Fiction
Tarian Merpati [1]

15 Jun 2012


Selalu ada siang yang sama. Siang ketika burung-burung merpati menyembul dari balik pohon-pohon maple dan mematuki remah-remah di pelataran. Siang ketika hijau daun maple tampak kontras dengan langit yang memucat. Ini adalah musim semi, ketika siang mulai memanjang. Dan sesungguhnya, aku tidak terlalu menyukai siang. Karena siang selalu menghadirkan keramaian.

“Are you Philippine?” sebuah suara membuatku berpaling. Seorang pria muda yang jangkung. Rambutnya kecokelatan. Dan mata hijaunya seperti menari-nari jenaka. Entah berapa lama dia duduk di situ, di ujung bangku yang kududuki.

Aku menggeleng malas.

“Malaysian?”

Aku menampar mata beningnya dengan tatapan jengah. Aku orang Indonesia, dan kau mau apa? Seberapa pentingkah asal-usul bagimu? Tidak bisakah kita berdiam diri saja, tanpa mengetahui siapa dan dari mana kita?

Kami lalu terdiam, seperti tercekat di sudut rongga yang sunyi. Valerie, Valerie. Di manakah kamu? Lihatlah, aku gagal menyelami aroma keheningan yang pekat ini.

Pria kulit putih itu masih menatapku sambil menggoyang-goyangkan sepatu ketsnya di atas tumpuan lututnya yang menonjol kekar. Udara yang jernih mengambang di bola matanya yang redup dan hangat. Sesungguhnya dia menarik. Tetapi, apa yang berbeda dari setiap pria? Mereka punya keramahan yang menyembunyikan keangkuhan, kelembutan yang menyimpan kegarangan. Karena, mereka, sebenarnya tak benar-benar ingin singgah.

Tangannya mendekap lengannya, seperti mendekap keheningan. Betapa pucatnya tangan itu. Betapa liat otot-ototnya. Betapa mengerikannya.

Aku menggigil, seperti teringat sesuatu.

“Bruce...! Hei, kalian sudah saling kenal, ya?” Valerie muncul begitu saja dari satu sudut tanah lapang hijau yang membentang di hadapan kami. Mukanya kemerah-merahan, tapi berbinar riang. Rambutnya melayang dihempas angin, menyingkapkan anak-anak rambut di pelipisnya. Aku mengembuskan napas lega.

“Sebenarnya, kami belum saling mengenal,” sahut pria itu kalem.

“Come on, Rey,” Valerie mengedipkan mata ke arahku. Seperti biasa, aku tidak bisa menolaknya.

“Reyna,” sahutku pelan.

“Such a beautiful name!” pria itu berdecak kagum.

“She’s my cousin,” sambung Val riang. “Dia cantik, ‘kan?”

“Wow! I can’t believe it! Kalian begitu berbeda.”

“Baru enam bulan dia di sini. Dia murid tahun pertama,“ ulas Val lagi. Matanya mengedip-ngedip ke arahku, seperti berbisik, katakan sesuatu! Tetapi, aku diam saja. Aku begitu jengah, karena mata pria itu terus-menerus menelanjangiku. Kulirik Val. Dia menyodorkan seiris besar sandwich ke arahku.

“Lunch?” tanyanya pada Bruce.

“Thanks.”

“Val,” kataku setengah memelas, “kita pulang saja, yuk?”

“Kenapa?” Val membelalakkan matanya.

“I have a stomach-ache,” bisikku sambil meringis.

Val mengangkat bahunya, “Sorry, Bruce....”

Seekor burung merpati melintasiku ketika kami meninggalkan Bruce yang termangu di sudut bangku itu. Aku mengembuskan napas, seperti mengangkat beban berat dari dalam dada. Siang itu, aku kembali mengenal satu dari banyak pria. Begitu serupa.

Aku dan Valerie. Kami begitu berbeda. Aku adalah Pluto yang tenang dan temaram, dan dia adalah Venus yang hangat meletup-letup, siap meledak kapan saja. Aku dingin sebeku gunung, dan dia riang seperti ombak. Valerie, tubuhnya padat dan sintal. Kulitnya putih dan rambutnya bersepuh warna tembaga. Dia enggan berbahasa Indonesia. Tubuhnya, sebagaimana busana dan aksesori yang melilit tubuhnya, adalah tubuh Eropa. Otaknya, mungkin otak Amerika. Padahal, ibunya lahir di Jatinegara, dan bapaknya, seperti juga ibuku, lahir di Solo. Namun, Valerie lahir di Boston, dan tumbuh di Chicago, Meksiko, lalu Paris. Masa remajanya dihabiskan di Belanda hingga kini. Mereka pulang ke Jakarta sekali-sekali, karena bapaknya seorang diplomat. Valerie memiliki kemolekan, kecerdasan, dan kebebasan.

Sedangkan aku, selalu diusik mimpi buruk. Aku memiliki dua tahun yang hilang dalam kehidupanku. Dua tahun yang samar, karena memang aku sama sekali tak mengingatnya. Aku hanya ingat, dua tahun itu terlalu mencekam. Aku terbangun pada suatu pagi dengan tak bahagia. Seperti terlahir dari sebuah rahim yang asing. Seperti terlempar dari labirin tak bernama. Namun, ibuku menyambutku pada suatu hari, tersenyum bahagia. Aku tahu kau akan pulih, katanya. Dari mana aku, Ibu? tanyaku lugu. Hanya mimpi buruk, katanya. Tetapi, muka Ibu begitu pucat, tubuhnya begitu kurus. Aku hanya mencium bau petaka, pada raut muka Ibu, dan kerut-kerut di wajah Ayah.

Dan aku seperti orang asing yang dilontarkan oleh mesin waktu. Pasti aku berasal dari masa lalu. Karena, tiba-tiba aku mendiami sebuah rumah yang asing. Rumah tak kukenal, yang dihuni orang-orang yang kukenal. Kau ingat rumah kita dulu? bisik Ibu di telingaku, kamarmu yang berdinding biru pucat, yang dilapis kertas dinding motif kerang kesukaanmu. Kamarmu yang baru ini kami yang mendesain. Mungkin kamu tak suka, tapi kamu bisa mengubahnya. Yang jelas, semuanya lebih baik kini. Ya, rumah ini lebih baik.

Tentu saja, karena rumah yang dulu menyimpan petaka. Aku tak tahu petaka apakah itu. Tetapi, petaka itu kerap mengunjungiku dalam mimpi-mimpi aneh tak berbentuk. Sosok-sosok menyeramkan yang seolah akan mencekik dan membunuhku. Maka, aku membenci malam hari, karena kegelapan seperti menyembunyikan kejahatan.

Lalu ayah dan ibuku mengirimku ke sini, ke sebuah negeri yang musim seminya berhias tulip warna-warni, yang orang-orangnya merengkuh Indonesia sebagai nostalgia yang akrab. Om Danu, Tante Win, dan Valerie akan menjagamu, kata Ayah dan Ibu selalu.

Perjalanan yang terlampau mahal untuk melenyapkan kenangan sebuah petaka.

Aku menurut saja, tanpa bertanya. Meskipun aku tidak tahu, mengapa aku harus diasingkan, dan dijaga ketat. Tiba-tiba saja aku jadi membenci laki-laki. Semua laki-laki. Entah mengapa.

"Bruce itu baik, Rey. Baik... banget!” celetuk Val di sebelahku. Suaranya diiringi derap lirih kereta api. Di luar jendela, rumah-rumah pertanian dan kebun-kebun gandum seperti berpacu. Holandspuur di Den Haag dapat ditempuh hanya dengan empat puluh lima menit dari Amsterdam. Karenanya, aku tak ingin kehilangan pemandangan ini.

“Memang kenapa kalau dia baik?” mataku tak beranjak dari jendela.

“Dia mengagumi wanita Timur, wanita Indonesia. Katanya, mereka itu eksotis. Dia cuma mau berteman. Masa kamu keberatan?”

“Siapa bilang? Aku hanya tiba-tiba merasa sakit perut. Itu saja.”

Valerie menghela napas, embusannya terdengar berat di telingaku. Valerie, Valerie. Mungkin sosoknya tak lagi eksotis bagi Bruce. Dia sudah lebih Barat dari orang Barat sendiri. Aku tahu, dia tak perawan lagi. Dia sering berdalih lembur menyiapkan resital, padahal dia tidur dengan Martin. Om dan Tante Danu juga tak tahu bahwa pacarnya berganti-ganti. Valerie tahu, bagaimana memanfaatkan tubuhnya untuk sejumput kenikmatan, sensasi petualangan.

“Rey, kamu tahu, apa yang paling kamu inginkan sebagai perempuan?” tuturnya lemah.

Aku menatapnya. Sungguh, dari samping, siluet wajahnya bagaikan tarikan garis lukisan surealis. Begitu lugas, begitu artifisial. Begitu sulit untuk ditebak.

“Pengakuan, kesetaraan, atau penghargaan?” tuturnya lagi.

“Entahlah, Val. Mungkin perasaan utuh sebagai perempuan.”

Karena aku merasa kosong, dan kesepian.

“Kau tahu, kau butuh teman.”

Ya, tetapi bukan Bruce.

“Perasaan keperempuanan kita membutuhkan laki-laki, Rey....”

Udara beku, dibekap dinding beton lorong bawah tanah di luar jendela. Ternyata, aku masih menyimpan rasa jengah ini. Aku tidak genap sebagai perempuan, aku tahu itu. Namun, aku tidak membutuhkan laki-laki, kurasa. Sebagian dari diriku memang sudah hilang, sejak pertama kali aku menyadarinya.

From: Restati Widodo
To: reynanda@mailworld.com
Subject: Mama kangen, Rey!

Reyna sayang, apa kabar? Mama tidak sabar ingin bertemu denganmu. Meskipun kamu jarang membalas posting Mama, Mama yakin kamu selalu membaca e-mail Mama. Mendengar berita perkembanganmu dari Om Danu, Mama sangat bahagia. Hanya itu yang Mama harapkan. Bagaimana kuliah? Tahun pertama di konservatorium pasti sibuk sekali. Tentunya menyenangkan apabila kamu menikmatinya. Kapan resital pertamamu? Jangan ragu untuk memberi tahu Mama. Siapa tahu Mama bisa datang untuk memberi semangat. Salam peluk dan cium dari Papa. Doakan kami bisa menjengukmu musim panas ini. Jaga dirimu, selalu.

Tentu saja aku baik-baik saja Mama, selain mimpi-mimpi aneh dan pusing berdenyut di kepala yang kerap datang begitu saja. Aku tak tahu mengapa. Namun, rasa sakit itu terasa akrab, seperti menyeruak dari masa lalu.


Penulis: Sofie Dewayani
(Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber Femina 2002)





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?