Blog
Momen Lebaran, antara Menantikan Liburan, THR, dan Pertanyaan Kapan Kawin

2 Jul 2016


Foto: Fotosearch
 
Bulan Ramadan merupakan salah satu momen yang paling saya tunggu-tunggu tiap tahunnya. Selain bertujuan untuk beribadah sekaligus menguruskan badan, momen ini merupakan langkah pembuka menuju Lebaran. Nah, puncak kesenangannya, ya, saat Lebaran ini.
 
Mengapa saya menganggap Lebaran sebagai puncak kesenangan? Karena di momen inilah saya (dan karyawan lain tentunya) mendapatkan hari libur—walau ada beberapa perusahaan yang memotongnya dari cuti tahunan karyawan. Tapi yang jelas, nih, rehat dari pekerjaan selama seminggu, tuh, merupakan kemewahan tersendiri.
 
Biasanya, di awal liburan saya akan menginap di rumah sahabat saya. Tujuannya, untuk memasak menu-menu kesukaan. Maklum, saya tinggal di apartemen seluas 30 meter yang nggak layak untuk masak heboh. Hasilnya, saya pun hijrah ke rumah sahabat jika ingin memasak (yang sebenarnya hanya dilakukan setahun sekali saat libur Lebaran, ha ha ha).
 
Sebenarnya masakannya bukan yang sulit. Paling banter, sih, masakan favorit saya, yaitu Ayam Cabai Hijau (maklum Padang!). Itu pun, bumbunya beli dari penjual rumahan yang tiap tahunnya menjual bumbu cabai hijau dengan rasa original Minang. Jadi sebenarnya, saya hanya perlu membersihkan ayam, mengolesinya dengan jeruk nipis, lalu memasukkannya ke bumbu jadi tersebut!
 
Menu lain yang biasa saya buat adalah perkedel. Sebenarnya, ini terinspirasi dari almarhum nenek saya, yang menurut saya perkedel buatannya adalah yang terenak (mungkin subyektif ya). Jadi tiap tahunnya, saya membuat perkedel berisi suwiran ayam. Agak repot, sih, bikinnya, karena harus mengupas kentang (yang menurut saya bukan pekerjaan menyenangkan), menggorengnya setengah matang plus menggilingnya (yang juga butuh tenaga). Tapi demi memuaskan lidah, ya, apa boleh buat!
 
Resep ini pernah saya praktikkan di Korea, saat saya liburan menggunakan fasilitas couchsurfing dan tinggal di rumah orang lokal di Jeju. Saat itu, salah satu bule yang juga menumpang di rumah Mia, si orang Korea yang menampung saya, dengan briliannya mengajukan ide untuk masak makan malam. Saya dan teman saya yang nyaris tidak pernah masak pun kelimpungan. Untungnya, ada resep perkedel nenek saya itu dan mereka pun menyukainya (meski bentuk perkedelnya nggak beraturan, ha ha ha).
 
Berhubung saya nggak pernah mudik (karena keluarga di Jakarta semua), saya pun mengisi liburan dengan bermalas-malasan. Salah satunya, menonton drama Korea. Biasanya, sih, saya akan simpan stok 1-2 judul drama seri untuk maraton nonton. Pernah, tuh, saya seperti zombie selama dua hari karena menghabiskan waktu hanya untuk sahur, tidur, nonton, dan berbuka (tanpa mandi pula, he he he). Kali ini, saya stok drama seri Entertainer dan Royal Gambler yang sudah selesai tayang di Korea.
 
Selain bermalas-malasan, yang ditunggu dari momen Lebaran tentulah THR-nya. Yap, siapa, sih, yang nggak menunggu gaji ke-13 ini? Apalagi, momen Lebaran tahun ini berdekatan dengan Jakarta Great Sale dan Jakarta Great Online Sale. Jadi bisa ditebak, deh, saya terjebak belanja online meski THR belum tiba (dengan asumsi THR sudah ditransfer saat tagihan kartu kredit tiba). Yang nggak kalah bikin kalap adalah kue kering, khususnya nastar! Sebagai pencinta nastar, saya biasanya stok 3 kotak di kamar untuk dikonsumsi sendiri (sia-sia lemak yang berkurang selama puasa!). Saya pun mengonsumsinya sambil menonton! Saya juga membelikannya untuk keluarga, kok, tapi kotaknya terpisah.
 
Meski overall momen Lebaran itu menyenangkan, ada satu hal agak bikin malas, yaitu saat bersilaturahmi. Bukannya enggan bertemu keluarga besar, tapi malas menjawab pertanyaan yang paling dihindari oleh kaum jomblo, yaitu kapan kawin? Sebagai wanita berusia kepala 3, memang wajar saya memperoleh pertanyaan ini. Tapi, bosan juga, ya, jika tiap tahun ditanya.
 
Kalau dari keluarga ibu, sih, untungnya nggak usil dan lebih sering membahas hal-hal lain. Nah, dari keluarga ayah yang biasanya semangat bertanya. Tapi, justru bukan dari keluarga inti, melainkan keluarga jauh—yang mungkin hanya saya temui setahun sekali. Salah satu om saya yang baru saya temui setelah bertahun-tahun misalnya, langsung memberi nasehat panjang lebar mengenai pentingnya menikah. Sepertinya, nih, dia kaget waktu tahu saya belum menikah di usia kepala 3 (padahal kepala 3 awal, kok, he he he). Saya, sih, hanya manggut-manggut demi menyenangkannya. Tapi dalam hati….
 
Pertanyaan kapan kawin ini nggak hanya diungkapkan keluarga, bahkan teman-teman saya. ‘Ingat umur, nanti makin susah, loh, punya anak.’ Lucunya, yang memberikan wejangan-wejangan ini biasanya adalah teman-teman lama yang juga jarang bertemu. Kalau sahabat yang sering main bareng, sih, biasa aja, mungkin karena juga masih pada jomblo, ha ha ha.
 
Siapa, sih, yang nggak mau menemukan jodoh? Saya juga mau, kok. Hanya saja, sampai detik ini belum mendapatkannya. Bayangkan, seumur hidup kita bakal dihabiskan bersama pria yang menjadi suami kita. Tentunya, saya nggak mau membeli kucing dalam karung. Salah satu kenalan saya saja, yang pacaran dari zaman sekolah, masih bisa kena kasus KDRT. Padahal, dia sudah kenal pasangannya belasan tahun. Jadi tentunya, harus selektif dan menemukan sesuai kata hati (yang juga belum tentu benar).
 
Saya, sih, masih menikmati masa-masa jomblo ini. Kalau terlalu ngoyo mencari jodoh, bisa-bisa malah stres! Atau, malah asal pilih demi menyenangkan orang-orang yang selalu menanyakannya. Jadi kalau Lebaran kali ini pertanyaan ‘kapan kawin’ kembali muncul, saya akan menjawab, ‘sedang dalam proses, doain aja’. Intinya, diplomatis saja. (f)
 
 


Topic

#BlogEditor

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?