Career
Atlet Perlu Mengantisipasi Karier Yang Tak Panjang

15 Oct 2018

 
Menentukan Nasib Sendiri
 
Dalam banyak kesempatan, Menpora Imam Nahrawi mengatakan, atlet berprestasi yang telah mengibarkan bendera Merah Putih di kancah internasional sudah selayaknya mendapatkan penghargaan terbaik dari negara.
 
Namun, seorang atlet sesungguhnya harus menyadari bahwa ia adalah CEO bagi dirinya sendiri. Menurut Yuni meski memiliki manajer, pelatih, dan keluarga yang memberi dorongan, klub yang memberi beasiswa sekolah, dan pemerintah yang menawarkan pekerjaan sebagai ASN, semuanya tetap kembali pada masing-masing individu.
 
Yuni memutuskan gantung raket pada usia 22 tahun, terbilang sangat dini untuk ukuran atlet. Ia lalu melanjutkan kuliah sambil mencari-cari peluang di bidang broadcasting. Ia kerap menjadi presenter acara olahraga, terutama kejuaraan bulu tangkis.
 
“Menurut saya, profesi atlet saat ini jauh lebih baik dibanding saat saya masih aktif. Baik dari segi gaji yang diberikan oleh klub, kontrak sponsor, hadiah, maupun kesempatan untuk melanjutkan sekolah. Tapi, semua kembali lagi kepada atletnya, bagaimana ia mengelola pemasukan tersebut dan apakah mau menggunakan kesempatan yang akan datang dari bidang lain,” ujar Yuni.
 

Menurut Dedeh salah satu masalah terbesar yang dialami atlet adalah pendidikan. Karena waktu, tenaga, dan pikiran habis untuk berlatih, banyak atlet tidak meneruskan pendidikan hingga ke universitas. Akibatnya saat karier atlet selesai, tak tahu harus apa karena keahlian yang dimiliki terbatas soal olahraga yang ditekuni. Pemerintah juga sulit untuk membantu menempatkannya sebagai ASN dengan posisi yang baik.
 
Inilah yang menimbulkan banyak anggapan bahwa atlet belum bisa dijadikan profesi mapan. “Oleh karena itu, pendidikan adalah hal yang utama juga. Tak ada pilihan, pendidikan adalah keharusan. Selain untuk modal di masa depan, ilmu yang kita terima di bangku kuliah juga bisa membantu peningkatan prestasi di lapangan. Hal ini juga yang mendorong saya untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin,” ujar Dedeh, yang saat ini sedang menyelesaikan disertasi untuk program doktoral jurusan jasmani di Universitas Negeri Jakarta.
 
Triyaningsih juga sepakat. “Kendati ingin menjadi atlet, tak lantas mengabaikan pendidikan. Kita terlatih mempunyai pemikiran yang lebih rasional. Sehingga, ketika kita bertanding, kita bisa berpikir cepat tentang strategi kemenangan,” katanya.
 


Topic

#karier, #atlet

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?