Family
Awas, Virus Malas Mengintai Anda dan Keluarga!

7 Apr 2017


Foto: Fotosearch

Di zaman yang serba cepat ini, generasi muda justru bergerak lambat. Ibarat mesin diesel, nih, kita lama banget panasnya. Punya waktu satu minggu untuk mengerjakan tugas kuliah, malah menunggu sampai last minute untuk memulainya—itupun setelah nyontek sana-sini. Situasi di kantor juga nggak jauh beda, kita cenderung senang menunda-nunda pekerjaan. Kita lebih memilih browsing tiket pesawat murah atau gosip artis ketimbang menyelesaikan laporan kerja harian. Begitu si bos menanyakan, baru, deh, panik sendiri.

Membiarkan sifat malas mengambil alih kehidupan pastinya bakal merugikan. Kita bakal sulit bertahan dalam kompetisi yang diciptakan oleh lingkungan. Tahu sendiri, kan, hanya orang yang gigih bisa menjadi pemenangnya. Hmm… kira-kira masih bisa diubah nggak, ya?  
 
Generasi instan
Perubahan zaman ikut mengubah perilaku generasi di dalamnya. Nggak percaya? Lihat saja perilaku kakak kita, lalu bandingkan dengan diri sendiri atau bahkan adik dan sepupu kita yang masih ABG. Pasti antara generasi muda yang dulu dan sekarang ada perbedaan, tuh. Menurut sosiolog, Drs. Sigit Pranawa, M.Si, generasi muda sekarang cenderung melihat segala sesuatu secara praktis dan instan.

“Dunia generasi sekarang sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang tercipta secara praktis dan pragmatis. Dalam bahasa yang lebih sederhana yaitu generasi instan. Mereka nggak mau melihat pada proses dan ogah ‘berdarah-darah’.”

Sigit kemudian membandingkan perbedaan antara generasi 80 dan 90-an dengan generasi tahun 2000 ke atas.

“Dulu setelah dosen memberikan materi untuk dipelajari, mahasiswa langsung kejar-kejaran ke perpustakaan mencari buku itu. Kalau sekarang, nih, mereka cuek-cuek saja. Bedanya sangat jauh!”
 
Berpikir pendek
Kalau dulu mahasiwa ngotot untuk bisa lulus kuliah dengan nilai bagus agar gampang mendapat pekerjaan, ‘generasi instan’ lebih santai, tuh. Mereka seolah-olah hanya menjalani hari-harinya tanpa memiliki rencana buat masa depan.

“Generasi sekarang tidak berpikir ke depannya mau seperti apa. Mereka tidak merencanakan sesuatu. Misalnya kalau ingin bekerja di tempat yang bagus, kan, harus ada sesuatu yang disiapkan. Sekarang pola pikirnya sudah terbalik. Orang senang-senang dulu dan berharap saat tua bakal kaya raya. Pokoknya, segala persoalan dijawab dengan jawaban-jawaban praktis,” kata Sigit.

Nggak heran, kan, kalau akhirnya sekarang banyak mahasiswa yang kuliah sekadar melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA. Bahkan ada juga yang ‘terpaksa’ kuliah demi menyenangkan ortu. Duh….
 
Salah siapa?
Sigit melihat lingkungan sebagai salah satu penyebab orang memilih jalan gampang, alias shortcut. Jika lingkungan tidak mendukung terjadinya persaingan, maka kita juga nggak akan terpacu untuk berbuat lebih. Makanya, nih, kemalasan bisa menular.

“Lingkungan akan membentuk karakter seseorang. Kalau lingkungannya membentuk pola pikir ‘makin banyak baca, membuat bingung, dan makin malas belajar’ maka idiom ini akan diikuti oleh generasi sekarang.”

Baca juga 3 Ketakutan Generasi Millennials

Sementara menurut psikolog Nessi Purnomo, M.Psi, ortu juga punya andil dalam membentuk sifat malas pada anak.

“Zaman dulu untuk bisa kuliah orang, tuh, harus fight. Jika ekonomi ortunya tidak terlalu kuat, dia harus bisa mencari tambahan uang agar kuliah tetap jalan dan selesai. Semakin ke sini, ortu berpikir ‘jangan sampai anaknya mengalami hal yang sama. Ketika si anak sudah terbiasa enak, kalau diminta berusaha, ya, akan menjadi sulit. Jadi, pada tahap tertentu dia akan mengandalkan ortunya. Kemudian ketika dia melihat kesuksesan orang lain, yang dilihat adalah akhirnya, misalnya orang jualan siomay bisa kaya. Bagaimana dari awal sampai akhirnya sukses, tuh, nggak dilihat,” jelas Nessi.
 
Terjebak teknologi
Kadar kemalasan bakal terus meningkat jika seseorang ‘bersembunyi’ di balik kemudahan teknologi. Daripada mengerjakan tugas, kita lebih bersemangat menimpali twit atau status teman di jejaring sosial, misalnya. Nggak terasa dua jam bakal terbuang begitu saja, dong, kalau kita terlalu asyik.

“Teknologi, tuh, ibarat pedang bermata dua, ada sisi negatif dan positif. Generasi sekarang harus bisa diajak berpikir bahwa dengan segala kemudahan yang didapat seharusnya bisa membuat diri mereka lebih produktif dibandingkan generasi dulu,” ungkap Nessi.

Sigit menambahkan bahwa keberadaan teknologi tidak bisa disalahkan. Justru, kitalah yang harus bisa mengendalikan teknologi.

“Kontrolnya ada pada diri kita sendiri. Jika kita bisa memanfaatkan teknologi secara positif maka akan membantu untuk pengembangan diri. Tapi, kalau teknologi cuma digunakan untuk selingkuh atau pacaran doang, ya, wasting time.”
 
Diubah, dong!
Meskipun sistem sudah telanjur membentuk sifat malas pada generasi sekarang, bukan berarti kondisi ini nggak bisa berubah. Menurut Nessi, salah satu caranya yaitu melalui pendidikan.

“Ajarkan value atau nilai. Orang tua tidak bisa memberikan tanggung jawab ini hanya kepada para pengajar di sekolah saja. Jadi, dalam mendidik anak harus ada kerja sama antara sekolah dan ortu.”

Sigit menganggap bahwa karakter kuat sangat membantu seseorang untuk menghadapi arus negatif yang dibentuk oleh lingkungan.

“Kembali ke diri manusia itu sendiri. Kalau mau terbawa arus akan terus terbawa ke mana-mana dan semakin nggak terarah. Kita harus mempunyai kepribadian yang kuat untuk menghadapi arus tersebut. Kita harus bisa berselancar dengan cerdas, jadi siasati arus tadi dan ambil manfaatnya. Masa depan generasi sekarang ada di tangannya sendiri. Kesuksesan tidak akan bisa diraih tanpa usaha yang panjang dan butuh proses.”

Yuk, perangi ‘virus’ malas! (f)

Baca juga 15 Pesan Ibu Sri Mulyani untuk Generasi Muda


Topic

#malas

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?