Fiction
Terdakwa [5]

27 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

Siapakah pembunuh Leonard Pearson?

Aku menatapnya. Sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakannya.
”Ah!” katanya. Ia berbalik cepat dan berkata, ”Aku rela mati demi Durkheim.”

”Oh .…”

”Kau pikir aku tak akan membunuhmu?”

”Tidak. Maksudku ya, tapi aku harap ….”

”Aku rela mati demi Durkheim,” katanya lagi. ”Dan kau membuatnya meringkuk di penjara gara-gara suamimu? Kau pikir apa yang akan kulakukan?”

Aku tak yakin mesti menjawab apa, apakah mati atau bunuh aku. Karenanya kucoba untuk mengulur percakapan. ”Itulah sebabnya mengapa aku ingin bicara denganmu. Aku tak pernah meneleponnya. Aku bahkan tak pernah tahu tentang dia.”

Ia menekan senjatanya keras-keras di payudaraku.

”Ow!” aku mundur.

”Maksudmu dia berbohong?”

”Ow! Tidak. Aku tak tahu.”

Amelia meludah. ”Tolol, kau. Untuk apa dia berbohong? Kenapa? Kalau kau tak meneleponnya, untuk apa dia mendatangi rumahmu?”

Air mataku merebak, kulihat wajahnya yang penuh dendam. Terasa darah mulai mengering di daguku, membuat rahangku terasa kaku.

”Betul, tak masuk akal ya?”

”Keluar,” perintahnya. ”Keluar sebelum kubunuh kau.”

Terbatuk-batuk, sambil mendekap dada, aku keluar.

Bob Wichell mengangkat tangan tinggi-tinggi kemudian menjatuhkannya ke pangkuan, menimbulkan suara keras. ”Bagus! Bagus!” Kami berada di kantornya. Aku meneleponnya, meminta bertemu dengannya sebelum sidang dimulai kembali. Kurasa ia perlu tahu apa saja yang terjadi. Ia berjalan cepat ke arah jendela, kepalanya menengadah menatap langit biru pagi itu. ”Bagaimana sih kau ini? Kau tahu, juri akan berpikir apa kalau tahu apa yang kau lakukan? Griffin pasti memberitahukan Durkheim mengenai kedatanganmu dan kalau jaksa penuntut tahu akan menggunakan informasi tersebut…”

”Aku mendatanginya hanya untuk bicara,” jelasku setegas mungkin.

Ia mengangguk. ”Ya, ya … pengacara tak akan suka melihat luka itu…” Ia memandangku, terlihat putus asa. ”Mungkin kalau juri melihatnya mereka akan berpikir kau mencoba bunuh diri dan merasa kasihan kepadamu.”

”Entahlah. Amelia Griffin lebih mengenal Durkheim daripada siapapun. Dan ia mengatakan sesuatu yang sangat penting. Katanya tak masuk akal kalau Durkheim berbohong. Tak masuk akal, Bob. Untuk apa ia berbohong?”

Ia tertawa. ”Oh, itu informasi yang sangat penting, berguna bagi kita. ‘Bapak-bapak dan ibu-ibu, saya sampaikan bahwa saksi yang diajukan penuntut tak mungkin berdusta, jadi tentulah beliau mengungkapkan yang sebenarnya. Karena itu, bunuhlah klien saya. Terima kasih.’”

”Tapi, Bob, kalau dia tak berbohong —dan kalau aku tak berbohong— berarti ada orang lain yang membawa uang itu ke stasiun malam itu. Maksudku, seseorang yang berpura-pura sebagai aku….”

Tapi ia sudah tak tertarik lagi. Dijatuhkannya tubuhnya di kursi sambil menghela napas.

”Well, bisa saja seperti itu, kan,” kataku lirih.

"Sebutkan nama lengkap Anda,” kata juru sita.
”Terence Wile.”

Juru sita mundur dan penuntut menuju tempatnya.

”Mr. Wile, bisakah Anda sebutkan apa pekerjaan Anda?”

”Saya pegawai akunting di Essex County Bank.”

Aku mengenalinya. Ia pria yang tampan, seperti bintang film. Dengan setelan jas yang kelihatannya terlalu mahal untuk ukuran pegawai dengan gaji rendah, ia terlihat rapi dan kekar.

Penuntut menunjuk ke arahku. ”Anda kenal wanita itu, Mr. Wile?”

Aku duduk tegak dan menatapnya. Lukaku terasa pedih.

Wile memandangku sekilas dengan mata birunya. ”Ya, Pak, saya mengenalnya,” sahutnya. ”Itu Victoria Pearson. Nasabah di bank kami.”

”Anda sering membantu Mrs. Pearson?”

”Tidak sering, tetapi saya membantunya waktu beliau membuka account baru sekitar dua bulan lalu waktu beliau pindah ke sini. Saya menyapanya ketika beliau masuk. Saya membantunya juga ketika beliau menutup account-nya.”
”Oh, begitu. Kapan itu terjadi?”

”Tanggal sepuluh Juni.”

”Anda ingat tanggalnya?”

”Berkali-kali saya ditanya mengenai itu – saya sudah mengeceknya. Tetapi ingatan saya cukup baik.”

Bob menyatakan keberatan atas keterangan mengenai ingatan tersebut namun ditolak oleh hakim. Penuntut meneruskan bertanya, ”Mr. Wile, bisakah Anda mengingat kembali hari ketika Nyonya Pearson menutup account-nya? Apa yang Anda ingat?”

”Nyonya Pearson datang dan duduk di meja saya. Saya ingat, beliau terus menunduk. Saya tak menatapnya karena dari berita-berita saya tahu beliau sedang menghadapi persoalan - saya tak ingin mempermalukannya. Katanya, beliau ingin menarik semua uangnya. Lebih dari 21.000 dolar. Anehnya, beliau minta, setengah dari jumlah tersebut dalam bentuk tunai.”

”Beliau meminta lebih dari 10.000 dolar tunai?” si penuntut menekankan.

”Ya, katanya, beliau akan membeli perlengkapan komputer dan akan lebih murah jika dibayar tunai.”

”Oh, begitu. Apakah itu aneh?”

”Tentu saja.”

”Mr. Wile, apakah Anda yakin bahwa Nyonya Pearson lah yang mendatangi Anda?”

Laki-laki itu memandangku sejenak. ”Ya,” katanya. ”Beliau bahkan mengenakan baju yang sama seperti hari ini.”

Semua orang dalam ruang sidang menoleh ke arahku. Aku mengenakan gaun garis abu-abu rancangan Donna Karan.

Jaksa penuntut melanjutkan. Terence pun terus memberikan kesaksian. Sementara aku memikirkan tentang gaunku, teringat waktu aku mengenakannya ke kamar jenazah dan bersyukur karena mengenakan baju yang terlihat glamor itu saat bertemu Gloria.

Perlahan aku mengangkat kepala, menoleh ke arah Bob yang duduk di sampingku. ”Apa?” bisiknya.

Kubasahi bibirku. Di telinganya kubisikkan: ”Gaun ini ada di laundry pada hari itu.”




Penulis: Andrew Klavan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?