Travel
Wisata Seru Ke Bukittinggi

9 May 2014


Menyatukan minat dan semangat 39 orang tidaklah mudah. Apalagi rentang usia rombongan kami dari ABG, lajang, pasangan keluarga muda sampai lansia dengan latar belakang berlainan. Keindahan alam, kekayaan budaya, serta kelezatan kuliner Bukittinggi jadi pengikatnya!

Kuliner Kapau

Bukittinggi memang surga kuliner. Dalam perjalanan dari Padang ke Bukittinggi, sebisanya mampirlah di  Sate Padang Mak Syukur.  Di sana, naiklah ke lantai  dua resto untuk menyantap satai sambil menikmati semilir angin pegunungan dan hamparan alam yang rancak bana. Satainya terasa jauh lebih nikmat dari satai Padang mana pun. Yang punya lidah petualang, silakan nyeruput teh talua, teh dengan telur kocok.

Dalam perjalanan yang sama, kami mencicipi lemang tapai di Pondok Lamang Pak Pangeran sambil melihat cara pembuatan lemang di open kitchen tradisional dan berkenalan dengan kopi kawa daun.  Kata Rafles, pemandu wisata kami, “Kawa daun ini peninggalan tanam paksa atau cultuurstelsel (tahun 1830-1850). Waktu itu petani diharuskan menanam kopi, tapi tidak boleh menikmati kopinya. Maka, dibuatlah minuman dari daun kopi yang dilayukan lalu direbus.  Jadilah kopi kawa daun.”  Disajikan dalam batok, minuman teh dengan rasa daun kopi ini terasa unik!

Ada lagi bika talago yang dibuat dari tepung beras, kelapa parut dan gula pasir; sedangkan yang diberi pisang memakai gula merah. Hmm… yum! Cara memanggangnya di dalam belanga tanah liat yang dipanaskan di atas tungku api kayu.  Atasnya ditutup piring tanah liat yang diberi bara api. Terasa istimewa karena rasa hangus dari tanah liat yang menempel pada bika.

Berwisata di daerah Kapau, tentu wajib makan nasi Kapau. Yang tersohor adalah  Nasi Kapau Uni Lis di Pasar Atas yang sudah sering diulas, antara lain oleh Bondan Winarno. Karena rombongan kami besar, kami dibawa ke resto Nasi Kapau Uni Cah. Rekomendasi Ibu Shanti ini tidak kalah dengan pilihan Bondan. Di antara ikon-ikon kuliner Kapau yang perlu dicoba: gulai telur ikan, gulai tembusu (usus sapi berisi telur dan tahu, yang empuk gurih), ikan bilih  cabai hijau, gulai tunjang, dan sayur kapau (nangka muda, kol, rebung, kacang panjang dalam kuah santan encer).

Favorit saya dan teman-teman semeja adalah sambal lado mudo atau sambal cabai hijau. Rasa asamnya itu lain. Ketika ngobrol dengan Uni, terkuak bahwa mereka memakai asam sundai. Termasuk keluarga jeruk nipis, tapi lebih besar, berkulit kasar, dagingnya berwarna kuning, dan airnya banyak. “Langka dan mahal, tiga puluh ribu sekilo,” jelas Uni. Rupanya, asam sundai inilah yang membuat orang ketagihan Nasi Kapau Uni Cah.


Wisata Alam, Sejarah, dan Budaya

Kekayaan alam Ranah Minang benar-benar surga bagi fotografer.  Memang, wisata kami disusun bukan sebagai wisata alam saja, tapi meliputi  budaya dan sejarah Ranah Minang. Dalam wisata alam saya menyadari bahwa danau akan lebih indah dilihat dan difoto dari jauh. Danau Singkarak misalnya. Namun, jika ingin membeli ikan bilis dan melihat proses membersihkan ikan, danau ini lebih cantik diambil dari jendela mobil daripada dari pinggir danau yang dipenuhi rumah nelayan.

Lain halnya dengan Danau Maninjau. Untuk menikmatinya, kami dibawa ke Taman Lawang yang berupa lapangan rumput di belakang sebuah restoran. Tak ada pepohonan yang menghalangi pemandangan. Kebetulan udara cerah sehingga Danau  Maninjau tampil memesona secara utuh. Dari pinggir taman kami juga bisa turun hingga mencapai pinggir danau. Di lapangan rumput dengan latar belakang danau yang cantik kami pun berfoto ria sejadi-jadinya. Teman-teman yang fotoholic pun makin antusias menjepret.

Sayang, sekeliling Danau Maninjau kini telah dipenuhi dengan keramba ikan yang mengeluarkan bau tidak sedap  dan membuat air danau keruh. Entah sampai kapan keindahan Danau Maninjau ini bisa dinikmati.

Lain lagi cara kami menikmati Lembah Harau dengan tebing-tebing cadasnya yang  menggapai langit. Sampai di Eco Valley Homestay, Ibu Shanti mengajak kami berjalan kaki –kurang lebih 15 menit– ke titik Echo. Badan jadi berenergi menghirup udara segar pegunungan sambil meresapi keanggunan tebing-tebingnya. Tiba di titik Echo, kami ramai-ramai makan jagung bakar dan mencoba membuat gaung atau gema. Tapi, tak ada balasan suara. “Wah, sedang istirahat,” komentar seorang teman. Memang hari sudah  senja, dan langit yang memerah membuat Lembah Harau makin memukau.

Ada banyak ikon wisata sejarah dan budaya, tapi yang paling  mengesankan adalah Istana Pagaruyung, yang pernah menjadi pusat Kerajaan Melayu yang meliputi Sumbar dan daerah sekitarnya, dan runtuh dengan berakhirnya Perang Padri (1803-1838). Setelah dipugar karena terbakar pada tahun 2007, Istana Pagaruyung kini lebih bagus dan tertata rapi. Di sini Anda bisa menelusuri arsitektur dan barang peninggalan yang tersisa dan berfoto dengan busana tradisional yang disewa dengan biaya Rp35.000. Tapi, begitu mulai berfoto, biasanya kita akan lupa mengeksplorasi istana.

Baru pada hari ketiga kami menjelajahi Bukittingi, berfoto di bawah Jam Gadang, berbelanja di Pasar Atas dan mengagumi keindahan Ngarai Sianok yang sudah tersohor namanya sampai ke luar negeri. Ngarai dengan kedalaman 100 m, lebar 200 meter dan panjang 1,5 kilometer ini berada di pinggir Kota Bukittinggi. Dari

Bukittinggi tampak Koto Gadang di seberang ngarai. Dulu, anak-anak sekolah di Koto Gadang, termasuk Emil Salim dan Haji Agus Salim, menuruni dan menaiki tebing ngarai yang terjal sambil berlari untuk bersekolah di Bukittinggi.
Ada lagi Fort de Kock, yang memperlihatkan kejelian Belanda dalam memilih tempat strategis untuk mempertahankan diri. Dari benteng ini, Belanda bisa mengawasi seluruh Kota Bukittinggi.

Di Bukittinggi pula kami sempat menikmati pertunjukan Tari Piring yang mendebarkan hati karena pemain-pemainnya berloncat-loncat di atas pecahan piring. Kami yang tadinya merasa letih dan loyo ketika memasuki ruang pertunjukan, langsung jadi bersemangat begitu mendengar talempong (bonang), tabuah (gendang), dan saluang (seruling) dimainkan bertalu-talu. Pada akhir pertunjukan, seruling tanduk kerbau yang dijual oleh penyelenggara sebagai suvenir pun habis diborong!  


Belanja di Pasar Atas

Ke mana mencari oleh-oleh yang terjangkau harganya? Ya, di Pasar Atas. Pilihannya beraneka, kain sulam kerancang atau non-kerancang untuk baju, tas, taplak meja dan aksesori. Di sini juga pusat penjualan keripik sanjai, daging dendeng yang kering tipis, belut asap, dan kerupuk jangek (kulit), meskipun banyak toko yang menjual makanan ini. Kami berebut mencoba pisang kepok penyet. Wah, benar-benar menyesal kalau melewatkan yang satu ini!

Kami tidak berlama-lama di Pasar Atas karena pada malam sebelumnya Ibu Shanti mendatangkan beberapa pedagang Pasar Atas untuk membawa aneka produk bordir, tenun songket maupun non-songket, dan T-shirt ke Pondok Nawawi sehingga kami leluasa memilih barang. Boleh pesan dan bisa diantarkan atau dikirim.

Tas kristik ditawarkan 3 untuk Rp100.000, baju koko bordir  Rp100.000 per helai, taplak meja sulam kristik untuk meja 6 kursi dilepas dengan harga Rp350.000.  Ada pula taplak meja rajutan benang katun seperti yang dipasang di rumah Belanda zaman dulu. Kombinasi warna dan desain sulamannya sudah mengikuti selera urban. Maka, tawar-menawar di ruang makan malam itu berlangsung seru. Apalagi boleh bayar dengan kartu kredit. Canggih!

Untuk membeli kain songket yang berkualitas, Pandai Sikeklah tempatnya. Ada banyak toko songket di sana. Untuk melihat songket berkualitas prima dengan motif-motif klasik, Ibu Shanti mengajak kami ke Pusako. Pusat kerajinan tenun milik Hj. Sanuar ini patut dikunjungi karena menempati sebuah rumah gadang dengan dinding berukiran halus dan kebun yang cantik terawat. Ukiran rumah dibuat oleh suami Hj. Sanuar, almarhum  Ahmad Ramli, seorang pengukir ternama. Interiornya pun tak kalah cantik, dinding dan plafonnya berhiaskan kain merah bersulam benang emas. Di sudut tampak lemari berukir untuk menyimpan songket. Meski tadinya tidak ada niat untuk membeli, terpukau oleh hasil tenunan Pusako, Ester, teman serombongan, akhirnya membeli selembar tenun songket.


Petualangan Di Ngaras Sianok

Tak disangka, gong dari wisata kami adalah petualangan menuruni dan menyeberangi ngarai melalui The Great Wall. Tangga yang berkelok ini merupakan replika The Great Wall of China dan dibuat oleh pemda agar wisatawan bisa lebih menikmati Ngarai Sianok.  Ada 14 orang yang ikut bersama Ibu Shanti. Berikut ini adalah cuplikan narasi Yani, teman yang ikut, karena saya termasuk yang mundur teratur.

“Matahari mulai tenggelam ketika rombongan diturunkan oleh bus wisata kami di Koto Gadang dekat The Great Wall.  Bus akan menjemput kami di seberang ngarai di Bukittinggi. Dalam remang kami masih bisa menikmati pemandangan indah Ngarai Sianok. Beberapa orang yang kami temui mengingatkan agar kami tidak melanjutkan perjalanan karena sudah gelap dan di bawah tidak ada penerangan, warung-warung kopi pun sudah tutup. Namun, terpacu oleh rasa penasaran, kami menuruni anak tangga hingga yang terakhir.

Dengan bantuan penerangan dari handphone, kami berjalan sampai di depan sebuah jembatan gantung. Saya bersama beberapa teman dengan antusias menyeberangi jembatan yang bergoyang-goyang itu. Tapi, hati saya sempat ciut melihat tebing terjal di depan jembatan. Mampukah kami mendaki tebing untuk mencapai jalan raya di tepi ngarai?

Dalam kebingungan kami bertemu dengan Ilham, anak muda penunggu warung kopi yang baru saja tutup.  Kami memintanya untuk mengantarkan kami ke jalan raya Ngarai tempat kami dijemput oleh bus wisata kami.

Sepanjang jalan kami saling membantu mengatasi kegelapan dan licinnya jalan. Lima belas menit menerobos semak-semak, hati mulai lega melihat dataran  luas yang dibatasi tebing terjal yang indah. Di depan mengalir air jernih dari Batang (Sungai) Sianok.  Lepas dari ketegangan, baru kami menyadari bahwa bulan purnama  bersinar dengan sangat indahnya, menambah eksotis alam saat itu.
 
Setelah berdoa untuk mengucap syukur, dengan tertawa gembira kami menyempatkan berfoto bersama dan beristirahat sejenak untuk menikmati keindahan Ngarai Sianok di malam hari.“ Memang, tidak banyak orang yang berkesempatan menikmati keindahan lembah Ngarai Sianok saat bulan purnama setelah petualangan di malam hari.


Menginap Di Pondok Nawawi

Rombongan kami, sebagian adalah anggota Chikung Kylin, pimpinan Dr. Frans Tshai, dari Bogor, Sukabumi, Jakarta, dan Pontianak, sisanya non-anggota. Yang mempercepat proses keakraban  antara lain adalah tempat menginap kami, yaitu Pondok Nawawi di Jalan Nawawi. Nawawi adalah kakek buyut Ibu Shanti Poesposoetjipto, pemilik yang berbesar hati membuka pintu rumahnya bagi kami semua. Kakek buyutnya, Nawawi Datuk Sutan Makmur, adalah guru  Sekolah Radjo (tahun 1800-an), sekolah elite untuk anak-anak raja dan bangsawan. Gedung sekolahnya masih terpelihara dan dipakai.

Ibu Shanti dan kedua saudaranya mewarisi rumah kakek buyutnya ini dari ibundanya, almarhumah Ibu Mien Soedarpo. Pada tahun 1985, rumah leluhur yang berbentuk rumah panggung ini direstorasi atas petunjuk Ibu Mien yang dibesarkan di rumah ini. Arsitektur, tata ruang, dekorasi, dan interior dikembalikan seperti semula. Dalam kamar tidur ditaruh ranjang besi berkelambu, sementara meja kursi antik,  taplak bersulam serta lukisan pemandangan Ranah Minang dan foto-foto keluarga  menghidupkan suasana homey  zaman dulu.

Tiap pagi dan malam kami dimanjakan oleh masakan rumahan Ibu Jum, housekeeper Pondok Nawawi. Sarapan khas Bukittinggi tersaji berganti-ganti. Inilah pertama kalinya lidah kami berkenalan dengan dadiah (yoghurt susu kerbau yang difermentasi di dalam bambu) dan ampiang (riceflake Minang, beras ketan yang disangrai dan dipipihkan  agar renyah), dimakan dengan sirop gula merah. Kali lain ada ketupat sayur dengan gulai daun pakis, atau lemang tapai yang diseruput air tapainya. 

Menu makan malamnya seperti menu resto Padang: rendang yang hitam dengan kentang kecil-kecil, itiak cabai hijau (sambalnya saja sudah bisa membuat orang mendesah puas), ikan bilih balado (ikan bilis Danau Singkarak yang gurih renyah), terung balado (terungnya langsing ramping sehingga tidak mushy),  dan gulai tunjang yang lamak bana! Dessert  tiap malam adalah durian yang top of the top!




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?