Fiction
Aroma Gula di Ujung Senja [3]

10 Aug 2016



Bagian 3 (Tamat)

Kisah sebelumnya:
Dikecewakan kekasihnya, Ginsa yang kuliah di Jawa memilih pulang ke kampung halaman di Bolaang Mongondow dan menjadi guru. Ia bergaul akrab dengan Amak Wetik, wanita tua yang tinggal sendirian. Ginsa yang sudah akan menikah, lalu jatuh cinta pada Hego, putra Amak Wetik, yang mengajari warga desa membuat gula semut.
 
Ginsa dan Hego berkendara menuju sebuah warung kopi di pinggiran Kotamobagu. Dari tempat itu terpampang jelas sebuah gunung yang paling mencuat di antara lainnya, Gunung Ambang. Di punggungnya tersebar berhektare-hektare kebun kopi yang hampir semua petaninya adalah buruh asal Jawa yang telah bekerja sejak kolonial Belanda. Mereka memilih untuk tinggal dan tetap melestarikan kopi Kotamobagu.
            “Ramai juga, ya, warung kopinya. Ada wifi-nya lagi.”
            Ginsa mengangguk menyiratkan raut bangga.
            “Kopi Kotamobagu ini trademark-nya Sulawesi Utara. Bahkan dalam pertemuan antara pemerintah Indonesia dan Republik Ceko, kopi Kotamobagu yang disajikan.”
            “Wah. Hebat juga ternyata.”
            Mereka terkekeh.
            “Ngomong-ngomong kapan tepatnya kamu menikah?” Hego memberanikan diri. Sebenarnya ia tak sampai hati, tapi ada yang begitu kuat mengusik keingintahuan Hego.
            Ginsa mendadak murung. Tersenyum datar.
            “Kalau tidak nyaman, tidak perlu dijawab,” sambung Hego, yang merasa segan.
            “Pekan depan,” lirih Ginsa. “Sepuluh hari lagi.”
            Jantung Hego seolah berhenti berdegup.
            “Kalau boleh tahu, apa yang mendasari perjodohan ini?” Hego kembali menyelidik. Ia sendiri tak mengerti mengapa begitu ingin tahu urusan Ginsa.
            Ginsa kembali diam. Hego tak enak hati.
            “Maaf,” lanjut Hego.
            “Aku keturunan bangsawan. Memang klise. Tapi, aku harus menikah dengan sesama bangsawan,” jawab Ginsa tiba-tiba.
            “Kalau bukan bangsawan?” cetus Hego.
Ginsa menatapnya.
            “Bisa saja. Asal hartanya cukup untuk memenuhi semua persyaratan dari pihak mempelai wanita,” goda Ginsa.
            “Memang syaratnya apa saja, sih?”
            Ginsa mencibir. Lagi-lagi merasa Hego terlalu menggampangkan.
            “Ada pongiooan. Uang yang diberikan sebagai wujud rasa syukur karena pinangan telah diterima. Ada juga potarapan, seperangkat alat kecantikan yang diberikan untuk bisa melihat mempelai wanita.”
            “Hanya untuk melihat harus membawa seperangkat alat kecantikan?” gerutu Hego.
            Ginsa mengangguk riang.
            “Masih ada lagi. Poleadan, uang yang diberikan kepada calon mempelai wanita. Dan yang terakhir, guat, uang yang diberikan kepada orang tua mempelai wanita sebagai bentuk terima kasih atas kesediaan mereka melepas anak gadisnya.”
            Hego menggeleng tak percaya.
            “Itu semua uang?”
            Ginsa kembali mengangguk.
            “Dan jangan sampai ketinggalan maharnya,” Ginsa  makin ingin mengerjai Hego yang tampak tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
            “Memangnya mahar apa yang kamu minta?” Hego memecah tawanya.
            “Entahlah. Bukan aku yang meminta, tapi orang tuaku,” kata Ginsa, lirih. “Mereka yang mengatur semuanya. Aku hanya menyumbang badan saja.”
            Hego menepuk punggung tangan Ginsa.
            “Jangan bicara seperti itu. Orang tuamu pasti ingin yang terbaik untukmu.”
            Ginsa menggeleng.
            “Keluargaku hampir jatuh miskin. Maka dari itu pernikahan ini diatur. Yah. Mirip-mirip sinetronlah,” Ginsa mendengus kesal.
            “Tapi orang tuamu pasti sangat bersyukur memiliki anak yang berhati mulia sepertimu.” Hego menatapnya dalam.
            Ginsa menghangat. Seketika sosok Hego berubah di matanya. Ia terpesona.
            “Kamu terlalu pandai merayu untuk ukuran seorang pedagang bakso,” pujinya malu-malu.
            “Pedagang bakso?”
            Ginsa mengangguk, menyesap kopi yang tak semanis wajahnya.
            “Kata Amak, kamu di Jakarta berdagang bakso,” ujar Ginsa lugu.
            Hego terkekeh geli. Wajahnya  makin menawan saat Hego tertawa.
            “Pengusaha otomotif. Aku punya beberapa showroom di Jakarta. Tapi, lulusan teknologi pangan,” ujar Hego menerawang.
            Ginsa hampir menganga mendengar pernyataan itu. Pantas saja gaya Hego selangit, pikirnya. Ternyata memang bukan orang sembarangan.
            “Kalau memang sukses, kenapa Amak kamu biarkan hidup susah?”
            Hego menatap Ginsa tajam. Entah jawaban apa yang harus ia berikan. Seperti ada yang hampir meledak di dalam dada Hego.
            “Bukankah dia yang tidak menginginkanku,” lirihnya gemetar menahan perasaan.
            “Dia? Maksudmu?” Ginsa kebingungan.
            “Perempuan itu membuangku di panti asuhan sejak aku lahir. Orang tua macam apa yang tega membuang anaknya begitu saja.” Bibir Hego bergetar kencang.
            “Kamu ini bicara apa?” Ginsa meradang.
            Hego menatapnya nanar.
            “Amak Wetik bukan ibu kandungmu. Amak menemukanmu dibuang sewaktu Amak tinggal di Jakarta. Amak yang mandul merasa iba, tapi suaminya tidak pernah setuju kalau membawamu pulang. Akhirnya Amak menitipkanmu ke panti asuhan,” ujar Ginsa.
“Tiap hari Amak menengokmu saat suaminya bekerja. Membawakanmu banyak mainan dan susu. Tapi baru setahun, Amak bersama suaminya harus kembali kemari. Jakarta tidak membawa kesuksesan bagi mereka.”
Hego hanya terdiam.
“Tiap bulan Amak menyisihkan uang untuk dikirimkan ke panti asuhan tempatmu berada. Agar kamu bisa hidup dengan layak.”
Hego tetap bungkam. Bibirnya masih bergetar. Namun kali ini disertai mata yang berkaca. Selama ini Hego mengira pendidikannya sampai perguruan tinggi dibiayai pihak panti.
“Padahal kamu bisa lihat sendiri. Sepeninggal suaminya, Amak harus bekerja membanting tulang. Amak sering sekali tidak makan. Bahkan seminggu sebelum kamu datang, Amak baru saja mengirimkan uang ke panti asuhan.”
Terlihat jelas rasa bersalah di wajah Hego.
            “Tapi kamu hebat, ya.”
            “Hebat?” Hego mengernyitkan dahi.
            “Ya. Hebat. Padahal kamu menyimpan kemarahan pada Amak, tapi kamu tetap ingin membantu beliau dengan mengembangkan usaha gula semut. Hatimu juga sangat mulia,” puji Ginsa.
            “Awalnya hanya demi kemanusiaan. Tidak lebih. Tapi sekarang, entahlah. Aku tak tahu harus bagaimana,” katanya lirih.
 
 
***
 
Senja keesokan hari mulai luntur. Kalong-kalong mulai bersahutan meninggalkan sarang. Pikiran Ginsa masih tertuju pada Amak Wetik dan Hego. Ia khawatir Amak Wetik murka karena ia telah berani sewenang-wenang menyampaikan rahasianya. Ia juga khawatir Hego akan meninggalkan Amak Wetik setelah tahu yang sebenarnya.
Ginsa telah sampai di muka rumah Amak Wetik. Ia membawa serta sehelai kemeja untuk Hego dan baju untuk Amak sebagai tanda maaf. Terlebih lagi sejak pertama tiba, Ginsa melihat Hego memakai baju yang itu-itu saja, yang sepertinya setelah kering dicuci langsung dipakai sekenanya.
“Amak baru saja berangkat,” ujar Hego sebelum Ginsa sempat mengucapkan salam.
“Padahal sudah buru-buru setelah mengajar,” Ginsa melenguh panjang.
Hego tersenyum ramah. Senyum hangat yang selalu membuat Ginsa ingin kembali melihatnya.
“Ini sebagai tanda maaf soal yang kemarin,” Ginsa berusaha mengendalikan perasaannya. Ia sodorkan bungkusan berisi kemeja untuk Hego.
Hego menerimanya dengan terheran.
“Maaf untuk apa?”
“Karena terlalu ikut campur urusanmu dengan Amak.”
Hego tertawa geli.
“Seharusnya aku dan Amak berterima kasih padamu. Kalau tidak begitu, seumur hidup kami akan selalu salah paham.”
 “Jadi Amak tidak marah?” Giliran Ginsa yang terheran.
Hego menggeleng.
“Terima kasih banyak, ya,” kata Hego riang, sambil merentangkan kemeja pilihan Ginsa.
“Maaf, ya, kalau tidak sesuai selera pengusaha otomotif,” Ginsa meragu.
“Kenapa harus minta maaf? Ini keren, lho,” Hego berujar dengan raut tulus yang Ginsa yakin tidak mungkin dibuat-buat. Ginsa hampir-hampir tidak berkedip memandangi Hego.
“Syukurlah kalau kamu suka. Kalau begitu, aku permisi dulu, ya.”
Ginsa hendak tinggal lebih lama, tapi segan rasanya kalau ia tak menyegerakan diri untuk pamit, sementara tidak ada Amak Wetik di sana. Namun, seperti ada yang mengikat kuat dirinya. Ia tak mampu bertolak. Entah seloroh perasaan apa yang membuatnya enggan memalingkan wajah dari Hego.
Tapi, tak ada alasan lagi yang bisa membuat Ginsa tinggal lebih lama. Berkali-kali ia menggigiti bibir. Berpikir apa lagi yang bisa menjadi alasan. Tak mungkin menunggu Amak yang jelas-jelas baru akan kembali tengah malam.
Ginsa pun melangkah keluar. Bersamaan dengan itu, Ginsa merasakan tarikan kuat merengkuh jemarinya. Pintu kayu berdebam. Ginsa telah kembali berada di dalam. Namun, kali ini lebih ke dalam karena ia ada di dalam pelukan Hego.
“Jangan pergi,” kata Hego yang berjarak hanya sepuluh senti dari wajah Ginsa.
Bisa ia dengar jelas napasnya yang memburu. Jantung Ginsa berdebar kencang. Sangat kencang. Napasnya juga tersengal. Dadanya naik turun. Mereka bertatapan.
Dengan lembut Hego menyapukan jemarinya ke segaris bibir Ginsa yang telah gemetar. Ginsa menelan ludah. Wajah Hego kian merapat. Perlahan ia mulai memejam. Membiarkan gemulai perasaannya berpagut mesra.
“Kalau tahu harga satu kemeja bisa setara dengan sebuah ciuman, seharusnya tadi aku membawakanmu selusin,” celetuk Ginsa.
Hego hanya terkekeh geli dan kembali merangkulnya. Hangat menjalari tubuh keduanya. Sisanya, otak sudah tidak bekerja.
 
 
***
 
Seperti wabah yang tersebar begitu cepat, semudah itu gula semut mendapat tempat di hati masyarakat. Banyak produsen gula merah yang ingin beralih  pada gula semut yang dirasa jauh lebih praktis dan bernilai jual tinggi.
“Kalau  tiap hari peminatnya terus meningkat, kita bisa mulai menambah mesin produksi,” tutur Hego.
Semua manggut-manggut semringah di hadapannya.
“Yang penting kualitas harus selalu diutamakan,” lanjutnya. “Kalau kualitasnya terjamin, konsumen pasti terus mencari. Kalau sudah begitu, semua pasti mendapatkan keuntungan. Mulai penyadap nira, pengolah gula semut, distributor, pedagang langsung, bahkan ekonomi fiskal daerah bisa meningkat pesat.”
 “Bicara ekonomi fiskal di depan petani?” cibir Ginsa setelah rumah Amak Wetik menyepi.
Hego mengendap memeluki Ginsa setelah sebelumnya memastikan tidak ada siapa pun di sekitar mereka.
“Memangnya kenapa? Petani tidak boleh diajak bicara soal ekonomi?”
“Bukan tidak boleh. Tapi bukan porsi mereka. Kamu ini sudah seperti pejabat yang ingin menciptakan otonomi duniamu sendiri,” ledek Ginsa.
“Memangnya itu salah? Kalau ekonomi fiskal suatu daerah  makin kuat, kesejahteraan rakyat akan otomatis terdongkrak, ‘kan?”
“Ya. Kalau ditangani oleh orang-orang yang tepat, seharusnya bisa.”
“Yang penting kita terus melakukan pendidikan pasar. Kita bidik pasar industri sebagai target utama. Kita unggul dari segi kepraktisan dibandingkan gula merah padat.”
“Wah-wah. Sudah jauh sekali ternyata rencananya, ya.”
“Yang namanya rencana memang harus begitu. Agar kita terpacu untuk terus melakukan yang terbaik. Betul begitu kan calon yang mulia hakim?”
Ginsa menoleh terkejut.
“Tahu dari Amak?”
Hego mengangguk.
“Pantas saja rewelnya luar biasa kalau bicara soal hukum,” goda Hego yang kian merekatkan dekapannya.
“Itu kan manusiawi,” Ginsa merajuk kesal.
“Tidak semua manusia punya rasa kemanusiaan,” lanjut Hego.
“Tapi aku melihatmu jauh melampaui nilai kemanusiaan itu sendiri.”
Hego tersenyum malu.
“Aku tahu kamu istimewa,” lanjut Ginsa.
“Walaupun bukan bangsawan?” goda Hego.
“Tidak perlu menjadi bangsawan untuk memiliki kualitas sepertimu.”
“Kamu terlalu berlebihan menilaiku.”
“Mungkin penilaian berlebihan itu yang telah membuatku jatuh cinta.” Wajah Ginsa merona.
 
 
***
 
Senja telah terlewati sekali lagi. Makin berkurang pula jatah kebebasan yang Ginsa miliki sebelum resmi dinikahi Guma. Pikiran Ginsa ruwet. Seolah jutaan semut telah keluar dari butiran-butiran gula yang terus ia amati, kemudian berduyun-duyun masuk ke otaknya. Mengobrak-abrik saluran yang mengendalikan logika.
Sempat terpikirkan oleh Ginsa meminta Hego untuk melarikannya, namun ia tidak yakin apakah itu jalan yang terbaik. Hego bisa-bisa terkena sanksi pidana atas tuduhan penculikan kalau sampai orang tua Ginsa tidak terima.
“Pekan depan kamu sudah menikah, kenapa masih saja berkeliaran?” tegur Amak Wetik pada Ginsa yang tengah asyik mengamati proses pengkristalan gula semut. Ia pura-pura tidak mendengarkan. Amak Wetik mulai geram.
“Kalau tidak mau menikah, ya, jangan menikah. Menikah itu untuk seumur hidup. Jangan dibuat main-main,” omelnya.
Hego menatap lekat ke arah Ginsa yang tampak sangat merana. Ginsa tetap diam tak menjawab.
“Sudahlah, Amak.” Hego berusaha menenangkan Amak yang mulai berkaca-kaca.
Bagi Amak, Ginsa sudah seperti putrinya sendiri. Nyata benar kalau Amak sangat menyayangi Ginsa dan tak ingin sesuatu yang buruk menimpanya.
“Amak sudah putuskan akan menetap di Jakarta bersama Hego. Besok kami akan berangkat ke Jakarta. Mungkin Amak tidak akan sempat melihatmu menjadi pengantin. Amak harus menghadiri pernikahan anak Amak yang satu lagi.” Isak Amak Wetik yang segera menghambur ke kamar tidurnya.
Ginsa terenyak. Pernikahan anak Amak yang satu lagi? Ia menatap lekat ke arah Hego. Hego hanya tertunduk lesu, menyesali ketidakberaniannya mengatakan kenyataan pada Ginsa. Ginsa mendidih seketika.
“Aku bisa menjelaskan semuanya,” cegah Hego pada Ginsa yang telah melangkah pergi.
“Semuanya sudah sangat jelas.”
“Tidak. Aku tidak mencintai perempuan itu. Aku mencintaimu.”
“Lalu kenapa kamu mau menikah dengannya?
“Kamu juga begitu. Kamu tidak mencintai pria itu.”
“Tapi aku tidak pernah menutupinya!”
“Aku juga tidak berencana menutupinya. Aku hanya takut merusak rencana pernikahanmu. Tapi sekarang aku tidak peduli pada apa pun lagi.”
“Lalu apa maumu?” Ginsa meradang.
“Ikutlah bersamaku dan Amak ke Jakarta.”
“Tapi….”
“Besok, pergilah ke bundaran paris sebelum petang. Pastikan tidak ada yang melihatmu. Aku dan Amak akan menunggumu di sana.” Hego menatap Ginsa dalam-dalam.
“Lalu pernikahanmu?”
“Itu soal mudah,” jawab Hego mantap.
Ginsa hanya mengangguk tak tahu harus bagaimana bersikap. Ia ingin marah, tapi tak juga bisa menutupi keinginannya atas diri Hego.
“Aku mencintaimu,” bisik Hego.
Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Hego padanya.
 
***
 
Meski batinnya berkecamuk, Ginsa tetap tampil menawan. Di dalam rumahnya yang telah berhiaskan aneka rupa bunga, ia duduk dengan anggun di samping Guma. Seolah bisu, mendadak tuli. Tetabuhan kulintang yang bergenderang tak mampu menembus batinnya yang jauh menerawang. Bulir-bulir air langit yang berlompatan menguarkan aroma tanah basah ke udara. Menambah perisa syahdu pada alas langit kelabu.
Gerimis yang sama terjadi pekan sebelumnya. Tumpahan air itu tak mampu meredam riuh kerumunan manusia yang memenuhi jalanan sempit berbatu. Beberapa di antaranya berwajah marah. Yang lain tak berhenti berteriak memaki. Mereka terus meringsek masuk ke halaman tak peduli hari telah beranjak malam.
“Dia pasti antek-antek yang dikirim untuk memecah belah warga!” jerit seorang pria dengan sebilah bambu yang teracung di tangan kanannya.
“Dia pasti mata-mata!”
“Yang pasti orang itu sudah banyak merugikan kita!” sahut yang lainnya.
“Ayo, kita usir dia dari sini!”
Amak Wetik menggigil ketakutan. Hego merekatkan pelukannya pada Amak Wetik. Hanya bisa saling menatap dalam diam di sudut kamar. Pintu rumah berdebam menahan serangan. Hego bisa saja melawan kalau bukan karena ingin Amak Wetik tetap aman.
Massa membawa senjata. Kalau berani menantang, pasti habislah ia dan amaknya, pikir Hego. Massa  makin tak terkendali. Mesin-mesin pengkristal dan pengering gula semut di dapur jadi bulan-bulanan. Tak butuh waktu lama, Hego telah diseret ke tengah massa.
Andaikata harapan bisa diibaratkan parasit yang mengganduli batin manusia, tentulah sejak awal Ginsa telah menyiangi semua yang ada pada dirinya. Mencegah parasit itu mencengkramnya terlalu kencang sehingga bebatan itu tak akan seberapa perih menyakitkan.
Terutama  tiap kali ia lewat di depan gubuk Amak Wetik yang telah mendebu. Bau gosong terkepul dari remah-remah yang tercecer di tanah. Kerak-kerak hitam beraroma semanis karamel menempel.
Atau  tiap kali Ia melihat televisi yang sudah sepekan penuh terus mengulang berita yang sama dalam berbagai versi tanpa kebenaran fakta. Asal bicara. Ada yang memberitakan tentang penangkapan seorang pria yang dianggap sebagai provokator terkait isu pemekaran wilayah. Ada yang bicara soal mata-mata pemerintah. Ada pula yang menyoal persaingan bisnis.
Tidak ada yang tahu persis siapa sebenarnya pria itu selain dirinya dan kedua jiwa tak berdosa yang telah dibelenggu ke balik pusara. Meskipun sebenarnya Ginsa tak sebegitu paham permainan apa yang telah menimpa dua orang yang sangat dicintainya itu. Ia tak pernah tahu apa yang direncanakan Tuhan untuknya. Seolah Ia dilahirkan hanya untuk menyaksikan berbagai wujud ketidakadilan.
Semut-semut menggerusi tanah di sela nisan. Butiran tanah tergembur keluar membentuk gundukan berwarna cokelat serupa gula semut. Seolah butiran-butiran itu yang mengantar mereka menuju peraduan terakhir.
Ginsa mengesiap dalam. Gerimis menjelma menjadi badai dalam hatinya. Membawa ingatan akan perbincangan panjang bersama Hego di tengah keindahan malam di Tudu in Passi. Kotamobagu nampak indah gemerlapan dari puncak itu.
“Sudah dengar kasus poleagon yang terbaru?” tanya Hego.
            Ginsa mengangguk.
            “Katanya sampai tewas, ya?”
            Hego menggumam.
            “Apa aparat tidak bisa bertindak?” gerutu Ginsa.
            “Menunggu aparat datang, nyawa keburu melayang.”
            “Memang sudah tidak ada keadilan yang tersisa di negeri ini.” Ginsa melemparkan pandangan pada hamparan miniatur kota yang berkerlipan.
            “Hukum dan keadilan itu tidak ditentukan oleh manusia, tetapi oleh alam,” ujar Hego.
            “Cicero, ya?”
            Hego mengangguk.
            “Ada pula sebuah adagium yang secara harfiah bisa diartikan bahwa hukum yang keras akan melukai kecuali keadilan dapat menolongnya,” lanjut Hego.
            Ginsa tercengang. Tidak menyangka kalimat seperti itu bisa keluar dari seorang Hego. Tapi, bukankah sejak awal Hego memang selalu sok tahu?
            “Jadi poleagon kau anggap hukum keras? Tidak ada keadilan atasnya?” Naluri Ginsa sebagai pakar hukum berbicara.
            “Bukan begitu. Poleagon-nya tidak salah. Pelaksanaannya juga tidak salah. Karena hukum itu dibuat dengan tujuan yang baik. Apalagi hukum adat. Pasti demi kemaslahatan masyarakat. Yang salah ya oknum yang menyalahgunakan hukum itu. Sementara keadilan sendiri wujudnya abstrak. Selebihnya, kamu pasti jauh lebih paham.”
            “Itu artinya, keadilan memang tidak pernah ada?” simpul Ginsa.
            Hego hanya mengembangkan senyum.   
“Tergantung bagaimana caramu memandangnya. Negeri ini punya segalanya”
            “Tapi tidak keadilan,” timpal Ginsa.
Hego hanya mengangkat alis dan kedua bahunya.
Ginsa menderapkan langkah pada suratan yang telah Tuhan gariskan. Menepiskan badai dari hatinya. Kembali pada riuh tetabuhan kulintang yang tak turut kebas diguyur hujan. Atap rumahnya terlampau angkuh untuk sekadar menampik guyuran. Seangkuh makna sebuah keadilan. Dan semenjak hari itu, gerimis selalu menguarkan aroma gula yang memilukan. (Tamat)
***
RAHAYU PERTIWI


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?