Fiction
Topeng [6]

19 Apr 2012


<< cerita sebelumnya

Tentu saja Arya tidak tahu bagaimana sosok ibu Saras sebenarnya. Bagaimana sifatnya yang terlalu memproteksi anak-anaknya. Sifat yang makin hari makin sulit diterima, karena ketiga gadisnya sudah beranjak dewasa dan ingin sekali mencicipi sedikit kebebasan. Bukan yang selalu dijaga siang-malam seolah-olah mereka keramik Cina yang tidak boleh lecet sedikit pun.

Sampai detik ini Ibu tetap saja memperlakukan Saras dan saudara-saudaranya seperti bocah kecil. Di rumah dia masih senang memeluk dan menciumi anak-anaknya. Mengajak mengobrol, mendengarkan cerita mereka, bahkan tidur rame-rame dalam satu tempat tidur. Sejauh tidak ada yang tahu, Saras senang-senang saja dengan perlakuan seperti itu.

Tapi, dia tidak mau ini semua diketahui orang luar. Apalagi, orang-orang yang tidak mengenal keluarga dan masa kecilnya. Dia malu dengan sifat manjanya. Namun, kedekatan Saras dengan keluarganya, terutama Ibu, memang hanya sebatas bermanja-manja. Makin lama makin sedikit kehidupan pribadi Saras yang diketahui Ibu. Kalau ditanya, dia hanya akan bercerita hal yang umum saja. Untunglah, Ibu pun tidak pernah mendesak.

Suatu kemajuan. Ibu melunak. Peraturan tak seketat dulu. Apakah dia sadar kalau anak-anak mulai menjauh darinya? Entahlah. Saras tak terlalu mau tahu. Tapi, tetap saja Saras harus berhati-hati untuk bercerita, apalagi kalau menyangkut urusan pria.

Kali ini pun Saras tidak punya keberanian. Begitu melihat wajah ibunya, dia lebih memilih bungkam seperti biasa. Saras hanya takut. Ngeri kalau tiba-tiba Ibu kembali pada sikapnya yang lama. Overprotective. Bagaimana kalau dia melarang Saras berpacaran dengan Arya? Bagaimana kalau Ibu memintanya memutuskan hubungan? Lebih baik dia menunggu saat yang tepat.

“Malam, Bu,” sapa Saras, seraya memamerkan senyum termanisnya, begitu dia menjejakkan kaki di dalam rumahnya sendiri. Suaranya otomatis berubah sendiri. Agak melengking dan manja.

Ibu yang tengah membereskan barang belanjaannya di dapur, tersenyum melihat kedatangan putrinya.

“Selamat malam, Sayang.” Ibu membuka kedua lengannya lebar-lebar dan menerima Saras dalam pelukannya. Diciumnya kedua belah pipi anaknya dengan lembut. Lalu, mata Ibu turun dan melihat kaos yang dikenakan anaknya. Hanya sebatas pinggang. Terangkat sedikit saja perut mulus dan pusar Saras akan terlihat. Tangannya terulur dan mencubit halus perut itu.

Tanpa dikatakan lagi pun, Saras sudah mengerti, Ibu tak suka pakaian yang memamerkan tubuh seperti itu. Maka, sebelum Ibu berkomentar lebih jauh, Saras ngeloyor meninggalkan dapur.

Selalu begitu. Ini yang masih belum berubah. Dari dulu, sekarang, dan mungkin sampai selama-lamanya, pandangan Ibu tentang yang satu ini akan tetap sama. Ibu bukan pengikut mode. Gaya berpakaiannya amat sederhana dan konvensional. Longgar, panjang. Jauh dari trendi. Celakanya, Ibu juga menginginkan anak-anaknya untuk berpakaian sesopan itu. Artinya, tidak ada istilah pamer lengan, perut, apalagi bokong dan dada.

Mungkin, yang paling penurut hanyalah Laras. Dibandingkan kakak-kakaknya, Laras memang cenderung kuno dalam fashion. Persis Ibu. Sedangkan Niras, meskipun suka buka-bukaan, di rumah dia selalu menghormati Ibu dengan memilih berpakaian yang pantas untuk mata ibu.

Lagi-lagi Saras yang paling bandel. Dia tidak peduli Ibu sampai bosan menasihatinya untuk berpakaian ‘sopan’. Baju-bajunya hampir semua mempertontonkan kemolekan tubuhnya. Kalau sedang di jalan atau naik kendaraan umum, dia akan menutupinya dengan jaket. Itu saja.

Tapi, kali itu Ibu hanya menghela napas, memandang punggung anaknya menjauh. Setelah itu dia kembali sibuk dengan dapurnya.

Tadi Arya mengirim SMS. Dia minta ditemani pergi ke acara reuni teman-teman kuliahnya dulu. Saras tersenyum senang. Dia tidak menolak. Dia paling suka event seperti itu. Reuni. Pesta. Apalagi, kali ini ke pesta teman-teman Arya. Pasti keren. Bonafit. Jebolan-jebolan Amerika akan berkumpul di sini.

Sore itu Saras berencana minta izin pada Ibu untuk kembali ke kosnya. Agar ia bisa punya waktu untuk ke salon, tampil cantik agar tidak membuat Arya malu. Tapi, ternyata, Ibu malah mengajaknya mengobrol lagi. Sepertinya serius. Membuat Saras tak punya pilihan lain selain sabar mendengarkan.


“Dua hari yang lalu Niras kirim SMS. Katanyam dia akan pulang minggu depan,” Ibu memulai pembicaraan.

“Dia sedang liburan?” Saras mengernyitkan kening.

“Katanya, mumpung sedang luang. Bosnya sudah mengizinkan.”

Apa pun itu, bukan kabar kedatangan kakaknya yang membuat Saras tertegun, tapi kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ibu barusan.

“Ibu mengizinkan Niras membolos?” bola mata Saras mem­besar.

“Bagaimana Ibu bisa melarangnya?” mata Ibu balas memandang putri tengahnya. Seolah melempar balik pertanyaan itu untuk dijawab Saras. “Biarkan saja. Toh, dia sudah dewasa. Sudah hidup mandiri. Dia pasti sudah mengerti sendiri konsekuensi yang harus dijalaninya.”

Wow, inikah ibunya? Mata Saras membulat dan menatap Ibu lekat-lekat. Angin apa yang membuatnya jadi berubah sedrastis ini?

“Saras, apakah Niras pernah bercerita tentang dirinya?”

Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Tentu saja! Tapi, tolong, Bu, jangan menyuruhku untuk menceritakan isi cerita itu. Ini rahasia di antara kami.

“Apakah… apakah… dia pernah bercerita tentang pria?” tanya Ibu, tanpa menunggu jawaban puterinya. Suaranya terdengar ragu-ragu.

“Memangnya ada apa, Bu?”

“Tidak apa-apa. Niras hanya bilang, dia akan mengajak temannya dan memperkenalkannya pada keluarga kita.”

Berarti, Niras sudah punya pilihan. Sepertinya sudah mantap. Kalau tidak, bagaimana dia punya pikiran untuk membawanya ke hadapan Ayah dan Ibu. Lalu, kenapa Ibu masih cemas?

“Bagus kan, Bu? Berarti Mbak Niras berniat terbuka pada kita?”

Ibu mengangguk. “Benar. Tapi, seperti apa temannya itu?”

“Mungkin teman sekampusnya, Bu. Sudahlah, kita lihat saja nanti. Kenapa, sih, kok, Ibu sepertinya khawatir sekali? Wajar kan, Bu, kalau Mbak Niras sudah punya pacar.”

“Ya. Tapi…,” Ibu menggantung kalimatnya. Menghela napas panjang. “Sepertinya Ibu punya perasaan tidak enak?”

“Ah, Ibu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang tidak perlu.”

Pembicaraan terputus sampai di situ.

Saras senang berada di antara golongan orang-orang kaya ini. Sejak dulu dia selalu merasa, di dalam komunitas seperti inilah seharusnya dia berada. Di antara orang-orang elite dan intelek. Jauh di dalam lubuk hatinya Saras merasa kemampuan otaknya tidak kalah dari para lulusan luar negeri itu. Yang tidak dimilikinya adalah keberuntungan untuk bersekolah sampai ke luar negeri.

Lagi-lagi materi! Betapa menyebalkannya, karena justru dia selalu terpentok pada hal satu itu. Kekurangan yang membatasinya dengan hal-hal yang ingin dia cicipi sesungguhnya. Karena itu, untuk mendampingi Arya di acara reuninya, Saras merasa sudah layak dan sepantasnya kalau dia berdandan habis-habisan.

Dengan penuh pertimbangan, Saras memutuskan mengenakan gaun malam berpotongan dada rendah dan tali kecil di kedua ba­hunya, menonjolkan dengan jelas tato bergambar hati di bahu ki­rinya. Rambutnya yang panjang sepunggung diangkat dan di­tata di atas tengkuknya. Sementara sisa anak rambut dibiarkan menjuntai polos di dekat telinganya.

Saras sangat percaya diri pada penampilannya malam ini. Dia ta­hu dia pandai berdandan. Hasil riasannya tidak kalah dari salon ke­cantikan profesional. Gaun malam yang dipilihnya, meski bukan ke­luaran butik ternama dan sangat ekonomis, tampak anggun. Dia merasa seperti putri kecantikan.

Untung saja malam ini Arya tidak punya ide mengajak Dita. Kalau bocah itu ikut, hampir bisa dipastikan, sembilan puluh persen acaranya dengan Arya akan rusak. Mana bisa bermesraan tanpa gangguan teknis.




Penulis: Mya Ye


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?