Blog
7 Pengalaman Unik dengan Ojek Online

13 Apr 2016


Foto: Justin

Keberadaan layanan ojek online yang menawarkan kepastian tarif, servis, dan kemudahan pemesanan, adalah sebuah berkah bagi konsumen warga suburban Jakarta seperti saya. Tapi, bukan berarti semuanya baik-baik saja.  Ini tujuh pengalaman suka duka saya menggunakan ojek online.

1/ Adegan Salah Sopir
Terlebih lagi sopir berseragam, rentan tertukar karena armada mereka banyak. Tip: pastikan Anda menyebut nama sopir ojek yang terdaftar dari apps sebagai sopir Anda. Pernah suatu kali, ketika saya memesan ojek  untuk mengantarkan saya ke stasiun Manggarai, kami berjanji untuk bertemu di Pos Satpam depan kantor. Begitu sampai di tempat yang dimaksud, segera saja saya menaiki ojek berseragam yang sedang mangkal di depan pos. Tanpa ba-bi-bu, saya langsung meminta sopir jalan. “Yuk, Pak!” Anehnya, sopir pun tak bertanya lebih lanjut, dia langsung memacu motornya. Di atas motor, saya sempat mengulang destinasi, “Ke stasiun Manggarai ya Pak.” Semua berjalan normal, sampai di tempat tujuan. Akan tetapi, tak lama setelah saya berada di dalam stasiun, ponsel saya bordering, “Mbak, mbak di mana. Saya nungguin dari tadi, kok, nggak nongol-nongol?” protesnya.

“Lho, Maksudnya? Ini saya sudah sampai di Manggarai. Bukannya bapak yang barusan antar saya?"
“Nggak mbak. Saya masih di kantor mbak.”
“Terus, yang barusan anterin saya siapa, dong?”
....................................
Solusinya, dia pun meminta saya membatalkan pesanannya.

2/ Hindari Janjian Ketemu di Pangkalan
Saya kira, lokasi yang saya tentukan sudah sangat strategis. Namun, beberapa kali saya memesan ojek di lokasi tersebut, nyatanya susah ketemu sopir, walaupun kami sudah saling bertelepon. Kenapa demikian? Sebab, di lokasi tersebut, ada banyak ojek lain dengan jaket serupa.  Yang mana, ya, sopirnya?
“Halo, Bapak di mana?"
“Di depan patung gorilla  mbak.”
“Saya juga di patung gorilla.”
“Saya yang motor merah mbak.”
“Lah, semua motor di sini warnanya juga merah.”
.........................................
Kesal, deh! Adegan ini sempat berlangsung beberapa menit. Tapi, kami tak kunjung ketemu juga. Absurd!

3/ Repot Ganti Destinasi
Ojek online ini tidak seperti taksi atau aplikasi uber, yang bisa fleksibel ganti destinasi. Bisa saja, kan, tiba-tiba dalam perjalanan kita berubah pikiran, dan ingin diantar ke tempat yang berbeda. Kalau tempat itu lebih dekat, mungkin tidak ada masalah. Tinggal bilang stop aja. Tapi, masalahnya, kalau destinasi baru lebih jauh. Atau arahnya berbeda sama sekali. Pilihannya ada dua, memesan ulang atau nego di atas motor.

“Bang, nggak jadi ke Pasar Minggu. Boleh anterin ke Ragunan saja?”
“Boleh, mbak. Gampang. Tapi nambah Rp20 ribu ya,” ujar abang ojeknya.  
“Mahal amat, Bang! Ya sudah, saya turun sini aja!”

4/ Tak Bisa Antar Pulang Pergi
Ini kelemahan di aplikasi ojek pada umumnya. Bagaimana jika saya ingin minta diantar ke satu tujuan, lalu balik lagi ke rumah, alias pulang pergi? Seharusnya, dia bisa menghitungnya per kilometer, sebagaimana argo. Nah, pengalaman, yang saya lakukan (tapi ini 'ilegal') adalah saya membayar dua kali lipat dari tarif seharusnya. Itu saya lakukan di atas motor.

“Pak, nanti habis itu, anterin saya ke rumah lagi ya.”
“Baik Bu,” sahutnya, tanpa menanyakan harga.

5/ Simpan Nomor Sopir Favorit  
Di suatu pagi, saya butuh ojek untuk mengantar anak ke sekolah. Betapa kagetnya, saya mendapati sopir ojeknya ternyata ibu-ibu! Setelah ngobrol-ngobrol, lebih kaget lagi, karena tempat tinggalnya tak jauh dari kompleks tempat saya tinggal. “Wah, jarang-jarang nih, ketemu sopir ibu-ibu. Bisa saya simpan buat request pribadi. Siapa tahu, nanti saya butuh ojek langganan untuk antar jemput anak,” pikir saya.

6/ Tur Gang Kecil Jakarta  
Semua orang, tahu, dong, seperti apa kemacetan Jakarta pada jam pulang kantor malam hari, di jalan utama, lagi! Karena sedang tugas di luar kantor, di kawasan Senayan, moda transportasi andalan untuk sampai ke rumah saya tetaplah kereta api. Akan tetapi, tetap harus menempuh jarak yang lumayan untuk sampai ke stasiun kereta api terdekat. Saya bayangkan, jika naik ojek, pasti akan shortcut, baik waktu dan jarak.

Ternyata, dengan ojek pun, saya tidak berhasil menembus kemacetan jalan raya hari itu. Parah! Sopir ojek lalu menawari saya melewati jalan tikus. Tawaran yang sulit ditolak. Dengan kecepatan tinggi, abang ojek membawa saya keluar masuk gang kecil di daerah sekitaran Senopati, Tendean, hingga Cawang. Melewati pasar (yang ramai dengan kaki lima berdesakan), mepet sungai (benar-benar mepet, cuma beberapa centimeter saya bakal terancam nyemplung), lalu keluar masuk jalan tikus petak belakang rumah orang. Meski hanya 20 menit perjalanan yang saya lalui, itu adalah 20 menit yang tak terlupakan. Haduh, nggak lagi-lagi, deh!

7/ Wiskul Without Moving. Hati-hati Overspending
Hobi baru saya di akhir pekan, wisata kuliner, icip-icip makanan dan cobain menu resto, tapi malas jalan. Inginya sih, di rumah saja. Solusinya, pesan lewat ojek online. Ternyata cara ini menyenangkan. Saya bahkan tidak perlu repot-repot menunggu antrean pesan dan bayar kasir. Menu favorit langsung diantar ke rumah. Tapi, ya, masalahnya satu, belanja makanan jadi rentan impulsif kalau begini caranya. (f)
 


Topic

#BlogEditor

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?