Family
Bersahabat dengan Mantan Pasangan

17 Mar 2019


 
Prioritas hidup Renatta kini adalah anaknya, termasuk soal biaya. “Saya sangat menghargai mantan suami tetap memberi biaya. Tapi saya tidak mendesak, karena saya punya prinsip, saya yang membesarkannya, maka saya akan memenuhi segala kebutuhannya. Kalau kita terus bergantung pada orang dan ternyata dia tidak bisa memenuhinya, ujung-ujungnya anak yang akan jadi korban.”
 
Karena mantan suami telah menikah lagi, tantangannya kini adalah menjaga komunikasi tetap berjalan baik sambil mencegah  kecemburuan keluarga baru mantan suami.
 
“Komunikasi kami sekarang hanya sebatas urusan anak. Kendatipun ia adalah ayah dari anak saya, saya tetap harus menjaga perasaan istri barunya,” terangnya.
 
Di tengah banyak tantangan, diakuinya, setelah menjadi ibu tunggal ia bisa lebih fokus pada pencapaian diri yang ingin ia raih. Untuk urusan traveling misalnya, wanita yang suka solo traveling ini bisa lebih bebas mengatur jadwal bepergian.
 
“Berbeda jika masih berkeluarga, pasangan pasti tidak suka atau ia merasa insecure kalau saya bepergian sendirian di negeri asing. Tapi, sekarang, saya bisa lebih bebas bepergian ke mana pun. Bahkan, kelak jika putri saya sudah besar, saya ingin membawanya dalam petualangan ke berbagai negara,” kata Renatta.
 
Pesan Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si,Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia:
 
Menjalin hubungan yang baik dengan mantan pasangan, dengan membuka akses anak untuk menghubungi atau menemui orang tuanya, memang terkadang sulit terjadi. Apalagi jika proses berpisahnya tidak berjalan mulus.
 
Pada kasus-kasus ekstrem, beberapa orang tua yang telah berpisah, bahkan memutus segala akses bagi anaknya untuk bertemu atau bahkan mengenal orang tuanya yang lain. Misalnya, menyingkirkan foto mantan pasangan atau mengatakan bahwa ayah atau ibu yang tidak mendapatkan hak asuh tersebut telah meninggal dunia. Tak jarang pula ada yang memberikan citra diri buruk tentang mantan pasangannya kepada si anak, dengan cara mencaci maki atau menggambarkannya sebagai orang yang jahat.
 
“Jika ini terjadi, hal yang diingat oleh si anak mengenai orang tuanya yang satu lagi itu hanyalah kenangan-kenangan buruknya. Dia akan kesulitan menjalin hubungan dengan laki-laki atau wanita lain pada saat dewasa nanti,” tutur Nina.
 
Anak perlu percaya, kendatipun orang tuanya tidak bersama lagi, keluarga bahagia itu tetap ada. Dari sebuah keluarga yang bahagia, anak bisa belajar cara berinteraksi dengan orang lain, baik cara berkomunikasi maupun menyelesaikan masalah. (f)


Baca Juga:

Jangan Unggah 3 Hal Ini di Medsos Jika Tak Ingin Rumah Tangga Anda Retak
Pesona Pria Lokal vs Barat
Cerita Dua Wanita Tentang Suka Duka Memiliki Pasangan Beda Bangsa

 


Topic

#family, #sex&relationship, #perceraian, #singleparents

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?