Celebrity
Raditya Dika: Tragedy + Time = Comedy

6 Jul 2013

Nama Raditya Dika mulai diperhitungkan saat buku pertamanya, Kambing Jantan –yang diambil dari blog-nya– mendapat sambutan hangat. Kisah-kisah ringan dan konyol yang dirangkai dari pengalaman hidupnya ini berhasil menjadi bacaan alternatif yang menghibur di tengah kerumitan hidup. Hingga kini, sudah enam karyanya yang diterbitkan sebagai buku.  Dua di antaranya, Kambing Jantan dan Brontosaurus, masuk dalam daftar buku laris. 

Namun demikian, dengan rendah hati Dika mengatakan bahwa baginya menulis adalah sebuah keterampilan yang berkembang seiring dengan jam terbang. Ia juga merasa tidak perlu meromantisasi prosesnya. Misalnya, dengan mendengarkan musik tertentu, atau duduk di kafe dengan ditemani secangkir kopi, hanya sekadar untuk mencari mood. “Jadi penulis itu jangan cengeng,” ujar Dika, mengutip pesan Salman Aristo, penulis skrip senior yang menjadi salah satu mentornya.

Sejak menerima wejangan ini, Dika berhenti mengeluhkan persoalan mood dan kurang inspirasi. Sebagai gantinya, ia belajar memakai segala kesempatan untuk menulis. Mulai dari yang awalnya masih pusing saat menulis di mobil yang bergerak, sampai akhirnya menjadi terbiasa. Bahkan, di bioskop pun, kalau filmnya membosankan, Dika akan mengeluarkan laptop dan melanjutkan tulisannya.

Ketika semua orang berlomba-lomba menutupi aibnya dengan sebuah pencitraan, Dika melawan arus dengan mengekspos jati dirinya, termasuk kebodohan  dan kesialannya, kepada publik. Semua ini bisa ditemukan dalam  tiap bukunya, atau saat ia melakukan standup comedy.
   
Di awal kariernya ia mengaku selalu berpikir keras bagaimana caranya membuat kisah-kisah hidupnya terdengar lucu. Namun, seiring waktu, ia belajar bahwa lucu bukan perkara bertingkah seperti badut, atau mengumbar adegan ‘terpeleset kulit pisang’. Dika melihat bahwa komedi adalah drama yang banyak membenturkan logika, karakter, dan situasi.
   
“Yang membuat lucu adalah perspektif atau cara kita memandang sebuah kejadian. Seperti serial Malam Minggu Miko, yang membuat lucu bukan Miko, Anca, atau Ryan yang memasang wajah lucu, tapi karakter mereka saat berhadapan dengan situasi,” jelas Dika.
   
Ilmu berkomedi ini ditimbanya dari para aktor, sutradara, dan komedian dunia, seperti Jerry Seinfeld, Ellen DeGeneres, Mitch Hedberg, dan terutama sutradara Woody Allen.
   
Dari Woody Allen, ia belajar bahwa komedi memiliki matematikanya sendiri, yaitu tragedy + time = comedy. Komedi adalah tragedi yang diberi waktu. “Saya pernah diputus, dibohongi, diselingkuhi, salah masuk ke toilet wanita dan terjebak tidak bisa keluar. Buat saya, semua itu adalah tragedi. Tetapi, ketika tragedi itu saya beri sedikit waktu, saya bisa kembali menceritakannya dengan nada lucu,” jelas Dika.
   



Topic

#standupcomedy, #radityadika

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?