Fiction
Cemara-Cemara [3]

20 Dec 2016

Bagian 3 (Tamat)

Kisah Sebelumnya:
Luri, penari yang terpilih menjadi penari utama dalam acara Srawung Candi, jatuh cinta kepada Rajang, wartawan yang meliput acara tersebut. Sementara, Luri juga mendapatkan perhatian dari Panji, pasangan menarinya. Namun, hati Luri terluka ketika Rajang menjauh dan berpacaran dengan Wasti, sesama penari, yang sebelumnya naksir Panji.
 
 
Aku tetap latihan dan bahkan sudah menyetujui ketika sekali lagi Mas Gada memintaku untuk bergabung dengannya. Masih juga seputar candi. Tari itu ia beri judul “Mencari Jantung Candi”. Dan nanti, tari ini akan dipentaskan pertama kali di Belgia lalu Praha karena dari sanalah semua biaya dan tetek bengeknya ditanggung. Tari ini juga hasil permenungan Mas Gada dan Mbak Putik selama menemani dan mendampingi para peneliti candi-candi di tanah Jawa.
Wasti terlibat juga. Bulan-bulan pertama diskusi dan sedikit latihan aku masih melihat Rajang menemaninya. Sikapnya biasa saja kepadaku, meski kerap kutangkap Rajang mencuri lihat ke arahku. Tetapi, itu tak mengurangi kesanggupan Wasti menari dengan riang, bahkan di hadapan Panji yang rupanya tak lagi menjadi obsesinya. Barangkali cinta Rajang dan cintanya sudah terikat terlampau kuat. Apa peduliku.
Tetapi, beberapa minggu terakhir Rajang tak terlihat bersamanya. Bahkan, tatapan Wasti mulai berbeda.
Sudah rapi kukemas busur dan anak-anak panah, ketika Wasti menatapku bersandar kusen pintu. Rambutnya panjang terurai. Tatapannya sedingin pisau yang tergeletak di meja rias bersebelahan dengan onggokan pandan dan melati yang mengharumkan ruangan ini. Aku tersenyum kepadanya, tetapi tak ditanggapi.
            “Aku pamit dulu,” kataku pada teman-teman yang beberapa di antaranya masih duduk-duduk ngobrol di pendapa usai latihan. Dengan langkah terukur, dan ketenangan yang kupaksakan, aku menghampirinya.
            “Aku pulang,” pamitku pada Wasti sambil lalu. Ia diam, masih menatapku, dan itu membuat tertumpas kesabaranku. Aku melangkah meninggalkannya.
            “Lu....” Aku memutar badan, mendapati matanya seruncing mata panah.
            “Kamu bebas bicara, Wasti.”
            “Ini tentang Rajang.”
            Aku terkesiap. Sungguh aku tidak menyangka Wasti akan membicarakan nama itu. Lelaki yang sadar dirinya tampan, tetapi tidak sadar bahwa tiap perempuan mempunyai hak untuk bahagia.
            “Lelaki itu sudah selesai urusannya denganku, Wasti.”
“Tetapi belum denganku.”
“Wasti, bahkan mendengar namanya saja aku sudah malas. Kalau kalian ada urusan, selesaikanlah sendiri. Apa perlunya kamu melibatkan aku?”
“Karena dia masih mencintaimu.”
“Tetapi aku tidak.”
Wasti tertegun. Lalu bergegas menyusulku sekali lagi ketika aku meninggalkannya. Akhirnya aku dan dia berjalan bersama, hingga melampaui dua pohon sawo manila. Wasti diam seribu bahasa. Tetapi, jelas sekali kabut membayang di matanya.
“Yakinlah, Wasti. Aku sudah tidak mencintainya lagi.”
Tetapi, di luar dugaanku, air mata Wasti menetes di pipi. Aku mengulurkan tisu. Ia menerimanya dan segera mengusap air mata itu. Ketika sampai di halaman parkir motor, aku menyerahkan kacamata hitamku untuknya. Untuk teman masa kecilku itu, yang selalu menganggapku sebagai saingan sejak SD. Aku heran, mengapa ia tak capek berpolah begitu. Untuk apa bersaing denganku. Mestinya ia bersaing dengan dirinya sendiri.
 “Baiknya kamu pakai kacamata untuk melindungi tangismu, Wasti. Dinding-dinding berbicara, batu-batu punya mata, mereka memang akan merekam apa adanya, tetapi akan berbeda jika sudah sampai pada telinga-telinga haus gosip.” Wasti menurut.
Dan rupanya, itu perjumpaan terakhirku dengan Wasti sebelum kelak ia memanggilku kembali. Bahkan esoknya kami mendengar berita mengagetkan dari Mas Gada. Wasti mengundurkan diri. Ketika aku mampir ke rumahnya usai diskusi tentang candi, rumahnya terkunci rapat. Tetangga tak ada yang tahu ke mana dan itu terjadi juga pada esoknya dan esoknya lagi. Ponsel Wasti tak pernah aktif saat kuhubungi.
 
***
 
Wasti lalu menjadi misteri bagiku, bagi siapa pun yang pernah bergabung dalam tari yang digarap Mas Gada dan Mbak Putik. Hingga aku dikejutkan pada sebuah sore. Aku menerima sepucuk surat tanpa nama pengirim, tetapi surat itu jelas tertuju padaku. Ratna Naluri. Aku sempat menduga itu pasti dari Wasti. Maka aku perlu membacanya dengan tenang tanpa berpikiran tetek bengek dan memastikan kebutuhan Nenek sudah beres.
Aku keliru. Surat itu dari Rajang. Diketik rapi. Sempat bertanya-tanya mengapa tak mengirim e-mail saja?
 
Naluri,
Awalnya sudah kupastikan bahwa kelak aku tak perlu minta maaf atas apa yang akan kulakukan. Tetapi untukmu, ternyata perlu kuucapkan itu. Maaf aku sudah mempermainkan hatimu. Dendam ini terlalu berat untuk kupendam, Lu. Dan ini kulakukan demi membela hati ibuku, seorang perempuan yang tulus mencintai ayahku. Tetapi, cinta Ibu dibalas dengan sebuah pengkhianatan.
Saat aku menginjak remaja, ayahku tergoda (atau digoda) oleh seorang penari sebangsa kalian, ya seperti kalian (!!) Ayah meninggalkan Ibu dan aku demi penari itu. Tiap malam menjelang tidur aku melihat Ibu termenung, bahkan terkadang aku seolah mendengar suara air yang jatuh dari matanya. Jatuh menimpa hatiku, lalu menyiram dendam yang mulai tumbuh subur dalam hatiku.
Bagaimana rasanya ditinggal pergi begitu saja, Lu? Sakitkah, Lu? Kira-kira seperti itu perasaan ibuku. Masih lumayan karena aku hanya memacarimu, dan aku masih berbaik hati tidak menggiringmu menuju pernikahan. Padahal rencanaku, aku akan meninggalkan kamu tepat pada malam sebelum hari pernikahan. Tetapi kamu selamat. Rencana itu urung kulakukan karena ternyata kamu pun bahkan tak punya ayah dan ibu.
Tetapi, kurasa cukup, Lu. Sebab, jika aku menjalin lebih lama bersamamu, aku akan benar-benar jatuh cinta kepadamu karena kamu cerdas dan baik. Dan itu tak boleh terjadi. Dendamku harus terbalas dan akhirnya sudah lumayan terbalaskan. Kamu dan Wasti bersitegang. Dan sungguh tak kusangka ternyata dendam Wasti terhadapmu melebihi dendamku pada semua penari. Dia ingin menghancurkan hidupmu, melaksanakan dendamnya dengan menerimaku dan menyerahkan diri seutuh-utuhnya tanpa aku berjuang karena baginya hidup sudah menjadi sia-sia ketika Panji tak menerima cintanya.
Aku seperti Wicitrawirya yang tak mau menerima Amba karena hatinya untuk Salwa. Mana mungkin aku menerima Wasti ketika aku tahu sesungguhnya ia mendambakan Panji? Apalagi ia seorang penari! Tidak akan! Aku hanya ingin dendamku lunas. Sehingga aku bahkan dengan sengaja membual akan segera bertunangan. 
Pasti kamu tahu sebab Wasti dendam padamu, ‘kan? Benar! Pertama, Panji mencintaimu dan menolak cintanya. Kedua, kamu dianggap menggasak peluangnya  untuk menjadi penari utama dalam Srawung Candi. Cukup menjadi modal untuk membencimu sedalam lautan. Dan sulit kupercaya, ternyata justru aku yang digunakan Wasti untuk melukai kalian sekaligus. Ia ingin sekali tendang merobohkan dua tiang.
Padahal, aku tak terganggu atau merasa terancam kalau (sejak awal sudah kuduga) Panji mencintaimu. Dan buktinya aku bisa mengalahkannya untuk mendapatkanmu. Ternyata amat sangat mudah mendapatkanmu, lebih mudah dari yang kusangka. Hanya butuh kesabaran dan sedikit trik saja. Ha… ha… ha… dan jauh lebih mudah lagi mendapatkan Wasti. Kamu sudah melihat bukti.
Naluri, aku tidak sedang berkelit dari persoalan, tetapi aku ingin mengatakan apa yang terjadi sesungguhnya bahwa Wasti telanjur hamil karena ia memang inginkan itu. Ia ingin hamil agar aku bertanggung jawab dan lekas menikahinya. Tetapi, di luar dugaannya, aku tak mau. Aku tak akan menikahi seorang penari yang telah memberantakkan hidup ibuku. Tetapi, jika anak itu lahir, aku akan terus membayanginya, aku akan merebutnya. Aku akan miliki anak itu tanpa aku menikahi ibunya.
Naluri, aku mengincarmu sejak dulu karena kamu penari terbaik yang dimiliki kotamu. Tetapi ternyata itu sulit. Bukan karena kamu tangguh, tetapi karena aku nyaris gagal membalas dendamku ketika aku melihat tanda-tanda kalau hatiku hampir jatuh.
Maka, aku memilih Wasti. Sekarang aku pergi. Bahkan mulai hari saat kamu menerima surat ini, aku sudah tidak bekerja di majalah itu. Karena majalah itu pun adalah batu tanjakan untuk aku menuntaskan dendamku.
Naluri.
Mungkin kamu menganggap aku kejam. Ya, aku mengakui karena dunia sudah mengajariku begitu. Aku terlalu menyayangi ibuku. Semoga dia tenang di alam sana, meski di mataku tak gampang hilang ketika ia meninggal dalam keadaan gamang. Aku bangga menyandang nama Rajang, yang sebentar lagi akan merajang hati Ayah dan perempuan penari pengusik kebahagiaan ibuku. Aku akan segera melaksanakan pelunasan dendam kedua. Ayah dan perempuan penarinya.
Kamu mengenal dia sebagai penari yang belasan tahun lalu pernah menjadi seperti kamu: Penari Utama. Kita pernah membicarakan dan ngobrol sampai larut tentang penari itu. Kamu mengakui ia penari hebat, meski bukan penari tempat kamu berkiblat. Sekarang mereka tinggal di sebuah tempat yang sangat jauh. tetapi itu tak menjauhkan dendamku dari mereka. Aku tahu kamu tak akan mencampuri urusan ini. Sekali lagi maaf, aku tidak mengucap terima kasih kepadamu untuk hari-hari yang kita lalui, ataupun kesempatan pemuasan dendamku. Dariku: Rajang.
            Surat itu sungguh mengerikan. Lebih dari lima kali aku membacanya sore ini, dan kesimpulanku sama: kekejaman Rajang tak bakal kumaafkan. Atas nama apa pun, ia tak berhak melampiaskan dendam pada orang yang tak mengerti apa-apa pada masa lalunya. Sekalipun itu atas nama hati ibunya. Salah apa aku dan Wasti pada ibunya? Dan siapa penari senior yang dia maksud, aku tak peduli dan aku tak ingat juga tak mau mengingat-ingat nama-nama penari yang pernah aku dan dia bicarakan. Persetan. Sekarang yang terpenting adalah mencari Wasti.
Secepatnya aku menghubungi nomor ponselnya, tidak aktif. Kucoba lagi beberapa saat kemudian, sama saja. Baiklah. Aku akan tulis e-mail saja. Untuk menumpahkan muntahku padanya. Lihat saja nanti. Apakah ia akan membalas atau membuangnya, aku tak peduli.
Tiba-tiba aku rindu  embusan angin yang dimainkan cemara-cemara pengepung candi itu. Rindu menatap bebukitan yang melatarinya. Sebelum akhirnya jatuh lelah oleh kenyataan yang dipaparkan Rajang. Terseret aku pada permainan lelaki itu. Aku tidak tahu, kenyataan bahwa aku tak berayah-ibu, membawaku pada permenungan apakah hal itu menjadi keberuntungan atau kemalangan.  
Kini aku tahu sebab mengapa Wasti tak pernah kelihatan di  tiap latihan. Hanya menitipkan kacamata hitamku pada Norma sebelum akhirnya pamit mundur pada Mas Gada dan menghilang sampai sekarang. Semua menyangka karena ia putus hubungan dengan Rajang. Hanya itu. Mereka tentu tak tahu bahwa persoalan Wasti lebih dari sekadar putus cinta.
            Aku meminta Panji membaca surat itu. Dan tanggapannya dingin saja. Ia tak mengatakan tentang sikap Rajang, ia juga tak berkomentar soal Wasti. Tetapi ia bersedia membantu, entah setengah atau sepenuh hati aku tak terlalu memikirkannya.
            “Apa yang harus kita lakukan, Lu? Tetapi kamu harus tahu,  aku akan melakukan yang kamu minta, itu demi kamu. Bukan yang lainnya.”
            “Kita harus tahu di mana Wasti berada. Selebihnya, aku tak tahu akan bagaimana. Tetapi kurasa, itu bisa kita pikirkan nanti jika sudah menemukan Wasti.”
            Bukan aku atau Panji yang berjuang mencari, tetapi Wasti sendiri yang seolah memanggil-manggilku. Adalah malam kedua belas setelah aku menerima surat dari Rajang, aku bermimpi berada di tengah-tengah hutan cemara. Tak ada siapa-siapa selain aku dan gaung yang menyebut namaku. Naluri. Naluri. Entah karena daya apa, aku sangat ingin mengunjungi Candi Sukuh yang terkepung cemara-cemara tua. Sebenarnya Panji enggan menuruti permintaanku karena cuaca kurang bagus. Tetapi keinginan hatiku untuk pergi ke sana sulit kubendung.
            “Aku sangat ingin, Panji. Ayolah!”
            “Kamu ini, seperti perempuan ngidam. Ngidam, kok, candi.”
            Aku dan Panji tiba di sana ketika kabut pekat nyaris menutup puncak Candi. Hening sekali dan rasanya aku berada di dunia yang berbeda. Aura dan suasana yang kurasa, persis seperti dalam mimpiku.
Lalu dari Gerbang Utara, pelan-pelan tampak olehku dari balik kabut, ada sesosok berdiri di sana, di dekat sepasang kura-kura. Punggungnya mengarah kepadaku. Selendang melilit leher dan ia mengenakan mantel sepanjang lutut. Diam. Bergeming. Aku dan Panji membatu untuk beberapa waktu ketika tiba-tiba sosok itu memutar tubuh dan betapa kaget aku. Dalam detik saling tertegun itu aku langsung memburu.
            “Wasti. Engkau Wasti? Mengapa ada di sini?” Ia tergugu menatap datangku. Hanya sesaat saja. Kemudian ia merentangkan tangan menyambut pelukku. Ia tersedu. Tanpa aku bisa menahan lagi, aku meraba perutnya dan kubisikkan doa-doa. Punggungnya  makin terguncang-guncang oleh tangis. Sekejap aku teringat mimpiku. Gaung yang kudengar itu pasti jerit hati Wasti yang menyusup dalam mimpiku.
            “Jagai dia, Wasti. Jaga baik-baik,” bisikku, sambil mengusap sisi perutnya.
            “Kamu tahu aku hamil?”
           Aku mengangguk, dan tidak kukatakan dari mana aku mengetahui, meski mungkin Wasti akan menebaknya. Aku harus menyingkirkan nama Rajang jauh-jauh. Dan Wasti tak perlu tahu semua tentang Rajang.
            Mataku menangkap Panji sudah berbincang dengan seorang lelaki di dekat gerbang masuk. Kabut menyamarkan mereka berdua dan pasti juga menyamarkan kami berdua.
            “Panji berbincang dengan siapa, Wasti?”
            “Santo, sepupuku. Kami sangat dekat dan ia akan menuruti semua permintaanku agar aku… agar aku tidak mati.” Lalu Wasti menangis lagi. “Ia satu-satunya laki-laki yang kupercayai.” lanjutnya masih tersedu.
Kelak Panji menceritakan kepadaku,   Santo memberi tahu bahwa Wasti pernah melakukan percobaan bunuh diri. Kakaknya menemukan segepok obat tidur di bawah bantalnya. Ia ingin mati baik-baik. Ia ingin mati dengan cantik. Semacam tidur panjang bersama anak dalam kandungannya. 
            “Kamu boleh menyembunyikan apa pun dariku, Wasti. Tetapi tak bisa terhadap semesta dan tumpukan masa lalu kita. Mari kita jagai anakmu sebaik mungkin,” kataku suatu malam lewat telepon kepada Wasti setelah sebulan pertemuan di Candi atas tuntunan mimpi ajaib itu. Wasti mengiyakan dengan datar.
            “Jangan sembunyi lagi dariku, dari hari-hari yang pernah kita bentuk.”
            “Andai waktu bisa kuputar….” Lalu yang kudengar berikutnya adalah isak tertahan.
           
****
            Kandungan Wasti makin besar. Bahkan kini Bu Raras turut mengawasi ketika aku menceritakan perihal Wasti. Aku tak sanggup memendamnya seorang diri, sementara Panji selalu gagal jika kuajak bicara demi mencari jalan keluar.
Bayi itu harus kuat. Wasti harus merawat dan harus bertindak tepat untuk mencegah penculikan yang dilakukan Rajang yang pasti akan bertindak nekat. Pelan-pelan aku mengatakan itu kepada Wasti, agar jangan sampai Rajang menjelma hantu yang membuat Wasti selalu ketakutan, tetapi siap untuk berjuang mempertahankan anaknya. Tetapi ternyata itu justru membuat Wasti  makin hilang gairah hidup.
Hari-hari menjelang persalinan, aku dan Bu Raras  makin sering menemui Wasti. Kami bertemu dengan keluarganya. Dengan ibu dan bapaknya, dengan kakak dan adiknya yang perlahan mulai bisa menerima luka bersama-sama. Saling bebat dan saling rawat.
Diam-diam aku melibatkan Panji. Kuminta ia berjaga dan terus berjaga kemungkinan ada orang mencurigakan. Tetapi Panji berpikir lain, bisa saja Rajang hanya meneror kami, menebar ketakutan hingga kalian menjadi gila. Jadi, mestinya kalian tenang dan santai saja.
“Aku sekali-kali tak akan tinggalkan kalian. Dan aku akan pelan-pelan dan secara rahasia menyusun perlindungan untuk kalian.” Aku memeluk Panji begitu erat. Aku yakin, hatinya lembut sejak dalam pikiran.
Dalam keadaan kalut itu tiba-tiba kudengar suara tangis bayi menggemakan surga. Suara dewa-dewi. Tanpa komando, semua yang berdiri tegak dan saling pandang, lalu tersenyum bersama-sama. Lalu segala marah dan kekalutan yang tadi mengimpitku, hilang seketika. Aku tertawa… tertawa amat gembira. “Selamat datang ke dunia, makhluk mungil. selamat bergabung dengan segala warna,” bisik hatiku.
            Hanya beberapa jam setelahnya, kami boleh menemui Wasti. Ia tersenyum seperti panglima usai memenangkan pertempuran. Aku sedikit berlari meraih tubuhnya. Ada air mata menetes di pipinya, aku mengusap, tetapi kemudian jejari Wasti juga menyapu wajahku. Tanpa sadar sebenarnya air mataku jatuh juga.
            “Bareng Panji?” Aku mengangguk. Itu untuk pertama kali Wasti menyebut nama laki-laki setelah sekian lama ia tak mengucapkannya selain nama Santo, sepupunya.
            “Ia di luar, turut menunggui sejak kamu masuk di sini.” Ia tersenyum. Kelegaan terlintas di sana. “Kalian sangat baik kepadaku.” Aku menggenggam tangannya.
            Lalu aku beringsut saat Wasti menerima ciuman dari ayah-ibu dan kerabatnya. Aku tahu mereka sangat gembira. Bukan palsu. Bahkan di luar, ibu Wasti sudah membuat dan membawa bancakan penanda penyambutan untuk cucunya. Mereka sedang sibuk membagi-bagi nasi gudangan yang menguarkan aroma segar sayuran.
            Aku tetap ada di sini, di dekat Wasti. Ngoceh apa saja demi meyakinkan Wasti bahwa kami semua amat gembira. Tetapi aku melihat cahaya di mata Wasti pelan meredup dan genangan air mata makin lama makin meluap.  
            “Mengapa dunia ini berputar sangat cepat, Luri?” Aku tersenyum, berpikir bahwa apa yang dikatakan Wasti adalah lekasnya waktu ini berlalu sehingga membawa masing-masing kami menempuh peristiwa demi peristiwa. Tetapi ternyata aku keliru. Bukan itu.
            Pintu terbuka. Dengan senyum mengembang seorang suster masuk menggendong bayinya, lalu membawa mendekat pada Wasti untuk diciumi. hanya sebentar saja, lalu bayi itu kembali digendong suster mungil itu.
            Wasti tak melepas tatapan pada bayinya. Bayi perempuan yang cantik yang dalam gendongan suster untuk kembali dibawa ke ruang bayi entah di sebelah mana. Tetapi sekilas kutangkap, wajah suster itu berubah tegang dan langkahnya terhenti. Lalu bergegas keluar ruang meninggalkan kami.
            Wasti meraih tanganku ketika mataku masih mengikuti perginya suster tadi. Di mataku terbayang Rajang yang pasti terus mengawasi entah dari mana.
            “Kamu terlalu baik untuk dilukai Rajang, Lu. Kamu terlalu suci untuk pelunasan dendamnya,” lirih suara Wasti.
            “Dendam? Apa yang ia katakan tentang dendam?” suaraku sekarat.
            “Ia akan melukai semua penari seperti seorang penari pernah melukai hati ibunya. Tetapi sepertinya aku yang paling parah terluka.”
            “Jangan kamu dengar apa kata Rajang si keparat itu.”
            “Aku lelah, Luri. Aku percaya kalian pasti sanggup merawat anakku. Kunamai dia Ratih. Anakku perempuan, ‘kan? Ratih. Dewi Ratih.” Hanya itu yang dikatakan Wasti dan setelahnya aku tak ingat apa-apa. Hanya ketika bangun aku sudah ada di atas ranjang rumah sakit yang sama, di mana Wasti menjalani persalinan.
            “Wasti meninggal, Naluri.” Bu Raras membisikkan itu padaku di antara panik Panji yang terus memijit-mijit tanganku.
            “Aku akan membuat perhitungan dengan Rajang,” kataku terbata, lalu tangisku meledak tiba-tiba.
            “Benarkah dunia ini sudah tak aman bagi perempuan? Di mana Ratih? Jangan sampai dia jauh dariku. Awas, jangan sampai Rajang tahu.”
            “Rajang tak akan tahu, karena Wasti tak akan merelakannya,” suara Bu Raras tenang dan lembut.
            “Wasti sudah menyerahkannya kepadaku, Ibu.”
            “Sehatlah kamu. Mari bersiap. Besok kita harus hadir pada pemakaman Wasti dan anaknya.”
            “Tidak mungkin! Aku mendengar tangisan pertama anaknya. Aku melihat suster membawanya masuk.”
            “Itu tangisan yang pertama dan terakhir, Luri. Justru sebelum Wasti meninggal, anaknya sudah mendahului. Ia menjadi penuntun ibunya ke sana. Ia meninggal dalam gendongan Suster Diana.”
          Dunia tiba-tiba seperti mingkup. Lalu semua menjauh, jauuhh… hanya sempat kutangkap lirih suara Bu Raras dan Panji memanggil-manggil namaku. Lalu gelap.
                                                                        ****
            Aku benci pemakaman. Sekalipun aku tak ingat hari pemakaman ayah dan ibuku, aku tetap benci hari pemakaman dan semua tentang makam. Tetapi, aku tetap hadir hari itu. Bahkan nenekku turut serta. 
            Masih di area pemakaman yang sepi itu, Panji menemaniku. Ia berdiri tak jauh ketika aku meremas tanah basah dan air mata tumpah. Entahlah, sampai kapan duka dan sedih ini menuju kata sudah.

***
Aku menatap Panji. Mengingat bagaimana ia menatapku kala menyerahkan sebotol air mineral di bawah tatapan batu candi dan kepungan cemara-cemara. Tetapi kini, aku dan dia benar-benar menjadi Kamajaya dan Kamaratih. Sepasang ciptaan yang akan bersama-sama melakukan pengembaraan, seperti yang kuimpikan pada elang yang terbang saat pagi menjelang siang itu. (Tamat)
 
***

Indah Darmastuti
 
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?