Fiction
Terdakwa [2]

27 May 2012



<<<  Cerita Sebelumnya


Aku tertawa.

Zelman tersenyum dan menganggukkan kepala. ”Pertanyaan konyol, Jake.”

”Durkheim,” tiba-tiba terlintas dalam ingatanku. ”Itu namanya.”

”Durkheim?” tanya Zelman. Ia sedikit mendekat ke arahku. MacGowan berdiri tegap, tak lagi bersandar.

”Ya,” sahutku. Aku merasa gugup, bergantian memandangi kedua laki-laki itu. ”Dia bilang … jangan main-main dengan Durkheim.”

”Cocok,” kata Zelman kepada MacGowan yang menganggukkan kepala.

”Kenapa?” tanyaku. ”Siapa Durkheim?”

Zelman menghela napas panjang. ”Durkheim itu pembunuh.”

Tentu saja selanjutnya banyak reporter datang. Rasanya beberapa bulan belakangan ini kerjaku hanya meladeni para reporter itu. Aku bahkan mulai mengenal beberapa di antara mereka.

”Tapi Nyonya Pearson, kalau Anda tak mau bicara, bagaimana kami bisa menulis cerita dari sudut pandang Anda?”

”Tapi Nyonya Pearson, masyarakat berhak tahu ceritanya.”

”Tapi Nyonya Pearson, ini merupakan berita penting!”

Brengsek! Pekerjaan mereka hanya mengejar-ngejar aku ketika suamiku meninggalkanku. Salah satu dari mereka bahkan bersembunyi di bak sampah agar dapat memotretku dengan pakaian rumah; satu lagi berteriak di jendela rumahku, ”Anda mau merebutnya kembali?”

Memang, masyarakat berhak tahu. Akhirnya aku pun meninggalkan rumahku. Seharusnya aku tetap tinggal di Hendersonville. Pengacaraku, Abel Hirsch, mengatakan, tak baik kalau aku meninggalkan tempat itu, apalagi menjelang sidang kasus perceraianku. Namun aku tak sanggup dikelilingi para reporter yang ingin tahu soal perkawinanku.

Itulah sebabnya mengapa aku pindah ke Hillside, menempati rumah kecil yang menghadap sungai. Ini merupakan daerah tempat tinggal para seniman terkenal dan para eksekutif muda. Tak seorang pun mengenalku.

Menyebalkan, akhirnya pers menemukan juga persembunyianku.

Mereka berkerumun di kantor polisi ketika aku berbicara dengan Detektif Zelman. Ada ratusan wartawan. Ketika Detektif Zelman membawaku keluar hendak mengantar pulang, para pemburu berita itu mulai berteriak.

”Apakah Anda tertuduh, Nyonya Pearson?”

”Apakah Anda menuduh Gloria Taylor?”

”Berapa banyak warisan Anda?”

Dan kemudian, beberapa di antara mereka memanggilku dengan kata-kata kotor, berharap agar aku menoleh sehingga bisa memotretku. Tapi aku sudah berpengalaman. Aku berjalan lurus, sementara Detektif Zelman dan mitranya mengawalku menuju mobil mereka.

Pada hari yang sama mereka menahan Durkheim. Ia tinggal di Pinewood. Menurutku, aneh. Tempat itu merupakan daerah pinggir kota berkelas menengah dan cukup terpandang. Kata mereka, Robert Durkheim memang cukup terpandang. Ia memotong rumput di halaman rumahnya setiap minggu. Setiap hari ia berangkat kerja dengan jas dan berdasi. Kadang-kadang ia bahkan membuat barbekyu di halaman rumahnya walau tak seorang tetangga pun pernah diundangnya. Beberapa wanita di kompleks Pinewood merasa, wanita yang tinggal bersamanya, Melly —Amelia Griffin— bukan istri sahnya. Namun sekarang ini tinggal dengan wanita yang bukan istri sah tak dianggap sebagai tindak kriminal. Para tetangga cukup terkejut melihat polisi mendatangi rumah laki-laki itu.

Aku sudah membaca beritanya dan melihat siaran televisi juga. Namun aku gemetar mendengar bahwa Detektif Zelman mendobrak pintu dengan menyorongkan senjata. Wanita itu, Amelia, mengunci diri di kamar mandi dan menembakkan senjata menembus pintu. Peluru itu menyambar telinga Zelman. Sekitar lima menit Zelman berusaha membujuk wanita itu agar menyerahkan senjata kekasihnya dan memintanya keluar.

Sementara Durkheim sendiri mereka temukan tengah dengan tenang berbaring di tempat tidurnya di lantai atas. Ia hanya memakai celana dalam sambil merokok.

Keesokan paginya, ketika bangun tidur, terlihat wartawan di mana-mana. Terpaksa harus kucabut saluran telepon dan menjauh dari jendela. Aku tak mau membuka pintu karena mereka menyamar sebagai pengantar bunga atau tukang pos. Zelman dan MacGowan terpaksa menggedor-gedor pintu dan berteriak di jendela kamar mandi sampai aku mengenali suara mereka.

”Maaf, mereka menyebalkan,” kataku. Aku tergagap dan kebingungan. Kulitku berbintik-bintik dan mataku bengkak akibat menangis. ”Di belakang …” aku mempersilakan mereka masuk, ”ada ruang di mana mereka tak bisa melihat kita.”

Aku duduk di kursi dengan gugup, semetara Zelman duduk di lengan kursi. MacGowan berdiri di samping televisi.

”Maaf,” kataku lagi sambil meremas-remas jemariku. Aku mengalihkan pandangan dari karpet ke wajah Zelman yang terlihat sedih. ”Aku tahu kalian sibuk, tapi, bisakah kalian mengusir mereka? Maksudku, para wartawan.”

Sejenak semua terdiam. ”Mungkin itu sulit dilakukan,” kata Zelman perlahan. ”Kami menangkap Durkheim tadi malam.”

”Ya,” kataku. ”Aku melihat di televisi dan membaca di koran pagi ini juga.”

”Saya mencoba menelepon Anda tapi tak diangkat.”

”Ya, para wartawan itu … maaf.” Aku tersenyum kecut. ”Aku terus-menerus mengatakannya.”

Detektif Zelman merundukkan kepalanya. ”Nyonya Pearson, satu hal mengenai Durkheim…”

”Ya. Dia pembunuh. Aku tahu itu.”

”Ya, tapi ia tak punya motif. Anda mengerti maksud saya?” Dan ketika aku menggelengkan kepala, ia pun menjelaskan. ”Ia pembunuh bayaran, Nyonya Pearson.”

Sejenak aku berpikir dan mulai mengerti. ”Maksudnya, kalian belum menangkap siapa yang menyuruhnya? Orang yang menghendaki kematian suamiku?”

”Benar,” jawab Zelman.

”Belum,” geram MacGowan.

”Well… mungkin kalau kalian tanya Durkheim…. Mungkin kalau kalian tawarkan sesuatu …. Mungkinkah?”

”Betul.” Zelman berdiri tegap. ”Sudah, Nyonya Pearson. Kami tawarkan penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.”

Saat itu, aku terasa melayang. Seperti ada lubang di udara, sehingga warna oranye bunga pada kain kursi bermotif terlihat memudar dan hijau daunnya memucat. Kepalaku berkunang-kunang.

”Durkheim mengaku,” kata Zelman. ”Ia ungkapkan semua.”

”O ya?” tanyaku dengan nada suara yang tiba-tiba meninggi dan menegang. ”Siapa? Siapa yang membayarnya?”

Zelman menghela napas perlahan. ”Katanya, Anda, Nyonya Pearson.”

Saat pengacara tiba, perasaanku hancur berkeping-keping. Dengan baju penjara, di kursi besi, tanganku tergeletak lemas di pangkuan. Ada sesuatu yang membangkitkanku ketika kulihat Abel Hirsch masuk, tetapi kemudian ia memperkenalkan koleganya, Robert Winchell. ”Ia ahli dalam urusan kriminal,” jelasnya.



Penulis: Andrew Klavan



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?