Blog
Ketika Saya Dilangkahi Menikah oleh Adik

21 May 2016


Foto: Fotosearch

Suatu hari di tahun 2014, mama saya masuk ke dalam kamar. “Yani sibuk nggak? Ada yang mama mau omongin,” suara mama mengalihkan pandangan saya dari handphone yang saya pegang. Saya berusaha membaca wajah mama. Apa kiranya hal yang ingin diutarakannya.

“Uta bilang ingin menikah,” ucap mama dengan nada hati-hati. “Mama bilang sama Uta akan bahas dulu dengan Yani,” lanjut mama ketika melihat saya masih diam. Ini sebenarnya bukan pertama kalinya saya mendengar keinginan tersebut keluar dari adik bungsu saya. Untuk yang sebelum-sebelumnya, Uta juga selalu menggunakan mama sebagai ‘kurir’ dalam menyampaikan keinginannya tersebut. Meskipun ujungnya, dia pasti bilang sendiri ke saya.

Di 2 – 3 permintaan sebelumnya, saya selalu mengajukan syarat yang sama, “Kita lihat enam bulan lagi. Kalau dalam enam bulan mendatang, Uta masih memiliki keinginan yang sama, baru Yani setuju.” Biasanya mama setuju dengan syarat ini. Saya tahu di dalam hatinya dia berharap siapa tahu dalam waktu enam bulan tersebut, saya – yang merupakan anak tertua dan perempuan satu-satunya – akan menemukan jodoh saya dan bisa menikah lebih dulu dari kedua adik lelaki saya.

Mama boleh berharap demikian tapi bukan itu alasan saya sesungguhnya mengajukan syarat tersebut. Di permintaan-permintaan sebelumnya, saya melihat adik saya belum siap membina rumah tangga. Saya melihat keinginannya untuk menikah hanya didorong perasaan cinta semata. Cinta menggebu yang biasanya dirasakan di awal-awal hubungan. Karena itu, saya mengajukan syarat enam bulan dengan harapan dia memiliki waktu berpikir dan benar-benar meyakini keinginannya. Toh, saya selalu benar, terbukti hubungan Uta dengan pacar-pacarnya selalu kandas di durasi waktu yang saya berikan tersebut.

Namun ada yang berbeda ketika saya melihat dia berhubungan dengan pacar terakhirnya, Ika. Saya memiliki keyakinan bahwa Uta benar-benar siap menikah. Karena itu, ketika siang itu mama mempertanyakan hal tersebut, saya memiliki reaksi yang berbeda.

“Ya udah. Mau nikah kapan?” jawab saya. Melihat saya tidak memiliki syarat apapun, mama mulai mengoceh mengenai pelangkah dan sebagainya. Namun sejujurnya saya sama sekali tidak mementingkan hal tersebut. Saya cukup senang melihat binar di mata mama karena akhirnya ada di antara ketiga anaknya yang akhirnya menikah. Meskipun itu harus dimulai dari yang bungsu.

Satu hari menjelang pernikahan, ternyata masih ada beberapa hal yang harus dipersiapkan. Di antaranya adalah dekorasi dari tempat yang akan digunakan. Uta dan Ika memang merancang sendiri pernikahannya tanpa menggunakan wedding planner. Hari itu, saya, Uta, dan mama berkeliling Bandung untuk membeli beberapa alat yang akan digunakan. Melihat kesigapan dan semangat Uta untuk membuat acara paling penting dalam hidupnya lancar saya tambah yakin bahwa adik terkecil saya sudah sangat siap untuk melangkah ke hidup baru.

Di hari H, saya melihat adik saya berdiri di samping perempuan yang akan menemaninya mengarungi kehidupan. Mata saya berkaca-kaca, tidak menyangka adik yang selalu saya anggap anak kecil ternyata sudah dewasa. Cukup dewasa untuk berani menerima tanggungjawab dari orangtua Ika untuk menjaga Ika selamanya. Ah, saya sungguh bangga.

Lalu bagaimana rasanya dilangkahi menikah oleh adik? Saya akan jawab begini: melihat kedua orangtua saya berdiri di pelaminan mendampingi anak mereka dengan sinar bahagia, it was priceless. Saya bahagia melihat itu, meskipun datangnya belum dari saya :) (f)


Topic

#BlogEditor

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?