Fiction
Tetanggaku [1]

18 Feb 2013


Mengapa aku harus merasa sedih kehilangan seorang tetangga yang hampir tak kukenal dan hampir tak pernah bercakap-cakap?

Frau¹ Hachenberger meninggal dunia di rumah sakit 2 hari yang lalu. Aku sudah pernah bercerita kepadamu tentang tetanggaku yang luar biasa itu, bukan? Beberapa bulan lalu aku bercerita kepadamu tentang seorang perempuan tua bertubuh kecil yang membersihkan salju di depan rumahnya sendiri.

Waktu itu aku belum tahu usianya, tapi perempuan tua itu tampak sangat penuh semangat hidup. Namun sekarang dia sudah mati. Tak pernah kutahu usianya sebelumnya. Aku pun tak tahu bahwa dia sudah tiga minggu lamanya di rumah sakit, sebelum akhirnya meninggal dunia dua hari yang lalu. Sedemikian sibuknya aku dengan tugasku sehari-hari mengurus dua anak kecil dan suami, sehingga tak tahu bahwa tetanggaku itu sudah meninggal dunia, dua hari yang lalu.

Memang, beberapa minggu belakangan ini aku melihat ada sesuatu yang tidak biasa. Kerai penutup jendela di rumah Frau Hachenberger tetap tertutup sepanjang hari, dan sejak itu pun aku tak pernah lagi melihatnya.

Biasanya, setiap pagi, saat bangun, aku selalu melihat Frau Hachenberger menarik kerai  penutup jendela kamarnya, ke atas, lalu membuka daun jendelanya. Ia lalu menyandarkan tubuh ke pinggir jendela sambil menjulurkan kepalanya ke luar untuk melihat keadaan di sekitar kebun rumahnya, dan jalan kecil yang melintang di antara rumahnya dan rumah kami.

Kamu pasti menduga, aku sudah mengenalnya dengan baik. Sama sekali tidak. Semua pengetahuanku tentang kematiannya kudapat dari salah seorang ahli warisnya yang kebetulan kutemui tadi pagi, setelah aku pulang mengantarkan kedua anakku ke taman kanak-kanak.

"Apa yang telah terjadi?" aku bertanya kepada salah seorang dari lima pasangan ibu-ibu dan bapak-bapak yang tengah berdiri memenuhi jalan kecil di depan rumah Frau Hachenberger. Suatu pemandangan yang sama sekali tidak biasa. Jalan itu biasanya selalu sepi.
"Dia sudah pergi," kata seorang bapak yang bertubuh sangat tinggi dan kurus kepadaku.
"Oh!" aku berseru. Ternyata dugaanku memang benar. Ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang di luar kebiasaan.
"Dua hari yang lalu. Di rumah sakit," kata seorang ibu yang berdiri di sebelah bapak tinggi kurus itu. Mungkin ibu itu adalah istri bapak itu.
"Aku sudah menduga bahwa pasti telah terjadi sesuatu. Akhir-akhir ini kerai  penutup jendelanya selalu tertutup, tidak seperti biasanya," kataku.
"Begitukah? Ya, dia masuk ke rumah sakit tiga minggu yang lalu. Semuanya terjadi begitu cepat. Dua hari yang lalu dia meninggal dunia," kata ibu itu lagi.
"Kapan jenazahnya akan dikuburkan?" tanyaku.
"Akhir pekan ini," jawab bapak itu.
"Di mana?" tanyaku lagi.
"Tentu saja di kuburan di belakang gereja desa ini. Dia berasal dari sini. Dia pun akan dikubur di sini," jawab bapak itu.

Sesungguhnya ada lima ahli waris dari Frau Hachenberger, yang hubungan kekeluargaannya sebenarnya cukup jauh. Ya, Frau Hachenberger tidak memiliki anak. Dia pun tidak pernah menikah atau mempunyai pasangan hidup. Dia selalu hidup sendirian di rumah yang sebenarnya terlalu besar untuk ditinggali seorang diri.
Itulah yang baru saja diceritakan Gerd kepadaku di telepon. Seperti yang sudah pernah kukatakan kepadamu, Gerd lahir dan dibesarkan di desa ini. Dia kenal dengan hampir seluruh penghuni desa ini, kecuali tentu saja pendatang-pendatang baru, seperti keluarga Turki yang tinggal beberapa rumah dari rumah kami.

***
Pagi tadi, setelah kelima ahli waris Frau Hachenberger pergi, aku masih berdiri di pinggir jalan yang memisahkan rumahnya dengan rumah kami. Kudekati tanaman-tanaman muda yang ditanamnya beberapa minggu yang lalu. Ada daun-daun pohon stroberi, daun peterseli,  batang-batang bawang daun yang menyembul ke atas, daun-daun dari pohon tomat yang merambat pada tongkat-tongkat yang ditanamkan secara teratur pada jalur-jalur tanah. Ada juga daun-daun umbi kentang, dan berbagai macam bunga dengan warna-warna yang cerah.

Aku mendekati kebunnya dari sisi luar pagar rumah. Kujulurkan kepalaku agar dapat melihat dengan jelas. Di balik daun-daun stroberi ternyata telah muncul buah-buah kecil yang tak lama lagi pasti siap dipetik. Buah-buah tomat hijau muda terlihat seperti bergelantungan pada tongkat-tongkat penyangganya.
Siapa yang akan memetik semua hasil panen di kebun kecil itu nanti? Frau Hachenberger sudah meninggal dunia. Dia tidak akan bisa lagi menikmati hasil panen dari kebun yang dirawatnya sendirian selama ini.

Pikiran ini membuatku sangat sedih. Entah mengapa, aku merasa seperti kehilangan sesuatu. Tak akan pernah lagi kulihat dirinya bersandar pada jendela kamarnya pagi-pagi. Tak akan pernah lagi kulihat dia bercocok tanam di kebun kecil di pekarangan rumahnya. Tak akan pernah lagi kulihat dia menyingkirkan salju di pinggir jalan di depan rumahnya.
Ya, coba kamu ingat-ingat lagi. Aku sudah pernah bercerita kepadamu tentang dia beberapa bulan yang lalu, bukan? Pada musim dingin yang lalu, Frau Hachenberger masih membersihkan salju yang menumpuk di pinggir jalan di depan rumahnya. Kamu tahu, di negeri ini setiap orang harus menyingkirkan salju di depan rumahnya untuk menghindari kecelakaan pejalan kaki lain yang melintas.

Jika seorang pejalan kaki tergelincir di depan rumah kita, karena kita lalai membersihkan salju, kita harus menanggung biaya pengobatannya. Jika tidak, kita bisa dituntut ke pengadilan. Ternyata, Frau Hachenberger sudah berusia 89 tahun waktu itu, saat terakhir kali aku melihatnya membersihkan salju di depan rumahnya. Bayangkan!
Bulan Desember yang akan datang seharusnya dia akan genap berusia 90 tahun. Waktu itu dia masih begitu kuat dan sehat. Tubuh kecilnya masih mampu mengangkat sekop besar pembersih salju dan menyingkirkan salju dari trotoar di depan rumahnya.
Terlebih lagi, itu semua dikerjakannya pagi-pagi buta di musim dingin pada suhu di bawah titik beku dan saat matahari belum terbit sepenuhnya. Memang, di musim dingin, matahari terasa seolah merambat sangat perlahan ketika terbit, dan seolah melompat jatuh sangat cepat ketika terbenam. Bisa jadi, itu hanya perasaanku saja.

Di musim semi seperti sekarang ini, matahari lebih lama menampakkan dirinya di langit. Sangat berbeda dengan di Jakarta, bukan? Di sana matahari selalu terbit dan tenggelam pada waktu yang hampir sama sepanjang tahun.
Ketika aku kembali ke rumahku setelah lama mempelajari kebun Frau Hachenberger, perasaan sedih seolah kehilangan sesuatu itu masih belum hilang. Kamu pasti akan mengatakan aku ini aneh.

Mengapa aku harus merasa sedih kehilangan seorang tetangga yang hampir tak kukenal dan hampir tak pernah bercakap-cakap denganku selain mengucapkan kata sapaan, seperti 'Hallo', 'Selamat pagi', atau 'Selamat siang' dan 'Selamat malam'?
Dari dapur aku dapat melihat bagian depan rumah Frau Hachenberger. Sambil mengeringkan peralatan makan yang sudah dicuci dalam mesin pencuci piring, aku menatap kembali kerai penutup jendela kamarnya yang tertutup dan akan tertutup untuk selama-lamanya.

Untuk selama-lamanya? Apakah kelima ahli warisnya akan membiarkan rumah itu berdiri kosong di sana untuk selama-lamanya? Mungkin mereka akan menjual rumah itu dan membagi rata hasil penjualannya. Mungkin pembelinya adalah seorang pemborong yang akan merobohkan rumah tua itu dan akan membangun sebuah rumah baru yang jauh lebih besar sehingga tidak ada lagi pekarangan, namun dapat disewakan sebagai beberapa apartemen kepada beberapa keluarga.
Lalu lambat laun orang akan melupakan Frau Hachenberger, hingga akhirnya tak akan ada lagi orang yang tahu tentangnya sama sekali. Bahwa dia adalah seorang perempuan penyendiri yang tetap bersemangat hidup hingga akhir hayatnya.

***
Aku tak pernah mampu membayangkan apa yang pernah ada dalam kepalanya semasa dia masih hidup. Apakah Frau Hachenberger dulu bahagia? Bisakah kita bahagia hidup sendirian tanpa anak atau suami, namun hanya dengan bercocok tanam setiap musim panas dan membersihkan salju setiap musim dingin?

Aku tak pernah mampu membayangkan dirinya sendirian berdiri di depan kompor di dapurnya – yang tak pernah sekali pun kulihat – memasak makanan dengan hasil panen dari kebun pekarangan rumahnya, dan memakan masakannya sendirian sepanjang hidupnya.

Ya, aku belum pernah sekali pun memasuki rumah Frau Hachenberger, walaupun sudah bertetangga dengannya enam tahun lamanya. Sejak aku menikah dengan Gerd dan tinggal di rumah ini, tak pernah kulihat ada perubahan di rumah Frau Hachenberger.
Setiap pagi aku selalu melihatnya bersandar pada jendela kamarnya, seolah-olah menyapa tanaman di pekarangan kebunnya. Sepanjang siang dia bercocok tanam di kebunnya. Sore hari dia berjalan-jalan keliling desa. Setiap hari Minggu pagi, dia pergi ke gereja.

Pulang dari gereja, dia selalu berdiri di depan rumahnya, menunggu dijemput oleh salah seorang keluarga jauhnya untuk menikmati makan siang dan minum kopi di sore hari bersama mereka. Sebelum malam tiba, Frau Hachenberger sudah kembali ke rumahnya.
Pada musim dingin dia selalu membersihkan salju di depan rumahnya. Tak pernah kulihat dia berlama-lama mengurung diri di dalam rumahnya. Perempuan tua bertubuh mungil itu begitu penuh semangat hidup, hingga tiga minggu terakhir di pengujung hayatnya.

Dan aku? Kamu selalu mengatakan padaku agar aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah dan berkumpul dengan teman-teman agar tidak merasa kesepian selama kedua anakku berada di taman kanak-kanak dari pagi hingga sore atau pada malam hari. Apalagi jika anak-anak sudah tidur dan Gerd sedang tugas ke luar kota atau ke luar negeri.

Seperti yang sudah kukatakan kepadamu, aku hampir tak punya teman di sini. Memang aku mengenal beberapa ibu dari taman kanak-kanak tempat kedua anakku bersekolah. Aku cukup dekat dengan dua orang dari mereka. Beberapa kali mengunjungi atau mereka datang ke rumahku.

Tapi, sesungguhnya pokok pembicaraan kami hanya seputar masalah anak-anak. Kami pun pernah sekali-sekali berbicara dari hati ke hati, terutama dengan Sabine yang sering kali bertengkar dengan ayah dari anaknya. Setiap kali menerima telepon dari Sabine, aku tahu bahwa dia baru saja bertengkar. Tapi, aku hampir tak pernah bercerita kepadanya tentang perasaan dan pikiranku seperti aku bercerita kepadamu melalui surat ini sekarang.

Pernah sekali aku bercerita kepada Sabine tentang ketakutanku. Waktu itu aku baru saja mendengar berita kematian suami Endah yang terjadi sangat tiba-tiba. Seperti Gerd, suami Endah juga orang Jerman. Dia terkena stroke, lalu langsung meninggal dunia.

Kepada Sabine, kukatakan bahwa aku sama sekali tak tahu apa yang akan kulakukan jika Gerd meninggal dunia. Aku tak tahu, apakah aku akan tetap tinggal di desa ini dan membesarkan kedua anakku, atau akan pulang ke Jakarta. Bagi kedua anakku, 'pulang' adalah kembali ke rumah kami di desa ini, di depan rumah almarhumah Frau Hachenberger. Bukan ke Jakarta. Dapatkah kamu menduga reaksi Sabine ketika kuceritakan kepadanya tentang ketakutanku itu? Dia tertawa.

Ya, bayangkan! Sabine tertawa lebar sambil berkata, “Kamu ini aneh sekali ketakutan akan suatu hal yang belum terjadi.” Itu adalah pertama kali dan terakhir aku bercerita kepada Sabine tentang kekhawatiranku. Sabine tak akan pernah mengerti perasaanku. Dia tidak pernah mengalami apa yang kualami sekarang: tinggal di negeri orang.

Kamu selalu mengatakan, betapa beruntungnya aku bisa tinggal di negeri orang. Di mana semua peralatan rumah tangga serba canggih, sehingga kita bisa mengerjakan segala sesuatunya dengan mesin, dan tidak lagi membutuhkan tenaga kerja pembantu. Ada mesin pencuci piring, mesin pencuci baju, mesin penyedot debu. Tapi, semua itu justru menambah dalam kekosongan di hatiku.

Di Jakarta, kekosongan itu memang sudah ada, tapi tak sedemikian dalamnya karena tertimbun oleh keramaian orang di sekeliling kita. Di mana-mana ada orang: di kantor, di pasar, di jalanan, di rumah, bahkan di dalam kamar tidur kita. Selain itu, aku selalu sibuk bekerja dari pagi hingga sore, bahkan hingga malam, untuk menghindari macet.

Tapi, di sini? Aku seorang ibu rumah tangga. Ijazah sarjana sastra Inggris dari sebuah universitas swasta ternama di Jakarta hampir tak berlaku di sini. Aku tidak bisa melamar pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasiku. Terlebih lagi, kesibukan mengurus dua anak dan pekerjaan rumah tangga cukup memakan waktu.

Di sini semua kulakukan sendirian. Tak ada orang di jalanan yang menyapa dan bertanya dari mana dan hendak ke mana. Tak ada orang di rumah yang masuk ke dalam kamar tidurku begitu saja jika aku sedang menangis diam-diam entah mengapa.

Apakah Frau Hachenberger pun sering menangis diam-diam di kamarnya, tanpa tahu sebabnya? Aku tak tahu. Aku tak akan pernah tahu. Frau Hachenberger sudah mati sekarang. Tapi, tahukah kamu, sebelum mulai menulis surat ini kepadamu, aku telah menangis diam-diam di kamarku? Sendirian. Menangisi, entah apa.


¹'Frau' adalah sapaan yang ditujukan kepada seorang perempuan yang sudah menikah atau yang lebih tua atau yang dihormati.


***
Pemenang 1 Sayembara Cerpen Femina 2012
Poppy Siahaan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?