Fiction
Will [4]

29 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

Tahun 1595, Will menulis sebuah naskah drama percintaan sepasang muda-mudi. Judulnya Romeo and Juliet-Romeo dan Juliet. Sebuah drama yang menyedihkan, karena pasangan itu mati di akhir cerita. Namun para penonton menyukainya. Mereka ingin menyaksikannya lagi dan lagi.

Will berperan sebagai si tua Capulet, ayah Juliet. Seorang aktor muda berperan sebagai Juliet. Saat itu tak ada pemain wanita, para prialah yang memerankan tokoh-tokoh wanita. Tentu saja Will tak pernah menampilkan adegan percintaan sungguhan di atas panggung. Ia mewakilkannya melalui dialog-dialognya yang cantik, indah, menyentuh, sampai kau lupa bahwa wanita-wanita dan gadis-gadis yang berada di atas panggung adalah pria sungguhan.

Pada tahun yang sama kami menampilkan Romeo and Juliet di Istana Richmond. Sang Ratu ingin menyaksikan drama-drama baru saat Natal nanti, dan pada setiap pertunjukan beliau akan membayar kami 10 poundsterling.

Cuaca buruk terjadi di musim panas tahun 1596. Hujan tidak pernah berhenti mengguyur kota London, sehingga wabah pes kembali menyerang. Sepanjang musim itu kami berada di Stratford, meskipun aku sesekali pergi ke Hampshire untuk beberapa minggu, untuk mengurus bisnis domba-domba milik Will.

Will sedang sibuk menulis naskah drama baru berjudul A Midsummer’s Night Dream - Mimpi di Suatu Malam Pertengahan Musim Panas.

Pada bulan Agustus yang lembab aku kembali ke Stratford. Rumah di Henley Street saat itu tampak lengang, membuatku penasaran ingin bertemu Will. Ia ada di ruang kerjanya - ia sebut begitu, namun ia sedang tak mengerjakan sesuatu apapun. Hanya duduk.

"Ada apa, Will? Di mana yang lain?"

"Ke gereja." Mendung menggelayuti wajahnya. Tatapan matanya kosong. Mati.

"Apa yang terjadi? Ada apa?"

Ia menatapku. "Hamnet... ia sakit seminggu yang lalu... dan kemarin... ia meninggal. Ia baru sebelas tahun, Toby, dan ia sudah meninggal. Anak laki-lakiku satu-satunya. Meninggal, Toby. Meninggal." Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya.

Apa yang sebaiknya kukatakan pada seorang pria jika hal seperti itu menimpanya? Lalu aku duduk di sampingnya, dan meletakkan tanganku di atas lengannya. Aku tahu Will sangat mencintai anak ini, yang bermata secemerlang koin penny, penuh semangat hidup. Persis seperti ayahnya.

"Kau akan punya anak laki-laki lagi," hiburku memecah keheningan.

"Usia Anne sekarang empat puluh." Suara Will terdengar lelah. "Ia tak pernah hamil lagi sejak kelahiran si kembar."

"Well, kau punya dua anak perempuan yang cantik, Susanna dan Judith. Tak lama lagi mereka akan menikah, dan kau akan punya banyak cucu laki-laki yang tak terkira jumlahnya. Kau lihat saja nanti. Akan ada banyak anak laki-laki yang berlarian naik-turun tangga dan memanggil-manggil nama Kakek Will!"

Ia mencoba tersenyum, walau tampak sedih. Namun tatapannya tidak sekosong barusan. Aku merasa senang, dan menambahkan, "juga masih ada adik-adikmu : Gilbert, Richard, Edmund. Mereka juga akan punya anak laki-laki. Keluarga Shakespeare takkan pernah mati. Pikirkanlah juga keluargamu, Will, pikirkanlah!"

Ia menuruti nasihatku. Ia memang sudah dikenal sebagai seorang penyair dan dramawan, tapi ia juga mempedulikan keluarganya. Setahun berikutnya, 1597, ia membelikan sebuah rumah baru untuk keluarganya. Rumah yang besar dan luas, bernama New Place, terletak tepat di tengah-tengah Stratford. Harganya cukup mahal : 60 poundsterling, sehingga para warga di kota kecil itu mulai memanggil Will ’Tuan Shakespeare’, tidak lagi ’Will Muda Sang Aktor’, atau ’Putra John Shakespeare’. Mereka senang berbisnis dengannya, juga meminjam uang darinya.

Anne menyukai rumah baru itu. Istri Tuan Shakespeare dari New Place menjadi orang penting di Stratford. Namun ia tetap merasa tidak senang dengan pekerjaan Will. "Para aktor orang-orang yang liar dan berbahaya," ucapnya berulangkali pada suaminya. "Aku tak tertarik dengan drama, ataupun teater, dan aku tak mau tahu apapun tentang karya-karyamu."

Bagaimanapun Anne menyukai uangnya, rumah baru mereka, juga tentunya gaun-gaun barunya, serta enam buah kebun apel dan sebuah lahan pertanian yang luas di utara Stratford yang dibeli pada tahun-tahun berikutnya.

Semenjak saat itu Will jarang menyinggung-nyinggung tentang Hamnet. Waktu terus berjalan dan Will semakin sibuk, kendatipun aku tahu ia masih menyimpan duka tentang kepergian anak laki-lakinya jauh di lubuk hatinya.

Setahun hingga dua tahun berikutnya, aku berbincang dengan John Heminges tentang kostum untuk karya baru Will : King John - Raja John. John Heminges juga seorang pencinta keluarga : 14 orang anak! Tak terbayang keributan yang terjadi di rumahnya, teriakan-teriakan anak-anak, canda-tawa mereka...

John membaca naskah drama Will. "Kau lihat bagian yang ini, Toby, Will sedang menulis tentang anak laki-lakinya bukan?"

Grief fills the room up of my absent child
Lies in his bed, walks up and down with me
Puts on his pretty looks, repeats his words...
[ Duka mengisi kamar anakku yang t’lah pergi
Mengisi tempat tidurnya, mengikutiku jua kala ku pergi
Menghiasi wajah rupawannya, terngiang tutur katanya... ]

Richard Burbage mengatakan tentang gaya penulisan Will yang berubah sejak kematian Hamnet. Dalam salah satu karya Will, The Merchant of Venice - Pedagang dari Venesia, ada seorang tokoh bernama Shylock yang suka meminjamkan uang namun berwatak kejam. Semua orang membencinya. Tapi di penghujung cerita, Shylock kehilangan segalanya, sehingga kau harus mengasihaninya, sebab dia hanyalah seorang pria tua yang malang.

Mungkin pendapat Richard ada benarnya. Dan jika ada seseorang yang memahami Will, orang itu adalah Richard Burbage.


Natal 1598, Will mementaskan drama berjudul Henry IV di istana, yang menceritakan tentang putera Sang Raja dan sahabatnya, Sir John Falstaff. Sir John adalah seorang pria tua yang gemuk, pemalas, tukang mabuk, banyak bicara dan tertawa. Namun para penonton di London menyukainya, dan gurauan tentang Falstaff terdengar di mana-mana setiap saat.

Seusai pertunjukan, Ratu ingin berbicara dengan Will.

"Salah apa kita?" bisik John Heminges padaku.

"Kita akan mengetahuinya sebentar lagi."

Kami semua menatap kepergian Will menuju singgasana Sang Ratu. Beliau seorang wanita tua, mengenakan wig merah, dan giginya hitam. Tapi beliau adalah ratu yang hebat. Dan jika Ratu tidak senang...

Suaranya mantap, layaknya suara seorang aktor panggung. Kami dapat mendengar kata-katanya dengan sangat jelas. "Tuan Shakespeare...," sebuah senyuman terlintas di bibirnya. Sehingga kau mengerti mengapa sebabnya semua warga Inggris mencintainya. Beliau bagaikan secercah sinar surya yang terbit pada suatu pagi di musim semi.

"Kau adalah pemain drama terbaik di Inggris. Aku menyukai karya-karyamu, dan aku mengira Sir John Falstaff adalah seorang yang jenaka. Aku mengenal banyak pria Inggris seperti dirinya. Maukah kau menuliskan untukku karya drama yang lain? Aku ingin melihat Sir John jatuh cinta."

Tatkala Will kembali, kami hendak mengerumuninya demi melihat matanya yang bersinar-sinar. "Jangan bicara dulu padaku," jawabnya, "aku harus menulis sebuah naskah lagi."

Hanya dalam selang waktu dua minggu, naskah itu lalu dipentaskan di Istana Richmond, dan dimainkan sebelum kedatangan Ratu pada tanggal 20 Februari. Saat beliau menontonnya, beliau lebih sering tertawa. Judul drama itu adalah The Merry Wives of Windsor - Istri-Istri Periang dari Windsor.

Namun di tahun 1599, beliau jadi jarang tertawa. Saat itu sedang terjadi konflik di Irlandia, sehingga Ratu mengutus Earl of Essex bersama 20.000 orang pasukannya untuk bertempur di sana. Lord Southampton juga turut serta. Seluruh penduduk London turun ke jalan melepas kepergian mereka. Hal ini memberi inspirasi bagi Will saat musim panas tiba, untuk menulis naskah drama menarik bertemakan perang, dan mencantumkan satu-dua kata tentang Irlandia. Judulnya Henry V, seorang Raja Inggris terkenal yang berperang melawan Perancis. Walaupun demikian, Essex bukanlah Henry V. Ia tak tahu tata-cara berperang, dan melarikan diri ke Inggris setahun kemudian. Ratu tak pernah lagi mau bicara kepadanya.

Pada bulan September, Will, Richard Burbage, dan teman-teman yang lain mendirikan Teater Globe, dekat Teater Rose, dengan uang mereka sendiri. Teater itu lebih besar daripada Rose, dan merupakan tempat pertunjukan terbaik di London, yang akan segera menjadi terkenal. Walaupun kelompok pertunjukan yang lain memiliki teater yang bagus dan para pemain yang bagus pula, tapi kami punya Richard Burbage yang sangat terkenal, dan pertunjukan drama terbaik.

Tahun berikutnya, selain Will dan penulis lainnya, muncul seorang penulis baru bernama Ben Jonson. Ia seorang penulis andal. Karya-karyanya sanat bagus, namun orang-orang masih mempercayai Will yang terbaik. Ben tidak dapat mengerti hal ini. Ia selalu berdebat dengan Will tentang cara-cara menulis naskah drama. Ia juga bertengkar dengan yang lainnya. Ia pernah sekali dipenjara karena telah membunuh seorang pria dalam suatu perkelahian. Usianya delapan tahun lebih mdua dari Will. Biarpun begitu, Ben dan Will berteman baik.

Karya Will berikutnya adalah Hamlet, Prince of Denmark - Hamlet, Pangeran Denmark. Kami berenam : aku, Will, Richard Burbage, Henry Condell, John Heminges, Augustine Phillips; berkumpul di Boar’s Head untuk membicarakan tentang rencana pementasannya.

Will meletakkan tumpukan kertas naskahnya ke atas meja. "Well, kalian semua telah membacanya. Bagaimana?"

"Sangat baik," komentar John Heminges. "Tapi terlalu panjang. Kukira pementasannya akan memakan waktu empat jam."



Penulis: Jennifer Bassett




 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?