Shopping List
Transformasi Toko Buku dan Musik

28 Nov 2014


Di tengah gempuran e-book dan digital music yang begitu mudah diunduh melalui gadget, keempat toko ini justru tetap melaju dengan angka penjualan yang bertambah. Dengan membentuk komunitas, mereka percaya keberadaan buku dan CD dalam bentuk fisik masih diminati masyarakat Indonesia.

Kineruku, Bandung
Seperti di Rumah Sendiri

Konsep awal Kineruku adalah perpustakaan swasta yang menyediakan referensi, seperti buku, CD musik, dan film. Pemiliknya, Budi Warsito dan istrinya, Ariani Darmawan adalah penggemar buku dengan ratusan koleksi. Sejak Maret 2003, keduanya memutuskan untuk membagi ‘harta karun’ mereka untuk umum dengan membuka perpustakaan sekaligus toko buku bernama Kineruku.

Ingin menghapus anggapan perpustakaan yang dingin dan sepi, Kineruku hadir dalam konsep desain yang berbeda. “Kami mendesainnya senyaman mungkin. Homey dan cozy,  seperti di rumah. Lengkap dengan sofa-sofa hangat,” ungkap Budi.
Ide Kineruku terinspirasi dari pengalaman Ariani saat kuliah di Chicago, Amerika Serikat. Ia melihat betapa mudahnya akses publik terhadap informasi, baik yang ada di perpustakaan, toko buku, atau rental video yang memiliki koleksi superlengkap.

“Di Indonesia, akses tersebut masih terbatas. Saya bermimpi, kemudahan serupa juga bisa dirasakan oleh orang Bandung atau kota-kota lain di Indonesia,” ujarnya.
Hampir 80% dari total 4.000-an buku di Kineruku disewakan untuk umum. Hebatnya lagi, semua   buku yang ada di sana bukan dipilih secara asal, tapi melalui proses kurasi oleh pengelolanya. Sisanya, barulah dijual kepada publik. Beberapa di antaranya merupakan hasil kerja sama dengan beberapa penerbit lokal, dan sisanya merupakan koleksi pribadi Budi dan Indriani. Selain buku, Kineruku juga menawarkan CD musikus indie dan piringan hitam untuk koleksi.

Untuk perpustakaan, Kineruku mengelolanya dengan sistem keanggotaan. Dengan fasilitas ini,  tiap pengunjung bisa meminjam buku dengan jangka waktu dua minggu.  Tidak semua buku bisa dibawa pulang, ada sebagian buku yang hanya boleh dibaca di tempat.

Pengunjung dan anggota perpustakaan Kineruku berasal dari berbagai kalangan usia, dari remaja SMA hingga orang tua dengan jumlah mencapai 2.500 orang. Semua adalah warga Bandung dengan mayoritas anak kuliahan. “Kalau hanya untuk membaca di tempat, kami tidak memungut biaya. Kami juga menyediakan kafe, jadi mereka bisa makan, minum, atau menonton film. Persis seperti di rumah sendiri,” lanjut Budi.
Kineruku bekerja sama dengan beberapa penerbit lokal untuk mendapatkan koleksi buku yang dijual.  Buku-buku yang dijual biasanya kerja sama dengan beberapa penerbit lokal dan beberapa koleksi pribadi.

“Tempat ini menjadi alternatif yang menyediakan buku berkualitas namun tidak populer,” jelas Budi. Kebanyakan buku yang dijual merupakan buku humaniora. Selain itu ada buku sastra, bahasa, filsafat, seni dan desain, arsitektur, studi tentang budaya, dan sejarah.
Agar lebih hidup, Kineruku juga aktif mengadakan berbagai acara, seperti diskusi, bedah buku, pemutaran film, gathering komunitas. Film yang diputar pun dipilih khusus dari film-film festival yang tidak diputar di bioskop umum. “Biasanya kami sekaligus menghadirkan sutradara dan menggelar diskusi setelahnya,” ungkap Budi. Memang tidak ada agenda acara yang rutin, tapi  tiap ada fenomena menarik yang berkaitan dengan buku, film atau musik, Kineruku akan membahasnya.

Budi percaya, buku fisik tidak bisa digantikan oleh e-book. Menurutnya, di tengah ritme hidup modern yang  makin cepat dan ketergantungan orang terhadap gadget sebagai alat pembantu, kehadiran buku fisik bisa menjadi jeda.
Keyakinan Budi ini terbukti. Sebelas tahun sejak berdiri, Kineruku tetap bertahan dan  makin banyak peminat. Passion terhadap buku, musik, dan film yang dipadukan dengan ramuan model bisnis yang pas menjadi kunci dari keberhasilan Kineruku.
“Kineruku harus bisa mandiri dalam hal finansial, sehingga bisa membiayai operasional dan membayar karyawan. Untuk itulah, ada kafe yang menjadi bagian dari bisnis itu sendiri,” jelas Budi.

Ke depannya, Kineruku akan  merenovasi dan memperluas bangunan sehingga kantor dan perpustakaan akan terpisah. Mengandalkan teknologi internet, Kineruku memaksimalkan penjualan buku dan CD melalui toko online dan media sosial. Sehingga koleksinya juga bisa dipesan dan dinikmati oleh konsumen dari seluruh tanah air. Bahkan, ada beberapa pembeli online dari Eropa dan Amerika.

Kineruku, Jl. Hegarmanah 52
Bandung
Tel/Fax: 022-2039615
HP: 0878 2428 1152
Website: Kineruku.com


Kampung Buku, Makassar
Kolaboratorium

Kampung Buku adalah perpustakaan berbasis komunitas yang didirikan oleh Penerbit Ininnawa pada tahun 2008 di Makassar. Kemudian, komunitas tanahindie.org (komunitas kajian perkotaan) mengasuhnya dan menjadikannya kolaboratorium (tempat berkumpul komunitas untuk saling berkolaborasi).

“Kampung Buku ini bisa disebut ruang bersama dengan para warganya yang adalah para pencinta buku,” jelas Anwar Jimpe Rachman, Direktur Penerbitan Ininnawa.
Disebut sebagai ruang bersama karena beberapa komunitas sering memakai Kampung Buku sebagai tempat kegiatan, seperti Komunitas Quiqui, dan Komunitas Perajut di Makassar. Demi memaksimalkan komunitasnya, Kampung Buku aktif mengadakan berbagai kegiatan, seperti dialog, pemutaran film, bedah buku, pameran seni dan kebudayaan.

Perpustakaan yang bermodal 200 buku ini sekarang memiliki koleksi buku yang jumlahnya menembus angka 3.000. Saking banyaknya, Ininnawa memakai serambi kantor untuk memajang koleksi bukunya sehingga   makin banyak warga umum yang bisa menikmati akses bacaan.

Dengan uang pendaftaran Rp50.000, warga atau anggota Kampung Buku dapat meminjam tiga judul pertama gratis. Sementara, untuk peminjaman berikutnya mereka dikenai biaya Rp5.000 per buku, per minggu. 
          
Pengunjung Kampung Buku bisa siapa saja, dari pelajar SMP hingga orang dewasa yang memang memiliki passion membaca. “Kebanyakan mencari data penelitian untuk skripsi, tesis, atau disertasi. Tapi, ada juga yang mencari buku-buku ringan seperti komik,” jelas Jimpe.  
 
Selain perpustakaan, Kampung Buku menjual buku-buku terbitan Ininnawa yang banyak bertema kebudayaan, terutama kebudayaan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Namun, untuk ini, Kampung Buku juga bekerja sama dengan penerbit lain.
Meski menjual buku, Kampung Buku tidak melulu harus mencari untung, karena mereka berbasis komunitas. Uang yang terkumpul digunakan kembali untuk keperluan riset kebudayaan, menambah koleksi perpustakaan, dan menerbitkan buku asing yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. 

Baik Jimpe maupun anggota Kampung Buku lainnya yakin bahwa keberadaan buku akan terus lestari. Hal ini terbukti dengan penjualan buku dari tahun ke tahun yang menurut Jimpe  makin meningkat. Gadget mungkin lebih mudah dibawa-bawa, tapi tidak bisa ‘diajak tidur’ karena gelombang elektroniknya yang membahayakan. “Lagi pula, membaca buku melalui gadget membuat mata mudah lelah,” ujar Jimpe, beralasan.
Kampung Buku sendiri telah melewati usia enam tahun. Semua ini, menurut Jimpe, mungkin terjadi karena dukungan dari orang-orang yang masih mencintai buku fisik. “Sebagai pendiri Kampung Buku, kami sendiri harus menggiatkan diri untuk membaca buku. Kalaupun orang lain datang dan ikut membaca buku, itu merupakan bonus,” ujar Jimpe.

Kampung Buku
Jl. Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makasar
Telp. 0411433775
Website: tanahindie.org


Komunitas Bambu, Jakarta
Wadah Pencinta Sejarah

Mengambil momen bersejarah Kebangkitan Nasional pada 20 Mei, sekelompok mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia sepakat untuk membangun Komunitas Bambu (Kobam) pada tahun 1998. Melalui komunitas ini, mereka menerbitkan buku-buku bertema ilmu pengetahuan budaya dan humaniora.

Kepedulian mereka berawal dari munculnya krisis pengetahuan sejarah yang melanda masyarakat Indonesia di tahun 1998. Padahal, pendiri bangsa Indonesia, Soekarno mengatakan, “Bangsa yang tidak tahu masa lalunya, akan sesat dalam jalannya ke masa depan dan saling cakar bagai monyet dalam gelap.”

“Demikian peringatan bahaya sekaligus wasiat penting Soekarno yang setelah krisis 1998  makin sering diulang. Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah,” jelas Nabila Ummussakinah, Kepala Promosi Komunitas Bambu.
Sengaja memilih konsep komunitas karena mampu menciptakan keterikatan antara Kobam dan pembacanya. “Pembeli buku Kobam yang merasa memiliki hubungan dengan Kobam biasanya akan mengajak orang lain, teman-temannya, atau orang terdekatnya untuk ikut mempromosikan buku-buku Kobam. Termasuk ikut mengampanyekan pentingnya sadar sejarah,” ujar Nabila.

Mereka yang tergabung dalam Komunitas Bambu adalah yang tertarik menyukai produk Kobam, pembaca buku Kobam, komunitas penyuka buku-buku sejarah dan komunitas yang peduli pada sejarah.
Tidak semata-mata berjualan buku, komunitas ini memiliki kegiatan rutin  tiap bulannya. Baik itu berupa diskusi buku, kegiatan wisata sejarah, atau bazar dan pameran buku. Di  tiap ajang inilah anggota Kobam yang jumlahnya sudah ratusan punya kesempatan untuk menjalin interaksi.

Komunitas pembaca Kobam adalah mereka yang memiliki ketertarikan besar pada topik-topik sejarah dan kebudayaan Indonesia. Sebagai anggota, mereka berhak mendapat keistimewaan, seperti diskon dan harga spesial saat membeli buku-buku Kobam atau ikut wisata sejarahnya.
Buku-buku yang diterbitkan Kobam sendiri telah tersebar di beberapa toko buku di seluruh Indonesia. Selain itu, pencinta buku-buku Kobam juga bisa mendapatkannya secara online, yaitu melalui website, pesanan SMS, BBM, dan media sosial. Mereka juga bisa menelepon langsung ke kantor Kobam.

Penjualan buku menyumbang hampir 80% dari keberlangsungan komunitas ini. Sisanya, disokong dari penjualan kaus, wisata sejarah, dan merchandise. “Bulan depan, kami akan membuka toko buku sendiri dengan konsep ruang baca yang dilengkapi kafe sehingga pengunjung bisa membaca di tempat,” ujar Nabila, senang.
“Ke depannya, Komunitas Bambu tidak sekadar mengerjakan desain, percetakan, penerjemahan, dan penyuntingan buku, tapi juga riset dan penulisan sejarah, produksi film dokumenter, komik sejarah, videografis, serta mengelola wisata sejarah,” ujar Nabila.

Komunitas Bambu
Jl. Pala No.4 B Beji Timur
Depok, Jawa Barat
Tel: 021 77206987
Website: komunitasbambu.com


Quickening, Bandung & Jakarta
Mengandalkan Segmen Khusus

Quickening adalah toko musik yang khusus menjual CD musik indie. Berdiri pertama kali di Bandung tahun 2006, dan membuka gerai kedua di Kemang, Jakarta, pada tahun 2010. Yongki Perdana, pemilik Quickening, mengaku   bisnisnya ini berawal dari hobi mengoleksi CD band-band aliran indie bergenre rock, punk, hardcore, hingga pop.
   
Koleksi CD yang makin menjulang membuatnya terpikir untuk menjual sebagian kepada beberapa teman sesama penyuka musik indie. “Ternyata banyak sekali peminatnya. Dari sinilah saya terdorong untuk mendirikan toko musik,” ungkap Yongki. Selain CD musik, Yongki juga menjual kaus, jaket, buku, stiker yang berkaitan dengan musik, hingga merchandise kebutuhan komunitas seperti papan skateboard.
Untuk mencuri pasar, Quickening mengkhususkan diri untuk menjual CD musik indie yang sangat segmented yang tidak bisa didapat di toko lain. Keunggulan lain, semua CD yang dijualnya bersifat eksklusif, hanya ada satu item CD untuk  tiap band. Agar pasokannya terjamin, Yongki bekerja sama dengan label dan distributor dari Amerika Serikat dan Jerman.

“CD yang saya impor murni hasil pilihan saya pribadi. Saya membekali diri dengan pengetahuan mengenali apa yang sedang in di Amerika dan mengandalkan feeling. Sejauh ini respons pasar positif, meski ada beberapa CD yang tidak terjual, itu karena masalah selera,” ungkapnya. 

Setelah 8 tahun perjalanan membesarkan Quickening, Yongki merasa pasar musik Indonesia masih sangat luas. Demi memberi ruang bagi koleksi CD-nya, toko Quickening yang ada di Jakarta sampai harus mengalami perluasan tiga kali lipat dari awal berdiri. Begitu juga penjualan barang. “Dalam sebulan, toko di Jakarta bisa menjual 300-500 items. Harga CD berkisar Rp30.000-Rp250.000, sedangkan piringan hitam mencapai Rp900.000,” ujarnya, senang.

Meski saat ini teknologi  canggih  memudahkan orang untuk mengakses musik secara gratis, Yongki sangat percaya orang masih membeli CD dalam bentuk fisik. Alasannya, karena mereka ingin memegang langsung CD-nya. Dan,  dengan datang ke toko musik, pengunjung akan berinteraksi dengan pengunjung lain yang memiliki kesamaan minat dan selera musik.(f)

Quickening Jakarta
Kemang Utara No 16, Jakarta Selatan
085694580488
Website: www.quickening-store.com





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?