Fiction
Belia Nyawa Damar (3)

1 Jul 2016


Bagian 3 (Tamat)

Kisah Sebelumnya <<<<

Sepasang suami-istri usia paruh baya tergopoh-gopoh melewati pintu UGD. Tepat di hadapan Dokter Damar. Isak tangis dan napas terengah-engah bercampur tak keruan pada diri sang ibu. Sementara ayah Nur Azmi berusaha untuk tetap tegar di samping istrinya. Sekalipun ia tak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang melumuri bola matanya.
“Keluarga Nur Azmi?” Dokter Damar memecah kegaduhan suasana hati orang tua Nur Azmi dengan suaranya yang tenang dan hangat.
Kaya apa anak ulun, Dokaei?” suara ibu Nur Azmi bergetar.
Hati Dokter Damar teriris. Ia bisa melihat cinta seorang ibu yang dikhianati oleh penyakit putri kesayangannya. Namun, yang lebih membuat Dokter Damar nyaris luluh lantak karena ibu Nur Azmi jelas-jelas tak tahu apa yang sedang menimpa putrinya.
“Ibu tenang saja. Kada usah umpat mikirakan. Kena pian te umpat garing,” Dokter Damar berusaha untuk tersenyum. Namun, mata yang telah menikmati asam garam kehidupan itu menatapnya. Membelalak, lebih tepatnya. Mempertanyakan kebenaran kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Ulun minta tolong pang lah. Nur Azmi perlu transfusi darah. Ada lah golongan darah yang sama di keluarga sidin?” Berharap kata-kata yang diucapkannya dalam logat Banjar dapat menenangkan sepasang suami-istri itu. Namun, begitu mendengar kata transfusi darah, wajah lelaki itu berubah pias.
“Parahkah?” pertanyaan itu keluar dari celah bibir Azriel.

Dokter Damar ingin mencela suara Azriel yang melengking namun serak. Dokter Damar hanya menatapnya sekilas. Tak menganggukkan kepala ataupun menjawab pertanyaan lelaki itu. Dokter Damar tak mengharapkan pertanyaan lanjutan karena sesaat kemudian mata Nur Azmi bergetar. Bulu-bulu matanya yang lentik itu tampak menari-nari sejenak. Sebelum akhirnya membuka sepenuhnya.
“Azmi?” suara Dokter Damar berat dan dalam. Kelembutan yang tersimpan dalam suaranya membangkitkan kembali semangat Nur Azmi. Setidaknya untuk mengerjapkan matanya dan menjernihkan pandangannya.
“Apa yang dirasa?” tanya Dokter Damar, menatap lekat-lekat wajah pucat Nur Azmi dan tulang pipinya yang terlihat  makin tinggi itu.
“Lemas. Kaki berat,” sahut Nur Azmi lemah.
Dokter Damar menganggukkan kepalanya. Kaki Nur Azmi memang bengkak. Karena jantungnya tak lagi berfungsi dengan baik untuk memompa darah ke seluruh tubuh dengan baik. Juga kegagalan fungsi organ lainnya yang membuat kondisi Nur Azmi  makin buruk.
“Sebentar akan dipindah ke ruang rawat,” Dokter Damar menjelaskan. “Perlu beberapa hari untuk transfusi darah,” lanjutnya lagi. Ia yakin Nur Azmi memahami kondisi awalnya. Dalam hati Dokter Damar bertanya-tanya, mengapa gadis dengan semangat kehidupan yang begitu membara seperti Nur Azmi tak mengacuhkan semua itu? Tidakkah ia ingin hidup lebih lama untuk terus mengobarkan semangatnya? Atau setidaknya menularkan semangat itu pada orang-orang di sekitarnya.

Pikirannya terpusat pada Nur Azmi. Entah mengapa, Dokter Damar tak mampu menemukan jawabannya. Hanya saja sejak pertama kali bertemu dengan Nur Azmi, Dokter Damar selalu terkesan dengan semangatnya. Sesuatu yang tak dimilikinya selama ini. Tetapi melihatnya terkapar tak berdaya di atas brangkar hari ini membuat hati Dokter Damar mengejang. Apalagi begitu ia memastikan kalau Nur Azmi mengalami kegagalan jantung.
Bangsal Penyakit Dalam, tempat Nur Azmi sedang berbaring dengan semangat yang masih saja menyala-nyala, berada di ujung rumah sakit itu. Angan-angannya akan semangat hidup yang membara membuat Dokter Damar berharap Nur Azmi menyambutnya dengan rona kemerahan pipinya. Mungkin juga dengan semburat senyum yang mengantarkan Dokter Damar pada luasnya petualangan hidup. Namun, ia tidak menemukan satu pun dari angan-angannya. Tempat tidur Nur Azmi kosong. Hanya ada tiang infus yang berdiri tegak di sebelah pembaringan itu. Juga lelaki bertubuh kurus yang sejak awal menemani Nur Azmi di UGD.
“Bagaimana keadaan Azmi?” tanya Dokter Damar pada lelaki yang sedang menangkupkan wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Di kamar mandi,” sahut Azriel, setengah terkejut karena Dokter Damar ada di pintu ruang perawatan Nur Azmi.
Dokter Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tak beranjak satu langkah pun dari tempatnya berdiri. Ia menatap lelaki kurus dengan wajah tirus dan dagu lancip. Pias dan kalut.
“Sakitnya parah?” pertanyaan itu terucap juga dari mulut lelaki kurus nan kalut itu. Sulit bagi Dokter Damar untuk membedakan antara pertanyaan dan pernyataan kali ini.
“Gagal jantung,” ujar Dokter Damar datar. Jawabannya bertepatan dengan pintu kamar mandi yang dibuka. Ketika Dokter Damar menoleh dan melihat raut wajah Nur Azmi yang begitu tenang, ia tahu kalau gadis itu sudah menduganya sejak awal.
Mi, garing apa ikam?” satu-satunya orang yang bingung di ruangan itu cuma Azriel. Ia menatap Nur Azmi yang tengah mengangkat botol infusnya dan berjalan perlahan.
Dokter Damar cepat mengambil botol infus itu dan membantu Nur Azmi agar berjalan dengan lebih kuat. Namun Nur Azmi memang tak goyah. Ia tak perlu dipapah. Nur Azmi mampu berjalan tegak dengan susah payah. Berakhir dengan bersandar di tempat tidur yang keras itu.
“Gagal jantung jar Dokter Damar,” sahut Nur Azmi santai.
“Tapi, kenapa?” Azriel bukan lelaki yang bisa menerima penjelasan singkat.
“Talasemia,” Nur Azmi menjelaskan semuanya dengan satu kata, “gagal jantung salah satu komplikasinya,” lanjutnya sambil menatap Dokter Damar. Ia menggedikkan bahunya dengan santai dan tersenyum.
Kenapa pian kada handak beobat ke sini? Pian tahu ja kalo pian tu harus rancak beobat ke sini? Nyaman pian tahu kaya pa keadaan pian,” Dokter Damar tak mau kalah. Setelah ia menghabiskan banyak waktu terpanggang sinar matahari Kotabaru, ia juga ingin melibatkan diri dalam percakapan dengan logat mendayu-dayu yang khas.

Nur Azmi tertawa. Yang paling merdu yang pernah didengarnya. Lesung pipit Nur Azmi membuat Dokter Damar terjebak dalam pesona gadis itu. Seperti mabuk pada secangkir kopi hangat di pagi hari.
Lawas kah sudah Dokter Damar ni di Kotabaru? Pintarnya pian bepandir bahasa Banjar.” Nur Azmi menyisakan senyum manis untuk Dokter Damar.
Dokter Damar tak mampu berkedip. Ketika melihat senyum Nur Azmi yang ditujukan pada dirinya, ia tersihir. Dengan kehendaknya sendiri untuk memiliki diri Nur Azmi untuknya seorang.
 
***
Azriel tak pernah mendengar penyakit talasemia sebelumnya. Namun, makin ia memikirkan penyakit itu,  makin besar rasa takut Azriel. Takut akan kehilangan gadis yang sangat diminatinya.
Usia Azriel sudah tak muda lagi. Ia sudah muak dirongrong buat menikah oleh orang tuanya. Azriel ingin memiliki seorang istri yang pintar. Untuk menyempurnakan bibit unggul fisik yang dimilikinya. Bahkan sebelum Azriel menyatakan keinginannya pada Nur Azmi, ia sudah dapat membayangkan anak-anak mereka. Kuat dan pandai.
Sudah satu bulan sejak kepulangan Nur Azmi dari rumah sakit. Azriel menjenguknya  tiap hari. Menunjukkan perhatian dan ketertarikannya. Namun, Nur Azmi tetap tak acuh. Nur Azmi seperti memasang pagar di sekitarnya. Supaya tak ada seorang lelaki pun yang berani mendekatinya.
“Azmi,” Azriel menghentikan langkah Nur Azmi pada lewat pukul dua siang hari itu. Matahari tengah memancarkan kilau-kilau yang menyayat kulit. Tetapi Azriel tak peduli kalaupun harus bermandikan peluh. Ia harus menyampaikan kegelisahannya pada hasrat memiliki Nur Azmi yang terus menjerat hatinya.
“Ada apa?” Nur Azmi memperbaiki tas yang disandangnya di bahu. Ia menatap wajah lelaki yang terbakar sinar matahari dengan mimik penuh keraguan itu.
Kawa lah bepandiransetumat?”
Hayuk ja,” Nur Azmi menganggukkan kepalanya. Namun ia tidak mengajak Azriel untuk pindah ke tempat yang lebih teduh. Sementara Azriel mulai memindahkan bobot tubuhnya dari satu kaki ke kaki lainnya, Nur Azmi tetap tegak berdiri di bawah curahan panas dari matahari.
Aku handak melamar ikam,” Azriel menjilat bibir bawahnya, menghapus getir keraguan yang berlumur di sana. “Kaya pa menurut ikam? Kena nyaman membicarakan.
Nur Azmi menanggapinya dengan sebuah senyuman. Hatinya sudah teguh memilih. Bahkan sejak sebelum ia mengenal kata talasemia. Setidaknya Nur Azmi selalu yakin, bukan laki-laki seperti Azriel yang akan menjadi imam hidupnya.
 
***
Nur Azmi memandangi kantong plastik berwarna putih yang ada di sudut tempat tidurnya. Sudah teronggok di sana sejak beberapa bulan belakangan ini. Sejak terakhir kali selang infus tidak lagi terpasang pada tangannya, Nur Azmi ogah menelan apa pun untuk menyokong hidupnya. Ia sibuk mengajar bahasa Inggris di  tiap kelas sekolah dasar tempatnya mengajar. Nur Azmi bahkan memadatkan jadwalnya.
Obat-obatan selalu mengingatkannya pada Dokter Damar. Tiap kelemahan fisik juga membuatnya berpikir tentang lelaki itu. Nur Azmi mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mencari nomor yang sudah sejak beberapa hari ini dipandanginya  tiap kali ada kesempatan. Nur Azmi tahu suatu hari ia pasti akan memencet tombol hijau pada layar smartphone-nya. Namun, Nur Azmi tak tahu bahwa saat itu akan datang secepat ini.
“Dokter Damar? Ini Azmi, Dok,” Nur Azmi berusaha suaranya terdengar tak mengkhawatirkan.
“Ya, Azmi, ada apa?” Ada banyak suara bising yang menjadi latar belakang suara Dokter Damar.
“Dokter sibuk?” Nur Azmi berusaha mengatur napasnya ketika bertanya. Lagi-lagi supaya tak terdengar panik.
“Ada apa, Azmi?” Dokter Damar menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Panggilan untuk masuk ke dalam pesawat sudah didengarnya satu kali. Sementara pesawat yang akan ditumpanginya untuk pergi ke Banjarmasin sedang menurunkan penumpang yang baru saja tiba di Kotabaru.
“Saya sesak,” jawaban Nur Azmi  makin pendek. Satu kalimat yang membuat Dokter Damar membuang boarding pass-nya ke dalam tong sampah. Detak jantungnya berlomba dengan waktu. Sementara pada  tiap helaan napasnya ia bisa membayangkan sosok Nur Azmi.
“Pak Dokter, ada apa?” wanita paruh baya itu memperbaiki letak kerudung yang dikenakannya, “masuk dulu.” Dalam hitungan kedipan mata, Dokter Damar sudah berada di depan pintu rumah Nur Azmi.
Ulun membawakan Azmi obat, Bu,” sahut Dokter Damar, berusaha tetap menjaga ketenangan dirinya sendiri. Ia melepaskan sepatunya sebelum melangkah masuk ke dalam rumah kayu itu. Ketika melepaskan sepatunya di luar teras kayu, Dokter Damar menangkap sepasang sepatu lelaki lainnya. Yang diyakini Dokter Damar bukan milik ayah Nur Azmi.
Sambutan ayah Nur Azmi ramah padanya. Untuk duduk dan bergabung dengannya dan Azriel. Di sela-sela senyum sopan penolakan yang disunggingkannya untuk ayah Nur Azmi, Dokter Damar menyembunyikan kekalutan hatinya.

“Azmi garing di kamarnya, Pak Dokter. Coba tolong lihatakan anak ulun,” permintaan seorang ibu yang tak mungkin ditolak oleh Dokter Damar.
Dokter Damar berjongkok di sebelah tilam Nur Azmi. Sementara mata Nur Azmi yang berkedip satu kali dan nyalang selebihnya itu sudah mengatakan semuanya. Dokter Damar tahu betapa sulitnya Nur Azmi menjaga raut wajahnya agar tetap tenang, sementara gerakan dadanya berkata sebaliknya. Ia membuka tas dan mengambil stetoskop. Mendengarkan apa yang sudah diketahuinya sebelum ini.
Dokter Damar membuka kantong plastik berwarna putih yang masih terikat itu. Ia mengambil beberapa yang dibutuhkannya sekarang. Setelah mengambil satu butir pada beberapa kantong, Dokter Damar menyerahkannya di telapak tangan Nur Azmi. Ia memastikan gadis itu menelan semua tablet dan kapsul yang diberikannya. Setelah itu Dokter Damar menumpuk tiga buah bantal di belakang punggung Nur Azmi. Membuat Nur Azmi lebih nyaman dengan posisi barunya sekarang. Sementara mata gadis itu terpejam, pergerakan dadanya mulai melambat. Lebih dalam daripada ketika Dokter Damar melihatnya beberapa menit lalu.
Ampih kah sudah, Nak aei?”  Ibunya duduk di sebelah Nur Azmi.
Gadis itu tersenyum, menganggukkan kepalanya. Berlagak akan beristirahat, Nur Azmi memejamkan matanya. Pura-pura tenang dan sudah sembuh membuatnya secara halus mengusir sang ibu. Namun Dokter Damar tetap ada di tepi pembaringan Nur Azmi.
“…pasti tiap keluarga gasan kebahagiaan buat anaknya lo. Terserah lagi ja anaknya.”  Suara ayah Nur Azmi terdengar berat, dalam, dan lambat. Sehingga Dokter Damar dapat menangkap  tiap kata yang terucap itu dengan baik di tengah keheningan yang meliputi rumah kayu itu.
Abah ketuju banar Azmi bahagia. Kalo inya handak menikah lawan ikam, abah menurut ja untuk kebahagiaan anak.”  Masih suara ayah Nur Azmi. Setelahnya ada keheningan panjang sebelum akhirnya terdengar suara penuh kegelisahan yang pamit pulang.

Handak menikah?” Dokter Damar menunjuk pintu kamar Nur Azmi dengan jempolnya, “dengan si guru olahraga?”
Nur Azmi tahu, Dokter Damar barangkali hanya memecah kesunyian. Atau bahkan mungkin berkelakar. Mereka sama-sama tahu apa artinya sebuah pernikahan bagi penderita talasemia. Berarti penderita talasemia lainnya karena gen kelainan yang diturunkan. Nur Azmi cukup cerdas untuk mencari sebanyak mungkin informasi tentang talasemia.
“Kenapa begitu pesimistis dengan talasemia? Kenapa tidak mencari pengobatan yang lebih baik?” tanya Dokter Damar penasaran.
Nur Azmi menjawab pertanyaan itu dengan senyum simpul yang sopan, “Karena  tiap orang akan mati, kembali ke Sang Pencipta. Tetapi tidak semua orang tahu bagaimana memanfaatkan waktu sambil menunggu waktu kematian.”
Lagi-lagi Dokter Damar tertohok. Mengapa ia dipertemukan dengan gadis ini sekarang? Apa yang dikehendaki oleh Sang Hyang Ilahi dengan memperdengarkannya sepotong kalimat yang tak pernah terucap dari semua pasiennya selama ini? Kenapa harus bibir milik Nur Azmi yang mengucapkan itu?
“Jadi, apa yang kamu lakukan?” tanya Dokter Damar.
“Mencari penggantiku,” sahut Nur Azmi mantap, “supaya ada banyak anak Kotabaru yang melihat dunia di luar Pulau Laut.”
“Ada banyak, kok, yang kuliah ke Banjarmasin. Ke Surabaya juga banyak,” Dokter Damar menggedikkan bahunya, “kesadaran akan pendidikan kulihat sudah berkembang di sini.”
Nur Azmi menggelengkan kepalanya, “Bukan hanya fisiknya yang keluar dari Pulau Laut, tetapi semangatnya. Semangat untuk tak pernah puas dengan kenyamanan yang diberikan tanah kelahirannya. Tanpa pernah melupakan apa yang mereka miliki di tempat asalnya.”
Dokter Damar sehat. Segar bugar. Tetapi ia tak pernah berpikir seperti Nur Azmi. Haruskah ia menderita cacat fatal supaya bisa mengembangkan hidupnya? Sementara selama ini ia hanya sibuk melarikan diri. Kabur dari kenyataan hidupnya sendiri. Layakkah ia kini berada di hadapan Nur Azmi sebagai manusia yang sederajat? Dokter Damar malu pada dirinya sendiri. Seakan ia tak sanggup lagi memandang wajahnya yang terpantul di cermin.
 
***
Nur Azmi tak mampu membohongi dirinya sendiri. Makin ia memaksakan diri untuk mengajar bahasa Inggris di  tiap kelas,  makin sulit mengatur napasnya sendiri. Tiap sel tubuhnya memberontak. Tetapi bukan Nur Azmi namanya kalau ia kalah pada fisiknya.
Anak-anak sudah bedatangan di muka rumah,” suara ayahnya terdengar di balik tirai yang menutupi pintu kamarnya.
Nggih, Bah aei. Setumat lah.”  Nur Azmi memaksa kaki-kakinya untuk bergerak dari tilam. Makin lama bengkak kakinya  makin besar. Setelah mengenakan celana dari bahan katun yang sangat longgar, Nur Azmi memperbaiki letak kerudungnya. Susah payah ia berjalan keluar dari kamarnya. Di sanalah Nur Azmi mendapatkan kekuatannya kembali. Ia melihat cengiran lebar anak muridnya yang menunjukkan gigi-gigi ompong mereka.
“Abah sudah tahu ikam sakit parah, Nak,” ujar ayahnya setelah semua anak murid Nur Azmi menutup pintu rumah kayu itu, “kam harus rancak berobat, Nak aei.”
“Penyakit Azmi kada kawa sembuh, Bah,” Nur Azmi mengatakan yang sesungguhnya. Sudah waktunya orang tuanya tahu apa yang akan mereka hadapi. Berharap dengan kalimat-kalimat yang bakal dituturkannya ini orang tuanya tak akan menumpahkan air mata  makin banyak. Pada akhirnya nanti, Nur Azmi juga tak mau dikuburkan dengan banyak air mata berlinangan.
Ibunya menangis tersedu-sedu. Ayahnya merangkul Nur Azmi dan ibunya sekaligus. Ketiganya menyatukan keputusasaan dalam tautan tangan-tangan dengan tali kasih sayang keluarga yang tak terlihat. Namun Nur Azmi dapat merasakan kesedihan yang cepat atau lambat bakalan pudar.

***
“Kenapa kamu enggak mau dirawat di rumah sakit untuk transfusi darah?” tanya Dokter Damar di sela-sela bunyi ritmik monitor ICU. “Kalau kamu ditransfusi, melanjutkan pengobatan, kamu bakalan punya banyak kesempatan untuk bisa mengajar lagi.”
Akibat memaksakan diri untuk mengajar di kelas-kelas khusus bahasa Inggris, kegagalan fungsi organ Nur Azmi   makin menjadi-jadi. Namun, ia lagi-lagi menolak tawaran transfusi darah. Sesuatu yang dianggapnya akan membuang waktu berharganya buat tetap berada bersama anak-anak muridnya.
“Aku enggak mau mereka tahu kalau aku sakit. Aku ingin anak-anak itu mengingatku sebagai gurunya yang bersemangat, ceria, menyenangkan, dan membuka wawasan mereka tentang dunia luar,” sahut Nur Azmi. “Aku tidak mau mereka mengingat aku sebagai guru yang suka sakit-sakitan dan bolos sekolah.”
“Kenapa kamu sakit parah dan masih memikirkan anak-anak itu?” tanya Dokter Damar penasaran,
Nur Azmi tersenyum, “Memikirkan orang lain itu wajar, ‘kan? Memangnya orang sehat seperti Dokter Damar saja yang boleh memikirkan orang lain?” gadis itu berusaha berkelakar walaupun ia tengah berjuang buat mendenyutkan jantungnya sendiri.
“Siapa bilang aku memikirkan orang lain?” Dokter Damar seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Membuat orang sakit menjadi lebih baik itu bukan berarti aku memikirkan orang lain. Itu pekerjaan. Tetapi sebenarnya aku memikirkan diri sendiri. Bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup dengan jauh dari masa lalu. Bagaimana menjalani hidup dengan lebih baik, merasakan semangat, mendapatkan rasa tertarik terhadap rutinitas.”
“Itu tidak cukup hanya dengan semangat,” Nur Azmi berusaha untuk tersenyum. Ia meneliti lelaki yang duduk berhadap-hadapan dengannya di atas tilamnya sendiri. Ada sesuatu yang berubah pada wajah Dokter Damar. Caranya memandang terlihat menerawang kali ini. Ia seperti berada di belakang kenyataan hidupnya. Garis-garis wajahnya meruncing dengan cara yang tak pernah dilihat Nur Azmi sebelum ini. Seakan-akan Dokter Damar sedang melepaskan topengnya sendiri.
Dokter Damar merasakan tangannya mendadak lembap. Ia melihat tangan kecil yang berusaha melingkupi seluruh tangannya. Milik Nur Azmi yang ramping namun sedang membengkak. Dokter Damar kembali merasakan kehangatan yang selalu terpancar dari diri Nur Azmi. Sekalipun ia dokter dan Nur Azmi adalah pasiennya, sebagai pribadi Dokter Damar merasa aman berada di dekat Nur Azmi.
“Tidak semua orang punya kesempatan untuk menuntaskan apa yang sudah ia mulai,” kata-kata Nur Azmi membelai gendang telinga Dokter Damar dengan lembut.
“Apa kamu akan menuntaskan apa yang sudah kamu mulai selama ini?” tanya Dokter Damar, miris.
Nur Azmi menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan, “Aku akan menyaksikan buah keberhasilan usaha yang sudah aku mulai dari atas sana.”
Nur Azmi  makin lemah. Detik demi detik yang dilalui oleh Dokter Damar bersama Nur Azmi membuat hatinya begitu pedih. Makin lama ia bersama Nur Azmi,  makin banyak hal yang ingin dilakukannya. Ia ingin memberikan Nur Azmi lebih banyak lagi kesempatan. Buat meraih apa yang selama ini dicita-citakannya.

Dokter Damar tahu Nur Azmi sudah menolak lamaran Azriel. Lelaki itu pun nyaris tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Beberapa kali Dokter Damar menimbang-nimbang untuk bertanya perihal lelaki itu. Namun tanpa perlu ditanyakan, ayah Nur Azmi sudah mengungkapkan penolakan anak gadisnya padaAzriel. Bahkan ayah Nur Azmi pun tahu bahwa kalaupun Nur Azmi berjodoh dengan seorang lelaki,  bukan Azriel orangnya.
Sekujur tubuh Nur Azmi sudah terpasang oleh selang dengan berbagai fungsi. Yang dapat dilakukannya sekarang ini hanya berbaring dan menghitung napasnya sendiri. Lambat dan dangkal. Nur Azmi akan segera kehilangan kesadarannya.
Muak pada kepasrahan Nur Azmi, ia memaksa memasukkan darah yang dibutuhkan Nur Azmi. Melanggar hak otonomi pasien. Bak air hujan yang menyirami tanah gersang, hasilnya tak mengecewakan. Bunga-bunga itu kembali merekah. Sama seperti Nur Azmi saat ini. Walaupun tidak ada rona merah di pipi yang menghapus pucat di wajahnya.
“Buat apa kamu berbaring diam menanti maut di sini,” Dokter Damar menjawab tatapan tak suka Nur Azmi padanya atas perawatan di ICU, “kamu harus bisa bangkit. Buat bisa melihat semua yang selama ini sudah kamu usahakan.” Dokter Damar menyerahkan sebentuk amplop putih. Ia membukakan amplop putih itu di hadapan Nur Azmi.
“Salah satu murid kamu dapat beasiswa sekolah di luar negeri, Azmi,” Dokter Damar tersenyum penuh haru. “Kamu harus mengantarkan dia untuk berangkat.”
 
***
Dokter Damar tak pernah mengungkapkan rasa syukur kehidupan Nur Azmi yang diperpanjang oleh Tuhan. Setelah ia menyaksikan sendiri betapa tak berdayanyagadis itu, kini Dokter Damar bisa bernapas lega  tiap kali melihat senyum Nur Azmi yang menyambut kedatangannya. Namun, Nur Azmi tahu persis apa yang membayangi hati Dokter Damar   tiap kali merasakan kehadiran Dokter Damar di dekatnya.
Makin membaik kesehatan Nur Azmi, Dokter Damar  makin tergelitik untuk tertular semangat Nur Azmi. Yang tidak memikirkan dirinya sendiri. Tetapi membuka banyak pintu bagi anak didiknya untuk melihat dunia luar. Ia juga ingin membuka sebuah pintu. Pintu hatinya sendiri. Tetapi  tiap kali ia ingin mencari nomor telepon rumah, adik, atau ibunya, Dokter Damar segera menutup layar smartphone-nya.
“Ada seminar tentang talasemia di Jakarta,” Nur Azmi menyajikan segelas kopi hangat untuk Dokter Damar yang datang berkunjung ke rumahnya. Sesuatu yang sudah rutin akhir-akhir ini.
“Kamu enggak mau ikut?” tanya Nur Azmi, berusaha memancing rasa tertarik Dokter Damar. Namun lelaki itu hanya menggedikkan bahunya sembari menyeruput kopi susu hangatnya.
“Kecuali kamu mau juga ikut ke Jakarta untuk berobat,” Dokter Damar membiarkan rasa pahit dan manis dari kopi susu buatan Nur Azmi itu membakar kerongkongannya.
“Asalkan sama-sama dengan kamu,” sahut Nur Azmi mantap.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama berharap Dokter Damar mendengar keinginan itu terungkap dari mulut Nur Azmi. Ketika ia menoleh dan menatap langsung pada sepasang mata paling hitam yang pernah dilihatnya itu, Dokter Damar menemukan jawaban dari keinginannya.
Bujuran?”

Ia tidak tahu berapa banyak waktu yang masih diberikan Tuhan untuknya. Juga tidak tahu berapa banyak lagi kesempatan menikmati kebersamaan dengan Dokter Damar. Setidaknya sebagai kenang-kenangan lelaki itu akan dirinya.
Bahkan sebelum Nur Azmi memulai, Dokter Damar sudah tertular semangat gadis itu. Akan sebuah masa depan yang berkompromi dengan masa lalunya. Sesuatu yang hanya akan dipikirkannya ketika bersama Nur Azmi. Begitu melihat senyum lebar merekah di wajah tirus Nur Azmi, Dokter Damar mengambil ponsel dari dalam saku kemejanya.
Jemari lentik Nur Azmi yang menggenggam tangannya dengan penuh keyakinan seakan membakar inti hati Dokter Damar. Membuat Dokter Damar menekan tombol hijau pada nama ibunya. Dengan aliran semangat Nur Azmi lewat genggaman tangannya itu, Dokter Damar memulai pembicaraan paling canggung yang pernah dilakukannya. Tetapi setiap kata yang terucap dari celah bibir Dokter Damar untuk sang ibu di seberang lautan sana mengikis kekecewaan dan kengeriannya akan cinta murni wanita yang melahirkannya itu perlahan-lahan.

(Tamat)

***
Rosa Amanda Salim
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?