Fiction
Aroma Gula di Ujung Senja [1]

10 Aug 2016

 

Menjulang. Muka rumah itu elok menawan. Ukiran-ukiran kayu menyanding layar pintu kokoh yang berdiri tak jauh dari bordes teratas. Pelitur cokelat kekuningan membuatnya nampak bagai tersepuh emas. Terutama saat senja. Siapa pun segan menatapnya terlalu lama.  Angkuh.  Seolah menasbihkan diri sebagai istana para dewa. Seangkuh sang empunya, yang konon memang keturunan dewa.
Kalau cermat, ada beberapa keropeng di sana-sini. Lapuk, dimakan rayap, dimakan usia, atau dimakan oleh keangkuhannya sendiri?
Sudah ratusan tahun rumah itu berdiri. Turun-temurun ditinggali. Tapi tidak ada tumpukan sagu di kolongnya, atau sekedar nira seperti kebanyakan rumah lain di sepenjuru kampung. Sekali pandang saja, sudah bisa dipastikan rumah itu bukan milik orang biasa.
Matahari telah merajuk hendak meninggalkan sisi bumi. Menyeret selimut kelam yang perlahan memudarkan jingga. Melenyapkan bayang yang tadi masih berpendaran beberapa inchi.
Tapi rumah itu tak pernah gelap. Bukan karena petromax atau sekedar lampu minyak. Neon-neon putih menyala terang di dalamnya. Seolah berusaha menarik perhatian anai-anai untuk menyeruak masuk. Dan rumah itu memang ramai, melebihi kumpulan anai-anai.
Toiboi(1 melengkung indah memayungi semarak tetabuhan kulintang. Sesemarak perpaduan bunga toba’ang, bunga dayou, dan buah kolapipi(2 yang kesemuanya masih bertangkai segar dalam satu temali. Menyambuti kedatangan tamu agung.
Beberapa gadis terkikik riang. Ada pula yang mencibir tak senang. Tidak ada satu gadis pun yang akan menolak dinikahi dengan segala rupa pemberian mewah. Terlebih lagi dengan poleadan(3 yang tinggi.
Di dalam rumah itu pula, sepasang pria dan wanita duduk berdampingan terbalut atasan sutera kuning bertabur payet keemasan dengan songket merah menyala di bagian bawahnya. Mempelai pria berseri-seri. Kebun lakar-lakar(4 telah diserahkannya sebagai mahar. Bukan perkara satu dua hektar, melainkan puluhan.
 
***
 
Ginsa mengayuh sepedanya kencang. Beberapa kali tubuhnya berguncang akibat selaan berangkal-berangkal yang menyeruak ke permukaan jalan. Tapi tak sedikit pun Ia memelankan laju. Nyata benar kalau wanita itu tengah di buru waktu. Ia berbelok di ujung jalan dan memasuki sepetak halaman.
Rumah itu milik Amak Wetik. Seorang janda tua yang ditinggal mati suaminya belasan tahun lalu. Dahulu mereka hidup mahsyur dari hasil bertani aren. Sepeninggal suami yang tidak memberinya keturunan, hidup Amak Wetik terlunta. Maka segala yang Ia punya dijual satu per satu sampai tak bersisa. Termasuk rumah peninggalan suaminya.
Kalau saja mata tuanya tidak terganggu, sebenarnya Amak Wetik terampil dalam mengolah gomutu (ijuk) menjadi sapu atau atap rumah.
Ginsa tergopoh mendobrak pintu yang tak terkunci.
            “Assalamu’alaikum, Mak!”
            “Alaikumussalam…“ sahut Amak Wetik dari kejauhan.
            Ginsa berlari mencari sumber suara. Menyibak satu per satu tirai yang mengganduli tiap pintu.
Sebenarnya hanya ada tiga ruangan hasil sekatan yang asal-asalan di rumah itu. Satu ruangan paling besar di bagian depan untuk dapur yang juga menjadi ruangan utama. Segala macam kegiatan dilakukan Amak Wetik di ruangan itu. Mulai dari memasak, makan, mengolah gomutu, atau sekedar menumbuk padi  Satu ruangan lagi di sebelah baratnya menjadi tempat tidur. Yang terakhir hanya kakus.
Tapi kalau sedang panik, rumah sekecil itu pun bisa terasa sangat menyulitkan. Terlebih suara Amak Wetik terdengar samar-samar.
            “Amak di mana?” jeritnya. Tak ada siapapun di dalam rumah.
            “Di bawah pohon gora.” jawabnya masih lirih.
            Ginsa segera berlari keluar dan memutar ke bagian belakang rumah. Didapatinya Amak Wetik tengah duduk santai di bawah bayangan sebuah pohon jambu air sambil memakan beberapa yang telah ia petik.
            “Calon pengantin itu seharusnya sudah tidak boleh terlalu sering keluar rumah,” tegur Amak Wetik pada Ginsa.
            “Mak! Tadi saya lihat poleagon lagi sewaktu pulang mengajar!” Ginsa seolah tak mau mendengarkan perkataan Amak Wetik.
            “Hahh…Jangan kau sebut itu poleagon,” Amak Wetik melenguh panjang. Menggelengkan kepala tanda prihatin.
            Mahfum, Poleagon adalah sebuah hukum adat di suku Bolang Mongondow, di mana pelaku kejahatan akan diarak berkeliling kampung untuk kemudian diusir. Dengan begitu kampung diharapkan akan menjadi bersih dan bebas dari kejahatan.
Namun Amak Wetik sudah lupa kapan terakhir tradisi itu dilakukan seiring dengan diberlakukannya hukum negara. Itulah yang menjadi sumber kebingungan si janda tua. Pikirnya, pastilah ada oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan hukum adat untuk untuk melancarkan kepentingan pribadi.
            “Manusia zaman sekarang memang semakin anarki. Suka menghakimi,” gerutu Ginsa.
            “Kau baru hidup seperempat abad lebih sedikit. Tahu apa soal manusia antar zaman?” cetus Amak Wetik.
            Ginsa memonyongkan bibirnya. Dongkol. Ia kadang merasa kesal dengan cara bicara Amak Wetik yang ceplas-ceplos. Cenderung tak memikirkan perasaan lawan bicara. Tapi Ginsa sudah mulai terbiasa. Hanya Amak Wetik satu-satunya orang yang enak diajak bicara. Walaupun ceplas-ceplos, apa yang dikatakan Amak Wetik lebih banyak benarnya. Dia hanya tidak suka berbasa-basi.
            “Zaman sekarang sedikit-sedikit masuk koran, sedikit-sedikit masuk teve. Macam tidak bisa pilih berita yang berkualitas untuk diliput saja,” tukas Amak Wetik yang masih sibuk memreteli bangir-bangir jambu air.
            “Memang zaman dulu bagaimana?”
            Amak Wetik hanya mengangkat alisnya.
            “Banyak yang lebih parah. Ada yang pakai wayer. Ada yang main tebas. Gorok leher. Tapi tidak diliput wartawan.”
            Ginsa mengerutkan dahinya. Berpikir keras. Perlahan-lahan ada yang menguap dari pikirannya.
.
 
***
 
Baru setahun Ginsa kembali ke kampung halaman. Sebelumnya Ia tinggal di Jawa untuk melanjutkan pendidikannya sebagai master di bidang hukum.
Namun berbagai literatur tentang hukum dan keadilan yang berjejalan di otaknya sama sekali tidak membantu Ginsa menemukan keadilan dalam kisah cintanya bersama Roby. Seorang jaksa muda yang telah beristri.
Ginsa paham betul posisinya sebagai orang ketiga. Tapi ketidakmampuan istri Roby memenuhi segala kebutuhan suaminya membuat Ginsa lemah hati. Semenjak mengalami sebuah kecelakaan, istri Roby lumpuh. Hal itu membuat Roby tidak tahan hingga akhirnya menambatkan hati pada wanita lain, seorang mahasiswi cerdas satu almamaternya dulu, Ginsa.
Dari sisi mana pun Roby selalu memesona di mata Ginsa. Tubuhnya jangkung berisi. Rambutnya hitam dengan dagu yang sering tampak kebiruan sisa bercukur. Tubuhnya wangi dan selalu berkemeja rapi. Ginsa suka caranya berbicara. Ginsa suka pola pikirnya. Apapun yang Roby lakukan telah mebuatnya jatuh cinta. Cinta yang buta. Yang belakangan baru Ia sadari kalau Roby hanya mencintai tubuhnya. Mungkin lebih tepatnya bukan mencintai, tapi membutuhkan.
Tiga puluh delapan bulan lebih Roby keluar masuk kamar kost-nya. Menjajaki seluk- beluk tubuhnya. Namun seketika Ginsa dibuang begitu saja saat Istri Roby telah mulai pulih dari sakitnya.
Wanita itu tak pernah tahu perbuatan suaminya. Andai Ginsa sampai hati, Ia pasti sudah mengobrak-abrik rumah Roby. Memberitahu wanita itu. Tapi pikir Ginsa, tak akan ada gunanya juga. Dia hanya akan merusak rumah tangga orang lain. Sementara Roby tak akan pula kembali padanya. Barangkali Tuhan telah memberikan hukuman sekaligus kesempatan kedua untuknya memperbaiki diri.
Ginsa menghembuskan helaan nafas berat. Menahan getar tubuhnya akibat angin yang menelusup ke balik selimut. Tapi lebih dari itu, Ia menahan nyeri hati yang tak pernah berhenti menghantui tidurnya. Bintang nampak gemerlapan dari balik jendelanya yang sengaja tidak ditutup.
Setahun berlalu, rasa sakit itu masih membekas di hati. Ginsa sering mengutuki diri sendiri karena pernah menolak untuk dinikahi oleh Roby sesaat sebelum Ia meraih gelar master.
Ia masih berandai-andai. Kalau saja waktu itu Ia setuju, Ia pasti telah berbahagia dengan Roby. Kalau sudah dinikahi, Roby tak akan meninggalkannya. Atau setidaknya hukum bisa memberikan keadilan yang lebih bagi dirinya, bagi cintanya, kalau-kalau pada akhirnya Roby tetap pergi.
Dan di sinilah ia kini. Menambatkan diri pada harapan akan lunturnya kenangan bersama Roby. Mencari ketenangan dengan kembali ke tempat yang bisa Ia sebut kampung halaman. Tempat yang sangat Ia rindukan. Meskipun kalau bisa memilih, Ia lebih suka berada di luar rumahnya yang terasa seperti neraka.
Ginsa kembali merana. Benang itu kian kusut dan membelit isi kepala Ginsa. Ginsa mengesiap dalam. Menangkupkan selaksa cahaya yang tersisa di ujung matanya, kemudian larut bersama malam.
 
 
***
Bentor-bentor berjajar menyesaki jalanan yang melingkari Bundaran Paris. Lalu lintas kusut, semrawut. Serupa isi kepala Hego. Hari sudah mulai gelap tapi tak satu pun orang tahu alamat yang Ia tuju. Pengemudi bentor terakhir yang hendak Ia sewa menolak mentah-mentah iming-iming dua lembar uang seratus ribu yang Ia tawarkan.
“Passi itu masih jauh sekali. Harus lewat hutan, naik bukit, turun lembah. Pokoknya masih jauh,” ujar si pengemudi becak motor dengan wajah enggan. Seolah daerah yang hendak dituju oleh Hego adalah pelosok bumi yang tak terjamah oleh mesin bentor mereka.
Bahkan lebih mengerikan lagi. Tatapan itu seolah berbicara kalau tempat yang hendak dituju Hego bukanlah tempat yang wajar dikunjungi. Seolah berbicara tentang daerah keramat yang menjadi sarang pertapa dengan kemampuan ilmu hitam yang maha tinggi.
Hego menyerah pada lelah. Beringsut malas hendak mencari penginapan terdekat. Besok hari barulah Ia akan melanjutkan perjalanan, pikirnya.
Ini kali pertama Hego menginjakkan kaki di Kotamobagu. Setelah hampir tiga puluh tahun Ia hidup di tengah kerasnya ibukota Jakarta, akhirnya Ia tiba di sini. Tempat yang mungkin adalah tanah kelahirannya. Mungkin. Karena Hego sendiri tak pernah tahu pasti.
Ia tumbuh di sebuah panti asuhan. Tak pernah mengenal siapa orang tuanya. Ia pun tak pernah ingin tahu kepada siapa rasa marah dan sakit hatinya di tujukan. Selalu ada yang mendidih dan siap meletup di hatinya setiap kali mengingat perihal orangtua yang telah tega membuangnya.
Tapi beberapa bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahan. Ia membutuhkan keluarga sebagai pendamping. Sebenarnya, tidak jadi masalah bagi Hego kalau Ia tidak didampingi oleh siapapun. Ia telah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Namun perasaan pihak mempelai wanita akan jadi taruhannya. Itu saja yang menghantui pikirannya.
Entah apa yang akan ia lakukan setelah bertemu orangtuanya. Selalu ingin sekali Hego menanyakan alasan apa yang mendasari mereka membuang anak kandungnya sendiri. Ingin pula Ia memaki. Tapi Ia tak pernah tahu kepada siapa Ia harus memaki selain kepada suratan nasib. Barangkali sudah saatnya Ia bisa menumpahkan makian yang selama puluhan tahun Ia pendam.
Hego berjalan terseok dengan seutas ransel yang tergantung di punggungnya. Sebongkah harap terselip di hatinya. Berbekal secarik kertas alamat yang dituliskan oleh ibu panti.
“Maaf. Saya perhatikan dari tadi kakak kebingungan. Kalau boleh tahu memangnya mau ke mana ya?” tanya seorang anak lelaki yang telah merendengi langkah Hego.
Anak itu ceking. Berkulit kuning kecokelatan seperti terlalu seriing terpapar sinar matahari. Tapi wajahnya ramah. Tidak mengintimidasi seperti beberapa yang Ia temui sebelumnya.
“Oh iya. Saya mau ke Passi. Tapi tidak ada yang mau mengantar,” jawab Hego dengan sisa pengharapan.
“Passi? Ke tempat siapa, Kak?” tanya anak lelaki itu.
“Wetik Mahcmud,” jawab Hego yang merasa anak itu sudah terlalu banyak ikut campur untuk sekedar bersikap ramah.
“Oh. Amak Wetik?”
Hego bersungut heran.
“Adik kenal?”
“Kenal, kak. Amak Wetik itu tetangga saya.”
“Adik dari Passi?” Mata Hego mulai berbinar.
Anak lelaki itu mengangguk.
“Mari, kak, saya antar.” Angguknya ramah.
Hego girang bukan kepalang.
“Memangnya tidak merepotkan?” tanya Hego yang sudah nyata lelahnya.
“Tidak, kak. Kan sekalian saya mau pulang.”
 “Perkenalkan nama saya Hego. Dari Jakarta.” Hego mengembangkan sebelah tangannya.
“Rio.” Sambutnya menjabat Hego.
 “Mmm. Ke Passi kita naik angkutan apa ya Dik?” Hego mulai bingung.
“Itu.” Rio mengangkat dagunya menunjuk ke sebuah arah.
Ada sebilah bangku panjang di sana. Di dekatnya terparkir sebuah sepeda.
Hego mengernyit.
“Serius?” Ia mendengus geli. Menganggap Rio hendak mempermainkannya.
Rio mengangguk mantap. Menangkap keraguan di mata Hego. Namun buru-buru meraih sepedanya. Jelas terlihat kalau Ia ingin sekali membuktikan pada Hego kalau dirinya sungguh-sungguh.
“Sudah, Kak. Naik saja,” sahutnya masih dengan senyum yang ramah.
Hego pun naik ke belakang kemudi sepeda Rio yang diayuh perlahan menyusuri jalanan yang penuh bentor.
“Di sini tidak ada angkutan lain selain bentor ya Dik?” tanya Hego yang sudah memasrahkan diri pada kayuhan Rio.
“Ada Kak. Tapi memang bentor yang paling banyak.”
“Ohhh..”
“Bentor itu berkah untuk kami kak. Sebelum ada bentor, kota ini sepi. Tidak banyak orang yang mau keluar untuk bepergian karena jarang sekali ada angkutan. Setelah ada bentor, kota ini mulai hidup. Bahkan sekarang makin banyak yang banting setir jadi supir bentor.”
“Rio sendiri kenapa tidak jadi supir bentor?” tanya Hego menyelidik.
“Tidak ah. Saya lebih suka berjualan. Saya tidak mau menambah panas.”
“Panas bagaimana maksudnya dik?”
“Memang Kak Hego tidak kepanasan?”
Hego menggeleng.
“Oh iya. Hampir lupa kalau Kak Hego dari Jakarta. Pasti Jakarta berkali-kali lipat panasnya daripada di sini ya?” Rio meringis.
“Dulunya di sini sejuk, Kak. Malah kalau pagi masih sering turun kabut. Semenjak ada bentor, pagi-pagi saja udara yang terhirup sudah penuh emisi. Hawanya jadi panas. Bukan cuma di badan. Tapi juga di pikiran dan hati. Terutama bagi supir angkot yang kehilangan sumber mata pencaharian karena bentor memenuhi jalan.”
“Yah. Ternyata di mana-mana sama saja ya,” Hego menimpali.
Rio mengangguk setuju.
Mereka telah mulai memasuki gang-gang sempit yang cukup padat. Hanya ada beberapa orang yang masih berlalu lalang.
“Setelah tanjakan itu, kita sudah sampai di Passi,” ujar Rio.
“Lho. Kok sudah sampai? Kata supir bentor tadi masih jauh sekali,” tanya Hego keheranan.
“Ah. Mereka saja yang tidak pernah ke Passi. Kita tinggal menanjak ke pal batas Gogagoman dan Passi, nanti ketemu tangga masuk ke kuburan Bogani. Dari situ sudah dekat kok. Tidak sampai lima menit.”
“Oh gitu.” Hego hanya manggut-manggut.
“Memang tidak banyak yang tahu Passi. Barangkali karena bukit ini jadi orang-orang menganggap Passi itu ada di pedalaman,” lanjut Rio.
Benar saja. Kurang dari lima menit Rio telah menghentikan kayuhan sepedanya di depan sepetak halaman. Hampir-hampir Hego tak menyadari kalau desa yang baru saja Ia masuki sudah termasuk Passi.
Hego membalikkan badan dan menatap sebuah gubug reyot berukuran kecil. Jutaan tanya mengalir dalam benaknya. Apakah kemiskinan yang jadi alasan kenapa dirinya dibuang? Sementara masih banyak juga keluarga miskin yang tetap mempertahankan anak mereka.
Pikiran Hego semakin kusut. Entah harus maju atau tidak. Tapi kalau mundur, Ia juga tak bisa kemana-mana lagi. Kalau nekat pergi, Ia yakin malah akan tersesat atau lebih parahnya lagi Ia bisa bermalam di hutan. Hego bergidik ngeri kemudian memaksakan diri melangkah.
“Assalamu’alaikum.” ujar Hego meragu di depan pintu gubug itu.
“Alaikumussalam.” Jawab sesosok suara serak wanita yang dengan segera membukakan pintu.
Seorang wanita tua dengan rambut putih digelung cepol muncul ke hadapan Hego. Tubuhnya kurus tak terurus. Keriput di mana-mana. Tatapannya tajam penuh heran. Tapi ada segurat senyum tulus yang menunjukkan kalau di masa mudanya wanita itu sangat jelita. (Bersambung)
 
 ***
Rahayu Pertiwi
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?