Fiction
Tanggul Kali Bedog [3]

21 May 2012

<< cerita sebelumnya

Ana merasa telah berlaku tidak patut, tapi dia tidak tahu apakah perlakuan tidak patutnya itu tertuju pada seorang kawan lama atau sepenuhnya pada Heru. Diam-diam dia berharap Heru datang lagi di lain waktu, agar bisa menghadapinya dengan lebih baik. Kalau memang benar Heru akan mengajar di SMP itu, harapannya tidak berlebihan. Lalu, diingatnya wajah Heru, ketika pria itu menyebut mendiang istrinya.

Dia sudah meninggal.

Dalam pendengaran Ana, wanita itu belum meninggal. Dia masih hidup dalam suara suaminya. Masih terus hidup dalam hati yang penuh mencintainya. Seperti itu pulakah Soni mencintainya?

Ingatan Ana melayang pada suaminya dan hal itu membuatnya menengok jam dinding. Setengah enam lewat. Mungkin, Soni pulang telat lagi.

Ana mengernyit. Dia sebetulnya berulang kali mengingatkan Soni agar tak usah memaksa diri dalam bekerja. Jangan sampai suaminya jatuh sakit karena kelelahan. Apa sebenarnya yang dikejar Soni? Toh, saat-saat sulit ketika Soni berkeras membangun rumah sendiri (dia tak suka membeli rumah dari pengembang kawasan pemukiman), menyambar setiap peluang untuk menghasilkan uang, menghemat serta memperhitungkan pengeluaran sampai ke sen-sen terakhirnya, hingga membuat Ana pulang ke rumah orang tuanya, ketika tak tahan lagi dengan ‘kekikiran’ suaminya, sudah lama berlalu.

Sekarang ini Ana bersyukur dengan semua yang mereka miliki, termasuk penghasilan tambahan dari dua usaha wartel dan pusat fotokopi dan penjilidan yang lumayan besar, serta gaji rutin suaminya sebagai pegawai negeri sipil. Yang terpenting, suami serta dua orang anak yang sangat berharga.

Tapi, pemikiran Soni lain. Dia sering mengatakan, ”Biaya pendidikan mahal. Begitu juga semua sarana penunjangnya. Jika ingin memberikan yang terbaik buat anak-anak, kita tak boleh bermalas-malasan.”

Memang benar, pikir Ana, mengalah. Soni selalu berpikir jauh mengenai segala hal. Kadang, dia bersusah hati, karena merasa tak bisa membantu meringankan beban suaminya. Untungnya, jika memang bisa dibilang untung, Soni tak menginginkan bantuannya. Dia masih mampu menangani. Selain itu, katanya, Ana tak punya bakat bisnis. Terlalu murah hati. Itu memang benar. Jadi, Ana di rumah saja mengurus rumah dan anak-anak. Hanya, sesekali, bila terpaksa, ia menangani wartel.

Sesaat dia mempertimbangkan dengan ragu untuk menceritakan pertemuannya dengan Heru. Soni tak kenal Heru. Mungkin, dia akan bertanya-tanya, kalau suatu ketika melihatnya ngobrol dengan pria itu. Ana tidak khawatir suaminya cemburu. Soni bukan pria seperti itu. Lagi pula, dia tersenyum sendiri, apa yang harus dibuat cemburu dengan Heru?

Sekali lagi, dia membayangkan wajahnya yang tirus, rambut kusut, tubuh ramping sedikit terbungkuk diberati ransel, matanya yang serius dan dalam, dan suaranya... dan tertawanya.

Ana menghela napas panjang, lalu sekali lagi melepas pandang ke jam dinding. Beberapa menit baru saja lewat. Dia memilih sebuah kursi, duduk dengan kaki diselonjorkan lurus-lurus, matanya terpaku pada ujung jempol, yang mencuat dari sandal jepit yang bagian tumitnya telah menipis.

Ketidaknyamanan itu teralihkan oleh perasaan ringan yang menyembul dari dalam dirinya, menyebar lembut dan hangat ke seluruh tubuh. Sudah lama dia tidak bercakap-cakap dengan begitu gembira. Percakapan biasa dan kegembiraan yang biasa-biasa pula. Tiba-tiba dia ingat bahwa dia pun pernah muda, bebas, masa bodoh, dan gila-gilaan. Sekarang dia 35 tahun, dengan dua anak yang beranjak remaja, seorang suami, pekerjaan rumah bertumpuk-tumpuk, dan dua pegawai wartel, yang harus diperhatikan dan tanpa seorang pembantu pun. Ditambah lagi, tetang­ga yang harus diberi senyum, sejelek apa pun suasana hati saat itu. Jadi, apakah 35 memang sudah terlalu tua?

Pelangi di Tanggul Kali Bedog
Ada ribuan kupu-kupu kuning beterbangan di atas petak-petak sawah pada suatu siang terik di antara hari-hari basah bulan November. Entah dari mana mereka datang. Keindahan itu lewat tanpa permisi, sekejap, menakjubkan. Ada wewangian tertinggal di udara. Masih tersisa saat untuk dikenang, bagi mereka yang bisa menangkapnya.

Suatu hari Ana terbangun dengan perasaan menunggu sesuatu. Bertahun-tahun sudah dia tak lagi membuka mata dengan kegelisahan itu. Sesuatu akan terjadi. Hatinya perih oleh kesedihan yang tak terjelaskan. Dia menyalangkan mata, merasakan gerimis turun tanpa suara di luar jendela. Soni masih pulas di sampingnya. Disingkapnya selimut.

Pukul lima lewat beberapa menit. Tugas pagi menunggu. Menjerang air, nasi di magic jar harus diganti, menyiapkan teh Soni, sarapan untuk semua.... Hari kemarin dia bangun dengan kecepatan pentium generasi terbaru. Pagi ini prosesornya rusak. Dia ingin bergelung di balik selimut, membenamkan muka di bawah bantal, dan mengalirkan air mata yang tak dimengerti kenapa atau untuk apa. Dia sungguh-sungguh ingin menangis. Ada yang diharapkannya, begitu kuat menggigit hingga sakit hatinya. Hanya, dia tak tahu apa itu. Kesedihannya terasa sia-sia. Di sisi lain timbul keengganan yang mendekati ketakutan mempermainkan angannya. Kali ini Ana mengerti penyebabnya.

Sebulan berlalu sejak Heru muncul di pintu wartelnya. Sekarang dia tahu, paling tidak dua kali dalam seminggu Heru menelepon seseorang. Entah siapa. Pada awalnya, dia memang melakukan apa yang ingin dilakukannya. Keluar untuk menemuinya, lalu mengobrol sebentar mengenai hal yang tak penting. Tentang cuaca, tentang rumah pondokannya, murid-murid barunya, juga Kali Bedog di belakang rumahnya, dan pelangi yang kadang-kadang tampak melengkung di atasnya. Ana belum pernah melihatnya.

Lalu, suatu hari dia merasa, tanpa alasan jelas, lebih baik tak usah keluar menemuinya. Keputusan itu diambil tiba-tiba dan bertahan sampai saaat ini. Namun, bukan berarti dia tak melakukan apa-apa. Diam-diam dia selalu melihat lewat kaca gelap jendela ruang tamu pada jam-jam yang telah dihafalnya kedatangan dan juga kepulangan Heru.

Sambil berpura-pura membaca koran dia mengawasi pria itu menyandarkan motor di bawah pohon talok, lalu dengan langkah yang sekarang sudah dikenalnya benar, berjalan ke pintu wartel. Dia bisa mendengar, lebih tepatnya merasakan, pintu terbuka tanpa suara, melihatnya memilih bilik yang sebelah mana, masuk, memutar nomor, bahkan mendengar suaranya berkata, ”Halo....” Semua itu terjadi dalam kepalanya sendiri.

Lebih dari sekali Ana merasakan dorongan kuat untuk keluar, lalu tersenyum padanya, menyapanya dengan ringan, seperti waktu-waktu yang lalu. Hanya, kali ini dia akan menambahkan, ”Bagaimana kalau masuk dulu, aku baru saja membuat sus enak.” Mungkin Heru mau, mungkin pula tidak. Hanya memikirkannya saja sudah membuat perut Ana nyeri.

Kegembiraan yang samar meliputi hatinya, mendatangkan firasat tidak enak. Jauh sekali, entah di mana, dia pernah merasakan kegembiraan serupa itu dan rindu untuk menemukannya kembali. Tapi, dia tak berkehendak merasakannya dengan seorang pria yang bukan Soni. Suaminya. Ingin ditepisnya jaring yang mulai menggapai dari kejauhan sana. Namun, dia telah telanjur melihat ujung jalan itu. Bagaimana harus berpaling dari sana? Bagaimana? Ketakutan menggerusnya tanpa belas kasihan.

Tiga puluh menit setelah membuka mata, Ana menurunkan kakinya dari ranjang. Lantai sedingin es membekukan air matanya, sebelum sempat tertumpah. Jarum jam weker di atas meja rias membuatnya terbangun dari mimpi. Setengah enam lebih. Kalau tidak bergegas, tak kan ada sarapan untuk suami dan anak-anak. Sementara, kegelisahannya rontok. Dia menyisir rambut cepat-cepat, lalu bergegas ke dapur, sambil menguncirnya jadi ekor kuda.

Seperti waktu-waktu lalu, Ana masih seorang ibu, istri, manajer, sekaligus pembantu rumah tangga yang efisien. Hari ini pun dia melewatkan pagi dengan selamat. Siang, dia memasak seperti biasa. Memanggang kue. Menyiapkan makan siang. Menyetrika pakaian. Johan pulang. Asa menyusul kemudian.

Rutinitas seperti kemarin. Asa mengunci diri di kamar, adiknya sibuk dengan games. Sekali lagi Ana menyadari perasaannya saat bangun pagi tadi. Sambil mencuci piring, dia memikirkannya. Lalu, dia melihat, lewat jendela dapur, seekor kupu-kupu kuning berputar-putar di antara semak hortensia yang tengah berbunga. Hujan tengah hari tadi menyisakan butir-butir air serupa kristal di pucuk-pucuk daun dan permukaan kuntum bunga berwarna ungu muda. Matahari mengintip enggan dari celah-celah awan. Kupu-kupu itu terus menari, rupanya mengagumi pelangi yang terlukis di antara seribu kristal yang berserakan di bawah kakinya. Ana terus menatapnya.

Bertahun-tahun yang lalu dia pernah mengagumi pelangi. Sekarang pun mungkin masih. Hanya jam demi jam yang bergulir tanpa jeda, tak lagi mengizinkannya memikirkan hal itu. Entah sejak kapan memandangi pelangi jadi terasa mengada-ada, atau paling tidak, kekanak-kanakan.

Ana menaruh piring terakhir di rak, mengelap tangan, lalu melirik jam dinding. Dua empat puluh. Irama kerjanya hari ini lebih lambat dari biasa. Dia menjenguk ke ruang tengah. Johan terti­dur di sofa. Asa tak kedengaran suaranya. Sekali lagi dia melihat jam, mengigit bibir, lalu memutuskan. Ekor kudanya dia rapikan. Dia tidak berbedak. Tidak berganti baju. Lalu, keluar lewat pintu belakang.

Dia melintasi pekarangan belakang yang luas, menerobos kebun tetangga untuk memintas jarak, lalu sampai di sebuah lorong kecil. Diikutinya lorong yang menurun itu hingga ke ujungnya, lalu dia mendapati dirinya ada di bawah rumpun-rumpun bambu ori, yang berjajar memagari desa dari serbuan angin dan kunang-kunang. Di depannya terhampar petak-petak sawah menjelujur sepanjang tepian Kali Bedog, yang mengalir berliku-liku, mencari jalan untuk bersatu dengan ibu kandungnya di selatan, Progo. Ana mendengar suaranya yang mengarus tenang, meski belum melihat aliran airnya, yang pada musim penghujan ini jadi keruh kecokelatan. Dia melihat ke barat. Tak ada lengkung pelangi yang dicarinya.

Hatinya sedikit kecewa. Untuk beberapa saat yang hening, dia membiarkan dirinya diombang-ambingkan angin dengan pikiran tak menentu, tak ingin beranjak pergi, tak pula tahu apa yang di­tunggunya di sini. Rumput menggatalkan kakinya. Di seberang ada pria bercaping membungkuk di antara batang-batang padi muda. Belum pernah Ana merasa demikian kesepian.

Tak pernah ada alasan untuk itu. Empat belas tahun usia pernikahannya berlalu begitu padat, tak menyisakan waktu untuk merasa kesepian. Tahun-tahun sibuk, ketika dia harus membagi hidupnya antara diri sendiri, suami, mertua, dan kuliah, seakan baru terjadi kemarin. Kegelisahan untuk cepat memiliki rumah, bukan karena orang tua Soni kurang baik, tapi semata dia merasa akan lebih tenteram tinggal di rumah milik sendiri, juga masih segar dalam ingatan.


Penulis: Wahyuni Sayekti Kinasih
Pemenang Pertama Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?