Family
Psikolog Tika Bisono: Jangan Merusak Anak dengan Gadget

6 Nov 2017


Foto: Pixabay

Sebuah rumah makan di Jakarta menampilkan pemandangan keluarga yang sedang makan malam bersama tetapi semua anggota keluarganya memegang gadget. Saat melihat itu psikolog Dra. Tika Bisono MPsi. T nekat menemui sang ibu dan memberi tahu bahwa sebaiknya mereka semua menaruh gadget dan menikmati quality time bersama keluarga. “Setelah itu saya kabur,” kenang Tika dalam Ngobras (Ngobrol Asyik) Perempuan Galang Kemajuan (GK) Ladies di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 1 November lalu.
 
Kejadian ini bukan pertama kalinya bagi Tika. Namun ia tidak kapok mengingatkan keluarga-keluarga itu untuk meninggalkan gadget saat kumpul keluarga. “Nanti kalau anak sudah rusak, dikasih ke saya untuk disembuhkan, padahal orang tuanya yang merusak,” ujar Tika.
 
Ia mengaku sengaja agak keras menyampaikan ini karena ia sudah terlalu sering menghadapi pasien yang berusia sangat muda (ada yang kelas 5 SD) yang menghubungi psikolog karena tidak berhasil berkomunikasi dengan orang tua mereka.
 
“Anak masih kecil-kecil sudah kenal psikolog. Saya tanya mereka tahu tentang saya dari mana? Mereka bilang dari YouTube atau browsing. Akhirnya saya panggil orang tuanya dan bertanya apa yang menyebabkan anak-anak ini sampai mencari psikolog,” ungkap Tika.
 
Bagi Tika, gadget merupakan alat yang membantu kehidupan dan bukan nilai kehidupan itu sendiri. Itu sebabnya manusia sebaiknya tidak bergantung kepada gadget melainkan hanya menggunakannya untuk mempermudah komunikasi atau pekerjaan.
 
“Coba selama sesi saya sekarang, saya ingin semua orang mematikan smartphone-nya, atau minimal silent, deh. Coba, kuat enggak?” tanya Tika, yang ditanggapi dengan senyum lebar para hadirin. Bahkan saat itu masih ada saja yang sibuk memotret dan merekam Tika meski Tika sudah meminta agar audiensnya melupakan smartphone sejenak.
 
Tika menambahkan, keluarga di zaman sekarang bahkan sudah ada yang menggunakan gadget untuk komunikasi di rumah. “Sudah tidak ada lagi teriakan ibu yang mengatakan makanan sudah siap. Anak-anak yang kamarnya di lantai atas hanya dikirimi pesan WhatsApp kalau makanan sudah siap. Saya tidak membiarkan hal ini terjadi di rumah saya. Jadi ibu-ibu masih akan mendengar saya teriak-teriak mengajak anak-anak makan.”
 
Tika juga membiasakan semua gadget termasuk televisi berada di satu ruangan khusus, yakni ruang keluarga. Semua aktivitas dengan teknologi berpusat di situ, sehingga saat makan misalnya, anggota keluarga tidak sibuk menonton televisi atau bermain gadget.
 
“Saya juga mengajak anak-anak saya menyepakati waktu satu jam sehari untuk mematikan televisi. Jamnya mereka yang menentukan, sehingga kakak atau sang adik memiliki jam menonton televisi yang berbeda. Usahakan untuk mengajak anak-anak berdiskusi tentang jam-jam menggunakan televisi dan gadget.”
 
Namun Tika menyayangkan karena hampir semua orang tua yang menjadi pasiennya adalah orang tua yang sudah menjadi korban media sosial. Mereka sudah masuk tahap kecanduan yang sulit berubah. “Orang tua zaman sekarang ada tapi seperti tidak ada. Mereka kehilangan attention dan empathy. Meski berada di rumah tetapi fokusnya kepada satu benda. Misalnya anak kecil diberi gadget agar orang tuanya anteng bermain gadget. Akhirnya semua kecanduan gadget. Anak umur tiga tahun diberi iPad lalu dibanting dan orang tuanya marah-marah. Padahal untuk anak umur tiga tahun iPad adalah mainan, bukan gadget. Jadi yang salah orang tuanya, bukan anak.”
 
Menurut Tika, anak yang kecanduan gadget disebabkan oleh orang tua yang tidak disiplin menerapkan aturan. Dan ini akan semakin parah jika orang tua tidak menyadari kesalahan mereka dan segera melakukan perubahan. (f)
 


Topic

#gadget, #anak, #perkembangananak

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?