Career
Cantik VS Pintar di Kantor

17 Oct 2017


Foto: 123RF


Buah bibir selama ini, wanita yang cantik akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan, peningkatan karier yang mulus, dan gaji lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang dianggap berpenampilan kurang  menarik. Ternyata, faktanya tidak selalu begitu.
 
Cantik ≠ Untung
Demi mendapatkan pekerjaan atau jenjang karier yang bagus, calon karyawan dan karyawan di Korea Selatan berbondong-bondong ‘memperbaiki’ wajah dan penampilan mereka agar terlihat cantik atau tampan.
 
Seperti yang dilansir LA Times, Nicky Kim, seorang karyawan, perlu melakukan ‘retouch’ pada hidung, mata, dan dagu di foto profil di CV-nya ketika melamar kerja. “Disini, kamu membutuhkan wajah yang ‘cantik’ agar bisa dipanggil kerja,” tutur Nicky. Bahkan, menurut studi situs pencari kerja Incruit di Korea Selatan, 60 persen dari 900 perusahaan menganggap penampilan sangat penting dalam pekerjaan.
 
Panggilan kerja juga banyak ditentukan dari seberapa menarik foto profil di CV calon karyawan. Dunia kerja yang kompetitif diduga menjadi penyebabnya. Penelitian Daniel Hamermesh dari Texas University, yang ia rilis dalam buku, Beauty Pays: Why Attractive People Are More Successful, menyebutkan, karyawan dengan penampilan menarik, digaji 4 persen lebih besar dibandingkan mereka yang biasa saja. Walau dunia kerja kini mengedepankan kompetensi, tak dapat dipungkiri diskriminasi fisik masih kerap terjadi di lingkungan pekerjaan. Bursa kerja di Indonesia juga tak luput dari praktik itu.
 
Elvi Fianita M.Psi, konsultan karier dari Enlighten Consultant tak memungkiri masih terjadi diskriminasi tersebut. Pada beberapa profesi tertentu yang dalam pekerjaannya mengharuskan sering bertatap muka dengan orang, memang mereka yang berparas cantik dan berpenampilan menarik dianggap lebih dibutuhkan dibandingkan mereka yang biasa saja.
 
“Tapi seharusnya hal ini tidak terjadi di lingkungan pekerjaan. Seberapapun cantiknya seseorang, pada akhirnya yang dibutuhkan untuk mengembangkan karier mereka adalah kredibilitas dalam bekerja,” tegas Elvi.
 
Diskriminasi fisik di lingkungan kerja juga pernah dialami oleh Muthia Surya (25). Beberapa waktu lalu ia sempat bekerja sebagai public relations di perusahaan kursus bahasa Inggris. Seorang direktur personalia baru di perusahaan tersebut menyindirnya dan menganggap Muthia kurang cantik dan modis untuk menjadi PR. Direktur personalia tersebut juga kerap menyampaikan ‘masalah’ ini kepada direktur operasional, atasan langsung Muthia. Untung saja, atasan langsungnya itu tak menggubris. Sebaliknya, ia justru menilai Muthia berdasarkan kinerjanya.
 
Muthia mengaku kaget. Sebab, sebelum bekerja di perusahaan itu, selama 4 tahun ia bekerja di agensi PR dan menangani ragam klien perusahaan besar, tak pernah sekali pun kinerjanya dinilai berdasarkan penampilan.  “Tiap kali selesai mengerjakan proyek, yang dinilai adalah hasil kerja saya, bagus atau tidak. Tidak pernah ada klien yang membahas penampilan saya” tutur Muthia.
 
Muthia makin merasakan diskriminasi ketika ia mengundurkan diri dari kantor. Ia dapat kabar tentang spesialis PR pengganti dirinya. “Yang paling saya ingat, komentar alasan dirinya diterima kerja: karena ia lebih cantik dan suka dandan dibandingkan saya! Bahkan, ia naik jabatan sebagai PR manager dalam waktu beberapa bulan saja,” kenangnya.
 
Wanita yang kini kembali bekerja di sebuah agensi PR ini berpikir, terlepas dari apakah ppenggantinya tersebut memiliki kinerja baik atau bermodal penampilan saja, komentar diskriminatif dari direktur personalia perusahaan tersebut membuat Muthia makin ingin membuktikan bahwa kecantikan bukanlah modal utama untuk meningkatkan karier, melainkan wawasan, ketekunan, dan skill sesuai
profesi. “Kecantikan akan pudar, tapi skill akan terus berkembang,” tutur Muthia.
 
Di sisi lain, menjadi cantik ternyata tak selalu menguntungkan. Setidaknya bagi Mieke (30), yang bekerja sebagai marketer di perusahaan perangkat elektronik. Penampilan menarik justru membuat Mieke harus bekerja ekstra keras. Menurutnya, stigma bahwa orang cantik itu bodoh membuatnya kesulitan membuktikan kemampuan dirinya.
 
“Bos selalu mengajak saya bertemu dengan klien, hanya sebagai visual pleaser. Sementara, ketika ada proyek besar yang penting, saya jarang diikutsertakan untuk menanganinya langsung. Saya merasa kemampuan bekerja saya tidak pernah dianggap oleh atasan,” ujar Mieke.
 
Ketika pada akhirnya Mieke mendapatkan kesempatan menjadi penanggung jawab proyek penting, ia justru dapat sentimen negatif dari rekan kerjanya. “Mereka menganggap saya mendapatkan pekerjaan itu hanya karena saya cantik,”cerita Mieke. Padahal, ia mendapatkan proyek itu karena memang memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan proyek.(f)


Baca juga:
Kiat Menjadikan Penampilan Sebagai Kunci Kesuksesan
4 Musuh Kulit yang Merusak Penampilan
8 Rahasia Karier Sukses Dengan Hidup Lebih Seimbang


Topic

#karierdanpenampilan

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?