Fiction
Cerber: Kota Kelahiran [2]

15 Oct 2017


Cinta keduanya begitu besar dan menggebu pada awalnya. Kisahnya bahkan sempat menjadi trending topic di  keluarga, pada akhir tahun ‘80-an. Bagaimana tidak, Ibu menolak menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya, seorang petani kopi  sukses di Lampung. Lelaki yang dipilihkan Kakek itu konon  seorang pengusaha mebel dari Jepara. Ibu memilih menikah dengan Ayah, yang sama-sama calon dosen, calon pegawai negeri sipil, dengan wali hakim.

Satu tahun setelah menikah, keduanya mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Montreal. Dari cerita yang kudengar, sejak menikah  Ibu  tak pernah diperkenankan menginjakkan kakinya di rumah kakek dan nenekku. Tapi, Ibu tak peduli. Ia tak pernah mengeluhkan tentang itu. Kakek  meninggal semasa aku di Montreal, menyusul Nenek 2 tahun kemudian.

Pakde-ku pernah mengontak Ayah untuk mengabarkan tentang warisan bagian Ibu. Aku tidak tahu pasti,  apakah Ayah mengabari Ibu  atau tidak tentang itu. Hingga kini,  aku tak pernah berkomunikasi dengan keluarga Lampung. Aku merasa tidak perlu. Kurasa mereka pun tak menyadari atau lupa punya keponakan aku.

“Ia seorang perempuan pemberani di masanya. Nenek berpesan kepada ayahmu untuk merawat cintanya yang besar.” Aku mendengar itu dari Nenek. Saat itu aku ingin tahu, apakah mereka dipaksa menikah, seperti yang masih terjadi di zamannya, dan itu yang  mengakibatkan mereka bercerai. Menurut cerita, badai mulai menerpa perkawinan mereka ketika Ibu mengandung aku. Rupanya, Ayah dan ibu telah sepakat untuk menunda punya anak hingga selesai S-2.

Beasiswa dan waktu yang terbatas akan menyulitkan keduanya untuk merawat dan mengasuh anak tanpa  ada orang yang membantu  dengan gaji terjangkau seperti di Indonesia. Akibatnya, Ibu stres berat karena dihadapkan pada siatuasi yang sulit; tuntutan menyelesaikan kuliah sesuai dengan masa berlaku beasiswa selama 2 tahun ditambah kondisi kehamilan yang buruk. Ia mengalami hiperemesis gravidarum, sering mual dan muntah, tanpa bisa makan atau minum sedikit pun yang membuatnya harus bolak-balik dirawat di rumah sakit.

Dalam keadaan itu, Ayah tak bisa sering menemani Ibu. “Ayahmu berpikir, Ibu sudah berada di bawah pengasuhan ahli, jadi Ayah bisa kuliah dan bertekad bisa selesai lebih cepat agar bisa membantu Ibu dan Ibu bisa menyelesaikan kuliahnya. Sementara ibumu mengharap,  Ayah menemaninya saat  melewati masa kehamilan yang sulit itu.” 

Ini masih menurut Nenek. Kelahiranku  makin memperburuk keadaan. Ibu merasa telah berkorban banyak: melahirkan, merawat anak, kuliahnya tertunda, dan beasiswa habis!  Ia harus bekerja apa saja, menjadi cleaning lady, mengasuh hewan, pelayan di restoran, dan banyak lagi, untuk mencukupi kehidupan keluarga. Sementara Ayah makin melejit. Ia diterima untuk melanjutkan S-3. Ayah  makin sibuk di kampus, membaca buku, ikut konferensi di berbagai negara, dan bertemu dengan para akademisi.

Ibu  bergelut dengan urusan domestik. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Aku bisa merasakan kepedihan Ibu. Tapi, aku tak pernah tega untuk mempertanyakannya kepada Ayah. Ayah dan Ibu bercerai 1 tahun sebelum Ayah lulus S-3. Ayah dan Ibu pisah apartemen. Ibu membawaku tinggal bersamanya.

“Suatu hari, ibumu meninggalkan kamu sendirian di apartemen dan kemudian terjadi kebakaran di apartemen itu. Ia dianggap telah menelantarkanmu dan kehilangan hak asuhnya. Itu alasan mengapa Ayah membawamu pulang,” cerita Kakek, ketika bertanya mengapa akhirnya aku ikut Ayah.

Saat mendengar itu, aku merasa menjadi sumber perceraian keduanya. Menjadi penyebab gagalnya Ibu menyelesaikan S-2. Bahkan, ia mengundurkan diri dari pegawai negeri di Indonesia. Memutuskan untuk tinggal di Montreal!  Aku merasa Ibu telah menghukumku, dengan tidak pernah menghubungiku, bahkan tak pernah pulang ke Indonesia.

“Sesuai dengan wasiatnya, Rose sudah mengurus jenazahnya untuk dikremasi. Wasiat yang lain, ia ingin kamu menaburkan abunya di Beaver Lake. Ayah akan carikan tiket untukmu. Paling lambat minggu depan kamu pergi. Wasiat orang meninggal harus segera ditunaikan. Mumpung kamu juga belum mulai bekerja. Kamu juga masih sempat untuk membeli baju dingin….”

Di usia 10 tahun aku terakhir bertemu Ibu. Itu artinya, 13 tahun aku tak pernah bertemu, tak pernah saling menghubungi. Tiba-tiba aku dilibatkan dalam prosesi yang aneh.  Aneh sekali….

“Benar atau salah, dia adalah ibumu. Lepas ia dengan penghormatan terakhir dari anak perempuannya.”

Ayah rupanya melihat ekspresi penolakan di wajahku. Ibuku? Yang terbayang di benakku ketika Ayah mengatakan ibu adalah Nenek. Dialah yang merawat dan mengasuhku dari usia 10 tahun. Dia yang mengajariku hitam, putih, dan abu-abunya kehidupan. Neneklah yang menemaniku  masa-masa galau  saat pubertas. Nenek yang tahu cerita cinta monyetku dan haid pertama yang membuat aku murung.
 


Topic

#fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?