauhan tampak Jembatan Jacques Cartier yang menghubungkan Montreal dengan Kota  Longueuil. Langit yang biru bersih tampak memantul di air sungai. Hmm, aku mulai menyukai langit biru di kota kelahiranku.

“Di sinilah tempatnya.” Rose menunjuk ke sungai yang mengalir di bawah The Clock Tower, yang dibangun tahun 1919 dengan tinggi 45 meter itu. Aku melihat serpihan es mengapung di permukaan air. Artinya udara belum terlalu dingin. Permukaan sungai, hingga kedalaman tertentu, bisa membeku jika suhu udara terus menurun.

Ke mana larinya ikan? Ikan tidak lari ke mana-mana, karena air tetap mengalir di bawah tumpukan es. Mereka yang hobi memancing tetap bisa melakukan hobinya dengan melakukan ice fishing. Hanya, mereka harus mengebor es lebih dulu, hingga kedalaman yang menyentuh air. Di lubang itulah kemudian pancing berumpan dilempar ke bawah.

Aku membayangkan Ibu melemparkan ari-ariku, mengingat jarak sungai dengan tempat aku berdiri cukup tinggi. Nekat sekali, karena ia bisa dituduh membuang sampah. Namun, kata Rose, “Ia membungkus guci berisi ari-arimu dengan kain. Lalu, menurunkannya dengan tali ke sungai. Sambil melepas ari-ari pelan-pelan, ia  mengucap doa agar kamu  tumbuh menjadi perempuan kuat yang berani menjelajah  tiap sudut bumi, bahkan luar angkasa….”

Wah! Sebuah doa yang membuatku menarik napas panjang dan menatap angkasa. Belum banyak sudut bumi, apalagi angkasa, yang kujelajah. Aku perempuan kuat dan pemberani? Terima kasih Ibu untuk doa dan harapannya.  Rose kemudian cerita, Ibu sempat bersitegang dengan pihak rumah sakit saat meminta ari-ari bayinya. Bagi pihak rumah sakit, permintaan itu tentu saja aneh karena ari-ari dianggap sampah yang harus dibuang. Dan tak pernah ada dalam sejarah di rumah sakit orang meminta ari-ari. Untung ada seorang dokter keturunan Cina yang membantu menjelaskan tentang kepercayaan pada ari-ari yang juga berlaku di tanah leluhurnya.

“Aku sendiri ngomel-ngomel mendengar permintaan itu. Tapi, begitulah Nemah, permintaan dan keputusannya kadang-kadang tak masuk akal.” Rose terkekeh saat kami sudah duduk di sebuah kafe, memesan kopi. Aku sependapat dengan Rose, Ibu memang nyeleneh. Termasuk masalah ari-ari. 

Secara tradisi, ari-ari yang dianggap teman si bayi,  dikubur baik-baik dan di dekat kuburannya diberi lentera. Dengan memperlakukannya secara baik,  bayi yang baru lahir diharapkan tidak rewel dan bisa tidur nyenyak. Lha, ini ari-ariku dihanyutkan ke sungai.
 


Topic

fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?