Travel
Transit yang Indah di Tanjung Bira

23 Oct 2011

Di seberang pantai yang indah, ternyata masih menyimpan pesona keindahan lain yang terbentang di depannya. Itulah Tanjung Bira, pantai di Sulawesi Selatan, yang di dekatnya terdapat gugusan pulau-pulau kecil dengan kekayaan alam di atas dan bawah lautnya yang cantik. Tempat yang membuat saya, Astri Onengan, berangkat bersama suami dan beberapa teman kami,  menghabiskan liburan menikmati aroma pantai sepuas-puasnya.

Menyusuri Pesisir Selatan Sulawesi
Belum banyak orang mengenal Tanjung Bira. Ketika saya menyebutkan tentang Tanjung Bira, rekan-rekan saya di Jakarta berpikir tentang Pulau Bira di Kepulauan Seribu. Kami tahu tentang Tanjung Bira juga dari foto yang di-posting seorang teman di facebook. Tanjung Bira terletak di ujung Provinsi Sulawesi Selatan bagian Timur Laut. Dengan jalan darat, lokasi ini dapat ditempuh dengan perjalanan antara 5-7 jam.

Dari Jakarta, kami memilih penerbangan pertama rute Jakarta-Makassar yang berangkat pukul 00.30 dini hari, agar bisa tiba di sana sekitar pukul 03.45 waktu Makassar. Setelah sekitar dua jam perjalanan, kami tiba di daerah bermaskot kuda, yakni Kabupaten Jeneponto.

Di sebuah warung kecil, kami singgah. Dengan lahap sekali kami mencicipi segala makanan khas daerah untuk sarapan. Menu seperti nasi kuning dengan lauk abon ikan dan kering tempe, lalu songkolo (beras merah dengan serundeng), dan gogoso (lemper dengan abon ikan), berteman teh panas manis. Semuanya lezat!

Kami melanjutkan perjalanan dengan pemandangan kuda-kuda bebas berkeliaran di padang rumput atau sawah yang kering. Kuda seperti menjadi ikon kuliner daerah ini. Sebab, Jeneponto memang dikenal dengan makanan khasnya: coto kuda dan konro kuda. Mudah sekali menemukan warung-warung yang menyediakan makanan itu di hampir setiap sudut kota. Ah, kami menyesal kenapa tak mampir ke salah satu warung yang menjual coto kuda. Hingga saat ini kami masih penasaran seperti apa rasanya coto kuda.

Dalam perjalanan menyusuri pesisir selatan Sulawesi ini, tambak-tambak garam tampak bertebaran. Jendela mobil kami buka lebar-lebar untuk menghirup aroma daerah pesisir. Mengikuti cara Eko, salah satu teman seperjalanan kami, yang mengatakan, untuk melengkapi kenangan kita terhadap suatu tempat, hirup dan resapi dalam-dalam aroma tempat tersebut.

Kami melewati Kabupaten Bulukumba. Ini adalah lokasi terakhir kami bisa menemukan mesin ATM. Bulukumba adalah kota strategis yang terletak pada posisi jalur pariwisata dan jalur perdagangan antarpulau di kawasan Sulawesi Selatan, kurang lebih 153 km dari Makassar. Penduduk yang bermukim di luar ibu kota kabupaten, rumahnya masih dipengaruhi oleh model rumah panggung. Masyarakat Kabupaten Bulukumba dikenal sebagai masyarakat maritim dengan mengandalkan keahlian membuat perahu dan berlayar, meskipun kehidupan pertaniannya juga cukup maju. (f)



Kampung Pinisi
Mendekati Tanjung Bira, jalan mulai berbukit-bukit dengan pemandangan laut lepas dan rumah-rumah teratur rapi dihiasi tanaman bunga berwarna-warni, membuat kami lupa betapa panjangnya perjalanan kami sejak subuh tadi.

Setelah perjalanan selama kurang lebih 5 jam dari Makassar, kami tiba di Kelurahan Tana Beru. Kawasan ini terkenal sebagai perajin kapal pinisi, kapal yang dibuat dengan memegang teguh tradisi nenek moyang, yaitu memadukan keterampilan teknis dan juga kekuatan magis. Setiap tahapan pengerjaan harus didahului dengan upacara adat. Antara lain, tahap penentuan hari baik untuk mencari kayu, yang biasanya jatuh pada hari ke-5 dan ke-7 pada bulan yang sedang berjalan. Tahap selanjutnya adalah menebang, memotong, dan mengeringkan bahan baku kayu. Selanjutnya, membangun kapal, dan yang terakhir adalah meluncurkan kapal ke laut, yang lagi-lagi juga didahului dengan upacara adat.

Saat mobil kami masuk kawasan kampung, tampak di kanan-kiri jalan bagian-bagian kecil kapal-kapal pinisi yang sedang dibuat. Tak berapa lama kemudian, di sisi pantai, kami melihat beberapa kapal pinisi berukuran besar, sedang, dan yang kecil sedang dibuat. Kami begitu takjub dengan cara pembuatan yang terlihat sederhana, namun kapal yang dihasilkan begitu megah dan anggun. Kapal-kapal yang sedang dibuat rata-rata adalah pesanan dari luar negeri yang akan digunakan sebagai kapal pesiar. Rupanya, kepiawaian suku Bugis ini sudah tersohor ke mancanegara.

Kami berhenti di salah satu tempat pembuat kapal. Setelah minta izin kepada para pekerja, kami memasuki area pembuatan kapal pinisi ini dengan sangat hati-hati karena banyak kayu dan peralatan bekerja yang berceceran di jalan. Dengan ramah, para pekerja mengizinkan kami mengamati dari dekat bagaimana kapal pinisi dibuat. Bahkan, kami diizinkan untuk naik ke dek salah satu kapal yang hampir selesai untuk melihat bagian dalam kapal tersebut. Kami berdiri di atas kapal sambil memandang laut lepas di depan kami. Dari dek kapal, kami berkhayal memiliki kapal seperti ini lalu berpesiar mengarungi samudra. (f)

Bermalam di Tanjung Bira
Kami tiba di Tanjung Bira sekitar pukul 13.00. Sambil menanti kapal kecil untuk menyeberang ke Pulau Lihukan, kami berjalan-jalan di sekitar pantai. Kami tercekat oleh pemandangan yang ada: hamparan pasir sangat putih dan laut tenang dengan gradasi biru, biru sangat muda, hingga biru tua yang membentang luas. Tak habis-habisnya kami menarik napas panjang karena kagum, dan begitu menikmati aroma pantainya. Ketika kaki melangkah, pasirnya terasa sangat halus bagaikan tepung terigu. Pasir itu merupakan kikisan karang di tebing-tebing atau dasar laut yang dihantam arus dan gelombang sepanjang waktu.

Di Pantai Tanjung Bira, ada cukup banyak pilihan tempat menginap dengan kisaran harga mulai dari Rp100.000 hingga Rp1,2 juta per malam. Ada yang berada di ketinggian bukit sehingga dari teras dapat melihat lautan lepas, ada pula yang berada di atas batu karang yang menjorok ke laut, sehingga bisa langsung terjun berenang di laut.

Selain bermain pasir dan berenang di laut, pengunjung juga bisa menyewa banana boat atau menyewa kapal-kapal yang ada di sepanjang pantai untuk berkeliling atau pergi ke spot snorkel di dekat Pulau Betang, atau yang juga dikenal dengan nama Pulau Kambing.

Kami sempat keheranan dengan banyaknya penjual mangga di pinggir jalan menuju pantai. Semula, kami mengira mangganya dijual mahal. Namun, kami sangat terkejut ketika harga yang ditawarkan di bawah perkiraan kami. Untuk sebuah mangga selayar (mangga dengan bentuk memanjang, berair dan berserat, serta sangat manis), harganya hanya Rp2.000 per buah!

Tanjung Bira bisa dibilang sebagai kawasan transit. Dari sini, kita bisa menyeberang ke pulau-pulau kecil yang letaknya tak terlalu jauh. Banyak   penyelam dari dalam maupun luar negeri, jauh-jauh datang ke sini dengan tujuan   Kepulauan Selayar. Kawasan itu memang kawasan konservasi bawah laut yang dilindungi, dikenal dengan nama Taman Nasional Taka Bonerate. (f)

Serasa Pulau Milik Sendiri
Kapal kecil membawa kami dari Tanjung Bira ke Pulau Lihukan (juga populer dengan nama Pulau Liukang). Di tengah perjalanan, seekor ikan hiu kepala martil meloncat ke udara, seperti sedang menyambut dan menyapa kami. Beberapa saat kemudian, tampak satu ekor lagi melompat, beberapa belas meter dari kapal kami.

Pilihan untuk menginap di wisma ini hanya berdasarkan penjelasan orang yang saya tanya via facebook sebelumnya. Pak Romli, pemilik penginapan yang menjemput kami, lalu menunjuk bangunan mungil beratap hijau di pinggir pantai. Wisma tiga kamar tidur milik Pak Romli adalah satu-satunya tempat menginap di Pulau Lihukan. Letaknya yang berada di ujung pulau  membuat kami merasa memiliki pantai putih pribadi.

Pulau ini ternyata adalah pulau karang, pinggir-pinggir pantainya dikelilingi tebing batu karang yang besar-besar. Pantainya berpasir putih, dengan pemandangan Pulau Sulawesi terbentang, dan gunung di sisi kiri tampak dari kejauhan. Indah sekali! Kami lalu berpencar melakukan aktivitas sesuai selera. Beberapa dari kami segera berenang di laut dengan peralatan snorkel yang dibawa dari Jakarta. Ada teman yang memilih tidur-tiduran di pasir pantai. Saya sendiri memilih menikmati mangga selayar di teras wisma, diiringi petikan ukulele yang dibawa suami. Sungguh kenikmatan yang jarang didapat!

Penasaran dengan kehidupan masyarakat di pulau terpencil ini, kami pun berjalan membelah pulau untuk melihat perkampungan nelayan di sisi pulau yang lain. Sebelum pergi, kami diwanti-wanti oleh pemilik penginapan untuk tidak keluar jalur yang sudah disediakan, karena beberapa minggu sebelum kami datang, ada turis asing yang tersesat di hutan. Hal ini sempat membuat repot warga dua kampung. Untungnya, turis tersebut akhirnya ditemukan dalam keadaan selamat. Rupanya, kejadian ini benar-benar berkesan bagi penduduk kampung, karena beberapa kali kami lagi-lagi diingatkan oleh penduduk agar tetap di jalur utama.

Masyarakat yang tinggal di Pulau Lihukan ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan. Para wanitanya rata-rata memiliki kemampuan menenun sarung. Hal ini terlihat, di hampir setiap rumah warga terdapat alat tenun. Satu potong sarung hasil tenunan mereka dijual dengan harga antara Rp200.000 - Rp300.000.

Bagi kami, acara berjalan kaki sore hari itu sungguh menyegarkan. Kami bisa mendengar dan melihat beberapa jenis burung berwarna indah. Beberapa kali kami juga berpapasan dengan segerombolan kambing besar dan kecil. Ditambah latar matahari terbenam yang sangat romantis. “Semua pemandangan matahari terbenam itu selalu indah dan berbeda,” kata suami saya.

Malam harinya, setelah melahap hidangan ikan bakar, kami menggelar matras di pantai dan mematikan semua lampu untuk mendapat pemandangan maksimal laut dan langit malam Pulau Lihukan. Tak terhitung berapa banyak bintang jatuh yang kami lihat malam itu. (f)



Tip:
1. Jika waktu libur tidak terlalu panjang, cari penerbangan pertama yang berangkat tengah malam untuk tiba di Makassar pada dini hari dan langsung meluncur ke Tanjung Bira. Untuk sarana transportasi di sana pada jam sepagi itu harus sewa mobil, karena angkutan umum dari Terminal Malengkeri, Makassar, baru mulai operasi sekitar pukul 09.00.

2. Jika ingin perjalanan nyaman dengan harga relatif murah, carilah beberapa teman untuk pergi berlibur bersama agar biaya sewa mobil dan kapal dapat ditanggung bersama. Biaya sewa mobil dari Makassar ke Tanjung Bira  antara Rp400.000 - Rp600.000, sudah termasuk sopir dan BBM.

3. Sewa kapal untuk jemput di Tanjung Bira, mengantar snorkeling, dan mengantar kembali ke Tanjung Bira, antara Rp250.000 - Rp350.000, tergantung negosiasi.

4. Selain Pulau Lihukan, Pulau Betang juga perlu masuk agenda snorkeling karena pemandangan bawah lautnya yang bagus.

5. Jika ada waktu lebih panjang, sempatkan mengunjungi kampung tradisional Suku Kajang di daerah Bulukumba.


Astri Onengan (Kontributor - Jakarta)
Foto: Dok. pribadi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?