Fiction
Yang pergi, Yang Kembali [1]

9 Apr 2013


Aku mendekap erat tas ransel dan travel bag yang keduanya menggembung dipenuhi segala benda milikku untuk kubawa pulang. Ya, pulang dalam arti sesungguhnya. Bukan sekedar setor wajah selama seminggu setiap ujian semester berakhir. Kini aku pulang, kembali ke desa tempat aku dilahirkan, tempat aku dibesarkan, tempat aku menimba ilmu-ilmu agama dan pendidikan dasar, sekaligus tempat aku meninggalkan bapak seorang diri di tengah kesepian.

    “Gendis, kampung ini hanya akan menyisakan kesepian panjang. Kutukan bagi warganya adalah ditinggalkan. Kau akan ditinggalkan dalam keadaan semakin menua dan sia-sia, atau kau bisa pergi sebelum semuanya terlambat. Itu pilihan yang harus kau pikirkan.”

    Empat tahun lalu, kalimat itu meluncur dari bibir bapak. Lelaki sederhana yang alam pikirannya mampu menembus jauh keluar dari hutan-hutan bakau dan pohon kelapa, dari gubuk penyadap yang berdinding anyaman ranting dan berlantai tanah liat. Dari peradaban yang lama ditinggalkan manusia kota.

    “Seperti Ibu yang meninggalkan Bapak?” tanyaku getir.
    Ingatan akan ibu selalu menyisakan sebongkah rasa pahit. Ibu yang telah ratusan tahun lamanya kuyakini keberadaannya hanya berupa dongeng semata. Yang meninggalkan aku di usia lima tahun. Yang meninggalkan Bapak untuk bekerja di negeri antah berantah karena tak tahan hidup sebagai istri buruh penyadap gula kelapa yang tak pernah punya penghasilan cukup besar dan hidupnya di bawah bayang-bayang tengkulak. Ibu yang tak pernah mengenal kata pulang.

***
    Colt penuh sesak dengan sayuran, dan penumpang yang kelelahan. Lamunanku tentang bayangan samar-samar wajah ibu yang sering kureka-reka parasnya tiap malam di masa kecilku, kini hanya melintas tak jelas di antara barisan kebun teh yang dilalui. Perjalanan dari Bandung menuju Desa Ujung Genteng di kabupaten Sukabumi terasa lama karena hanya jalan darat yang bisa dilalui. Itu pun dengan kondisi berkelok-kelok, berlubang di sana-sini, membuat kepalaku pening dan perutku mual diguncang-guncang tanpa ampun.

    “Jampang Kulon! Jampang Kulon, habis!” suara kondektur mengingatkan para penumpang yang tertidur. Sudah sampai Jampang Kulon, berarti kampungku tak terlalu jauh lagi.

    Lalu ingatanku merambah kembali pada Bapak. Pada tekad lelaki yang setiap hari memanjat pohon kelapa untuk mengambil jeriken-jeriken yang dipasang di pucuk-pucuk pelepah untuk menyadap sarinya. Dari sari itu, ia membuat bulatan-bulatan gula kelapa warna kuning kecoklatan di dalam gubuk kami yang terletak di tengah hutan bakau dan rerimbunan pohon kelapa, untuk dijual pada tengkulak-tengkulak besar. Tekadnya sama bulat dengan gula buatannya, untuk mengubah nasibku dari perempuan kampung menjadi gadis kota yang cerdas.

    “Gendis, Bapak sudah meminjam pada keluarga Haji Barna, uang sejumlah yang diminta sekolahmu itu. Mereka bersedia meminjamkan dan menjamin semua kebutuhanmu sampai selesai kuliah. Yang terpenting, Bapak tetap memasok gula kelapa untuk mereka.”

    Sudah menjadi kebiasaan bagi para tengkulak budiman di kampung kami untuk menjamin hidup dan mati para penyadap. Mereka rela meminjamkan uang sejumlah berapapun, menanggung biaya dokter, biaya melahirkan, dan biaya sekolah anak-anak penyadap dengan syarat pembayaran sejumlah gula kelapa hasil kerajinan para penyadap. Gula kelapa itu mereka kirim dengan truk-truk besar untuk perusahaan-perusahaan kecap terkenal yang menerima pasokan mereka.

Keluarga Haji Barna termasuk tengkulak yang terkaya, mereka memegang kontrak dengan dua pabrik kecap terbesar di Indonesia. Sebagai gantinya, mereka tak segan menyejahterakan para penyadap yang memasok gula kelapa itu untuk mereka.

    “Pergilah ke rumah Haji Barna untuk mengambil uang besok, dan kamu akan segera meninggalkan gubuk penyadap di tengah kebun kelapa ini. Kamu akan menjadi anak perempuan pertama seorang penyadap yang berhasil kuliah di kota!” seru kebanggaan bapakku yang buruh penyadap itu lambat laun melemah ketika bapak mendapati wajahku yang muram.

    “Kenapa, Ndis? Kau masih ragu untuk meninggalkan desa ini?”
    Sejujurnya aku ingin bilang iya, tapi aku akan melihat kekecewaan yang lebih dalam tercermin di wajah Bapak. Luka lama itu, pasti sangat perih baginya. Membuatnya terobsesi untuk menjagaku dari segala kesakitan akan ditinggalkan di kampung ini. Aku hanya bisa menggeleng seraya menahan airmataku. “Gendis nggak mau meninggalkan Bapak sendirian di rumah ini.”

    Gurat-gurat keriput yang mulai menandai ketuaan di wajah bapak, kini berkedut-kedut. Bapak menghampiriku, bukan untuk memeluk, karena bapak terlalu canggung untuk bisa mengekspresikan kasih sayangnya padaku. Tapi tangannya yang legam dan kasar menyentuh kepalaku penuh rasa sayang.

“Ndis, kampung ini tempat orang datang dan pergi. Orang-orang seperti kita hanya akan ditinggalkan satu demi satu. Seperti ibumu yang memilih meninggalkan Bapak, sebelum dia terjebak dalam gubuk penyadap sepanjang hidupnya. Para lelaki pergi ke kota, menuntut ilmu, lalu menikahi gadis-gadis kota. Kalau kau tetap di sini, yang tersisa hanya para buruh penyadap. Karena lelaki terhormat hanya akan meninggalkanmu untuk pergi mencari perempuan kota. Jangan Nak, jangan kamu yang mengalaminya. Cukup Bapak saja yang ditinggalkan. Cukup Bapak saja.”

    Aku menggeleng perlahan dengan mata basah. “Siapa bilang lelaki penyadap bukan lelaki terhormat, Pak? Mereka hanya kurang beruntung.”
    “Tapi kau, adalah gadis yang beruntung, Gendis. Sekarang, biarkan Bapak mengubah nasibmu.”

    Keesokan paginya, aku berjalan memasuki pekarangan luas rumah Haji Barna untuk mengambil uang yang dijanjikan. Kuseret sandal jepitku dengan penuh semangat akan impian dan cita-citaku. Aku telah berhasil diterima di perguruan tinggi negeri di Bandung, jurusan akuntansi.

Kini langkahku tinggal sepetak lagi, untuk meninggalkan nasib sebagai anak buruh penyadap yang rentan ditinggalkan dan disengsarakan. Lalu di halaman rumah besar milik keluarga Haji Barna, aku bertemu seorang pelayan yang memintaku menemui Rifky, putra Haji Barna, yang bertugas menyerahkan uang padaku.

    Rifky adalah lelaki yang berusia dua tahun lebih tua dariku, kuliah di Jakarta, dan sangat mempesona. Terkadang, aku memergoki tatapan tajamnya tengah mengamatiku, setiap kali aku mengambil uang untuk pembayaran gula Bapak. Bertahun-tahun, sejak aku masih sangat kecil, tatapan itu tak pernah berubah. Sampai sekarang. Aku menunduk menekuri sandal jepit bututku sementara Rifky menghitung uang.

    “Kenapa kau ingin kuliah?” tanyanya tiba-tiba.
    Aku mengangkat wajahku, dan baru menyadari kalau Rifky sudah selesai menghitung uang sejak tadi. Wajahnya yang tampan bergaris tegas sempurna itu seperti biasa sedang meneliti wajahku dalam-dalam. Aku kembali menunduk.
    “Kau tak ingin menjawab?”
    “Kalau salah menjawab, apa aku tetap akan mendapatkan uangku?” tanyaku cemas.
    “Ini bukan ujian, tidak ada jawaban salah atau benar, aku hanya meminta pendapatmu. Ambillah, uang ini sudah jadi milikmu,” Rifky mengangsurkan amplop tebal berisi uang yang tadi dihitungnya untukku. Aku menerimanya dengan wajah masih tertunduk. Kemudian aku bangkit dan berbalik sambil berpamitan sekenanya.
    “Kau tak ingin menjawab?” seru Rifky ketika aku sampai di pintu.

    Aku berbalik, menatap ke matanya yang anehnya kini dipenuhi rasa cemas. Kemudian menggeleng sambil tersenyum tipis. Aku memiliki hak untuk tidak menjawab, dan kupilih memberlakukan hak itu.

Rifky adalah makhluk terbaik di desa ini yang sering membuatku bermimpi indah. Tapi dia adalah gambaran lelaki yang semalam baru saja disebutkan bapak. Lelaki kaya yang terhormat, kuliah di kota, dia akan meninggalkan gadis-gadis desa dan memilih jodoh gadis-gadis dari kota. Jadi, untuk apa membuang waktu menjawab pertanyaan orang yang nantinya tetap akan membuatku ditinggalkan?   

    “Genteng! Genteng! Genteng, habiiiis!”
Teriakan kondektur membuatku tersentak dari lamunan panjang. Aku mengusap wajahku, dan dengan perasaan lega aku menatap hamparan pantai berpasir putih di kejauhan, ditingkahi debur ombak yang tinggi berbuih-buih, dan deretan pohon-pohon kelapa yang menjulang. Aku semakin bersemangat. Kini aku pulang, setelah empat tahun secepat kilat menyelesaikan kuliahku. Pulang ke gubuk penyadap yang sangat sederhana. Pulang ke aliran darahku, degup jantungku.

***
“Jadi apa rencanamu setelah lulus sekarang, Ndis?” tanya Bapak sambil menyesap kopinya. Tangan legamnya lalu sibuk mengemas gula kelapa berwarna kuning kecoklatan ke dalam kantong-kantong plastik besar.

“Gendis mau kerja, Pak. Kalau di kampung ini ada yang butuh tenaga Gendis sebagai akuntan, Gendis bersedia kerja di sini.”
“Kenapa harus di sini? Kenapa tidak bekerja di kota saja?”
Aku tersenyum sambil terus sibuk membantu bapak mengemas gula. “Gendis sudah empat tahun meninggalkan Bapak, sementara izinkan Gendis di sini dulu. Di desa kita ini saja, banyak sekali perusahaan besar yang berkapasitas internasional, buat apa mencari ke kota? Kalau toh harus kerja di kota, itu bisa menunggu beberapa bulan lagi. Oh ya Pak, apakah semua gula ini masih milik Haji Barna?”

“Ya, milik siapa lagi? Hanya keluarga itu yang berhak menerima gula kita. Tapi sekarang yang memegang perusahaan Haji Barna itu Rifky, putranya. Kamu kenal dia, kan?”
Rifky? Siapa pula gadis yang bisa melupakan sosoknya? Dan aku termasuk salah satu yang tak bisa melupakan sorot mata penuh selidiknya yang sembunyi-sembunyi menyambar wajahku. Aku tersenyum malu oleh pengakuan hatiku sendiri.
“Tentu aku kenal. Memangnya, dia juga sudah selesai kuliah, Pak?”

“Ooh, ya sudah dari tahun lalu. Rifky anak yang rajin, apalagi dia anak sulung Haji Barna. Jadilah dia meneruskan perusahaan bapaknya. Dan di bawah kepemimpinan Rifky, perusahaan Haji Barna punya lebih banyak kontrak lagi dengan perusahaan-perusahaan kecap besar di Jakarta.” Bapak lalu berhenti sejenak mengemas gula. Matanya yang kelabu menatapku penuh bangga. “Bapak bahkan sudah melunasi semua hutang kuliahmu dengan gula kita, Ndis!”
Aku tak bisa menahan rasa gembiraku sehingga tak sadar aku tersenyum lebar. “Syukurlah, Pak..”
“Pergilah besok menemui Rifky, kabarkan kelulusanmu, sekalian mengantarkan gula kita.”
***

Perintah bapak kujalani dengan penuh rasa suka cita. Siapa yang tak ingin menemui Rifky? Hampir empat tahun ini aku tidak menemuinya, kecuali kalau lebaran tiba. Itu pun hanya bersalaman sekilas saja. Kini aku akan menemuinya secara khusus untuk mengumumkan kelulusanku, dan juga menyerahkan sendiri gula kelapa hasil kerajinan Bapak.

Berbeda dengan empat tahun lalu, kini aku merasa lebih percaya diri untuk menemui Rifky. Bahkan aku sudah meninggalkan sandal jepit bututku dan menggantinya dengan flatshoes warna khaki. Dengan sepeda motor pinjaman, aku langsung menuju gudang tempat Rifky bekerja menghitung dan mengepak gula sebelum mengirimkannya dengan truk-truk besar.

Rifky ada di gudang itu. Tubuhnya yang tinggi kian tegap berisi, wajahnya yang tampan dibingkai kacamata minus tipis. Dia sibuk menghitung tumpukan gula yang akan dimuat ke dalam truk.

“Assalammu’alaikum,” aku menyapanya seraya turun dari sepeda motor.
Rifky mengangkat wajah, dia tampak terkejut melihatku.
“Wa’alaikumsalam. Oh, kamu Gendis! Kapan datang?”
“Baru tadi pagi. Aku ke sini untuk mengantarkan gula, sekaligus memberi tahu bahwa kuliahku sudah selesai. Aku baru saja diwisuda.”
Entah bagaimana kalimat itu bisa meluncur dengan penuh percaya diri dari bibirku yang biasanya terkunci rapat tiap bersirobok pandang dengannya.
“Wah, selamat ya!” Rifky tampak berseri-seri. Dia menghampiriku, lalu kami berdiri berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Melihatnya dari jarak sedekat ini, entah mengapa, membuat aku merasa untuk pertama kalinya tak takut ditinggalkan siapapun di desa ini. Tak takut menetap selamanya dan menjadi tua di sini.
“Terima kasih, semua berkat keluargamu juga,” jawabku tulus.

Sejenak kami berdua jadi salah tingkah. Kemudian, aku memutuskan untuk segera berpamitan sebelum merusak apapun yang terpendam indah di antara kami berdua di sana. “Mmm, aku mau pamit dulu. Nanti dihitung saja gulanya.”
“Kenapa kau selalu buru-buru? Apa kau tak berniat menjawab pertanyaanku?” serbunya sebelum aku beranjak.
Aku mengernyit. “Pertanyaan yang mana?”
“Pertanyaan empat tahun yang lalu, mengapa kau ingin kuliah? Seorang perempuan sepertimu, apalagi, maaf, putri penyadap di desa ini, jarang yang nekad kuliah di kota. Tapi kamu memilih pergi kuliah. Mengapa?”

Mau tak mau aku tertawa geli mengingat pertanyaan yang rupanya masih terus ditanyakan Rifky itu. Empat tahun berlalu, dan Rifky tak pernah melupakan pertanyaan tanpa jawaban pasti itu. Entah kenapa, aku menikmati rasa penasaran Rifky yang menimbulkan sensasi luar biasa di hatiku.

Ada jenis pria kaya terhormat yang akan meninggalkan gadis-gadis desa untuk mengejar perempuan kota. Namun Rifky bukan salah satunya. Aku telah banyak mendengar tentang Rifky yang katanya tidak tertarik memboyong satu gadis kota pun ke desa ini. Dia kembali dalam keadaan sendirian. Dia mencintai desa ini lebih dari apapun. Dan dia masih mempertanyakan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakannya empat tahun lalu kepadaku. Pertanyaan yang jawabannya hanya akan kusimpan sampai tiba saatnya nanti.
“Kau masih tak ingin menjawabnya?” Sinar pengharapan tampak pada sepasang mata Rifky yang tatapannya senantiasa mengandung pertanda.

“Aku nggak akan menjawab sekarang, Rif. Masih banyak waktu untuk kita. Sekarang kita nggak kemana-mana. Kita nggak akan meninggalkan desa ini lagi, bukan?” Aku lalu tersenyum dan berbalik meninggalkannya menuju sepeda motorku untuk menurunkan plastik-plastik berisi gula kelapa, dengan langkah seringan lambaian pelepah kelapa yang menggapai-gapai udara.

***   
Nimas Aksan
Pemenang II Sayembara Cerpen Femina 2012


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?