Fiction
Sunting Suasa [1]

15 Sep 2015


SIRIH PINANG DALAM CARANO…
Pagi-pagi sekali Ibu sudah pergi. Bersama dengan beberapa tetua adat, mereka menemui orang-orang  yang akan membantu persiapan pernikahan Alma. Supaya jangan sampai ada tahapan yang terlangkaui, jangan ada nama kerabat yang lupa diundang.
Alma mengeluh dalam hati. Kenapa mereka demikian sibuk hanya karena seorang ingin menikah?

“Mereka melihat siapa keluarga kita. Siapa ninik mamak* kita. Kau harus pandai-pandai membawa diri setelah menikah nanti. Calon suamimu itu bukan orang sembarangan. Mereka berasal dari keluarga terpandang dan keturunan bangsawan. Kau sudah mengenal dia, bukan?”
Alma mendegub ludah kelat. Apakah dengan mengintip dari balik pintu, ketika orang tua dan calon suaminya bertamu memperkenalkan diri, bagi Ibu, Alma sudah dianggap kenal siapa laki-laki yang akan tidur di peraduannya nanti?
Oh, lihatlah perempuan ini, begitu berkuasa, begitu jumawa. Baginya, Alma tetaplah seorang bocah yang mesti diawasi agar jangan nakal dan berbuat salah. Ibu tidak peduli di kantornya Alma adalah seorang regional manager sebuah perusahaan produsen fashion ternama.

Semuanya telah diatur oleh Ibu. Apalagi Ibu didukung oleh mamak-mamak (paman) Alma. Dengan dramatis Ibu akan membawa-bawa keadaan dirinya sebagai janda. Hidup di kampung dengan anak perawan menjelang usia tiga puluh tahun yang belum menikah merupakan beban sangat berat bagi hidupnya. Menjadi beban pula bagi kaum kerabatnya. Sebab, perempuan yang cukup umur harus segera dicarikan jodoh.

Alma sudah melampaui itu semua. Dia terlalu jauh terbang dengan pekerjaan dan kariernya. Meski sebelumnya Alma bertengkar hebat dengan Ibu. Wanita itu jauh-jauh terbang dari Pariaman ke Jakarta khusus untuk membicarakan rencana pernikahan Alma.  
“Ibu, ini terlalu mendadak,” bantah Alma kehabisan upaya untuk menolak, meski dia tahu sia-sia. Ibu tidak menghiraukannya
“Ibu sudah memberi kabar kepada kamu, ketika Mande* Sarni mencarikan calon suami untuk kamu,” sahut Ibu. Alma terdiam. Pihak perempuan akan mengutus seorang tetua seperti Mande Sarni sebagai comblang yang mencarikan calon suaminya.
Alma tercenung. Pikirannya kacau saat itu. Berbagai hal bertentangan dalam batinnya. Dengan segala jerih payah yang diraihnya selama ini, dengan pergaulan dan jabatannya sekarang, tiba-tiba dia harus takluk dengan perjodohan yang dirancang oleh Ibu.
“Kami sudah menentukan hari baik untuk mengantar sirih pinang dalam carano*. Kamu bersiap-siaplah untuk mengurus cuti dari pekerjaanmu,” putus Ibu tak mau dibantah.  
Dalam hati Alma bergolak pemberontakan hebat. Dia memiliki rencana dan mimpi sendiri.

Kariernya sedang menanjak, dan yang sangat memberatkannya adalah hubungannya dengan Keenan. Lembaran daun sirih, selayang kapur, buah pinang dan getah gambir yang ditata sedemikian rupa dalam wadah kuningan bernama carano, telah menentukan garis hidupnya. Keluarganya akan meminang calon suami untuknya!
Ibu sepertinya tidak begitu peduli dengan raut Alma yang resah. Kemudian Ibu minta diantar ke rumah Mande Ros di Depok. Ibu tidak pernah mau menginap di apartemen Alma yang nyaman dan resik di Setiabudi. Alasannya dia tidak bisa bernapas tinggal di dalam kotak kaca itu.

SETINGGI-TINGGI BANGAU TERBANG…
Sekarang adalah pagi ke lima belas Alma berada di kampungnya. Sebenarnya dia merasa agak kurang enak badan. Tapi, Alma memutuskan untuk berjalan-jalan. Selama ini dia sibuk menerima kerabat yang bertamu dan mengurus segala administrasi pernikahannya. Dia ingin rehat dan butuh waktu sendirian.

Beberapa orang upahan sibuk menurunkan peti-peti berisi perlengkapan pesta. Tampak para perempuan sudah mulai mempersiapkan keperluan memasak. Wajan, dandang berukuran raksasa dan peralatan dapur sudah mulai dibersihkan. Mereka berceloteh dan bersenda gurau. Sepertinya perhelatan ini milik mereka pula. Apakah mereka pernah gundah ketika menikah bukan dengan kekasih hatinya?

Alma membalas sapaan mereka dengan wajah dibuat ramah. Dia hanya ingin segera lenyap ke dalam kebun liar di belakang rumahnya ini. Kemudian berjalan terus ke dalam hutan di pinggang bukit kecil tempat dia sering bermain dulu, mencari buah keramunting.
Udara hutan yang ringan membuat perasaan Alma tenang. Sesekali gemerisik daun-daun bergelombang ditiup angin pagi. Hutan ini masih seperti dulu. Pohon manggis, durian, nangka dan jambu berlomba-lomba mencari lahan hidup. Burung-burung bersiul diselingi jeritan monyet liar.

Semak-semak sikaduduk terbelit batang buah aceh yang menjalar di lantai hutan. Alma sedikit merinding ketika ingat buah aceh ini adalah makanan ular, demikian dulu yang disampaikan tetua ke dalam pikiran kanak-kanak mereka. Seekor kadal menyalip langkah Alma. Oh, kenapa sekarang semuanya terasa demikian melankolis?

Langkah Alma menuju sebuah tempat. Semoga telaga itu juga masih ada.
“Kau tahu, Keenan, di kampungku tidak ada kuburan suami dan istri yang berdampingan. Sebab, jasad pun masih milik kerabat masing-masing. Mereka akan menjemput jasad itu untuk dikubur  di tanah makam kaum mereka.”
“Kalau begitu menikahlah denganku. Aku berjanji kuburan kita akan berdampingan.”
Alma mengembuskan napas berat sambil menggeleng. Tangan kirinya mengelus cincin emas putih pemberian Keenan. Lelaki itu terlihat kusut. Sudah berapa hari dia tidak bercukur? Keenan baru saja selesai liputan ke Maluku.
“Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku menunggumu Keenan. Tapi penantianku telah selesai, ketika Ibu datang dengan perjodohanku. Aku ingin menampik, tapi aku tidak berdaya.”
“Aku mencintaimu, Alma. Kamu tahu, aku merasa sakit sekarang. Apakah kau ingin aku meminangmu saat ini?”
“Maafkan aku, Keenan. Aku tidak mampu mengabaikan Ibu. Terlalu berat beban yang akan Ibu tanggung bila aku berkhianat. Aku bisa pergi ke mana pun, tapi Ibu tinggal di kampung.”
“Alma, aku minta maaf terlambat mengatakan hal ini. Aku terlalu pengecut selama ini.”
“Keenan, meski aku mencintaimu. Aku harus kembali ke takdirku,” kata Alma seraya melepaskan cincin dari jarinya. Lantas menyelipkannya ke dalam genggaman Keenan yang lunglai.
“Di kampungku ada istilah, setinggi terbang bangau, pulangnya ke kubangan juga. Aku memilih menjadi bangau itu, Kenan.”
Alma berlari keluar kafe, tidak ingin menoleh lagi. Jalan Wolter Monginsidi cukup lengang karena hujan deras di senja itu. Air hujan membuat  Alma menggigil karena saat itu dia merasa hatinya telah dingin.

SEKUAT MENYUNTING SUNGGI.
Ibu menatap Alma dengan bangga. Matanya berbinar-binar. Penata rias khusus sudah siap melaksanakan tugasnya. Alma menekuri jari-jarinya yang berwarna merah setelah upacara malam bainai.

Kamar pengantin sudah dihias dengan kain-kain lembut dan kelambu berwarna pastel. Di tempat tidur terhampar jenis-jenis sunting berwarna emas berkilauan. Berbahan suasa, campuran emas dan tembaga.

“Kau akan memakai suntiang gadang sebelas lenggek dengan model suntiang kambang,” kata Ibu. Sepertinya Ibu lebih mahir dari penata rias. Alma hanya diam saja. Sambil membayangkan akan menyunggi beban seberat lima kilogram di kepalanya sehari penuh.
“Kau harus kuat. Jangan membuat malu dengan pingsan di pelaminanmu. Apa kata orang-orang nanti,” ucap Ibu membuat jerih hatinya. Alma tahu orang kampung akan mempergunjingkan pengantin wanita yang pingsan di pelaminan sebagai perempuan yang sudah tak perawan. Tentu Ibu yang jumawa tidak mau dibuat malu.
Setelah berdoa, penata rias mulai menggelung rambut Alma. Tangkai logam bungo sarunai mulai ditancapkan di bagian ubun-ubun Alma. Ujung-ujung yang runcing menusuk kulit kepalanya. Dia meringis menahan perih.

Tapi sepertinya penata rias itu tidak peduli. Wajahnya  dingin saja ketika mulai menancapkan batang logam lain bernama bungo gadang pada tingkat kedua. Air mata Alma meleleh menahan perih di kepalanya, demikian juga dijantungnya, saat tingkat ke-tiga ujung tajam logam kambang goyang terakhir ditusuk di lapisan  puncak kepalanya. Detik-detiknya makin dekat.

Sementara di luar kamarnya terjadi keriaan. Aroma makanan dari tenda dapur di halaman belakang menguar hingga ke kamarnya yang gemerlap. Para perempuan membantu memasak rendang di kuali raksasa. Gulai nangka muda yang bersantan kuning cerah menggelegak di tungku kayu yang lain.

 Asam pedas ikan tongkol, ayam singgang, daging kerbau gulai kurma, dan aneka lauk lain, berselang-seling dengan piring-piring panganan lain. Ditata sedemikian rupa dan saling tumpang di atas lembaran kain batik panjang, yang sebelumnya dialas dengan kain putih berbordir bunga-bunga kecil berwarna putih. 

Sementara itu kelompok musik tradisional talempong mengalunkan irama riang dan bersemangat. Menghantar hari yang cerah sepanjang pagi itu. Para tamu dan kerabat banyak senyum dan saling tertawa. Bocah-bocah entah datang dari mana bergerombol dalam permainan dan berlari-lari. Ketika merasa lapar mereka akan lari ke dapur tenda meminta makan. Meski bersungut-sungut tetua penjaga dapur akan melayani mereka juga.
Namun, Alma merasa sunyi dalam hatinya. Dia digiring pelan-pelan ke pelaminan yang megah. Dia harus tegar dan kuat seperti perempuan-perempuan yang pernah menjalani prosesi seperti dirinya. Tiba-tiba seorang penerima tamu datang kepadanya yang sedang merapikan posisi duduknya.

“Ada temanmu datang dari Jakarta,” kata penerima tamu itu. Topi songkok tingginya agak terkulai. Keenan tersenyum lebar dengan wajah penuh gejolak. Alma merasakan darahnya tersirap. Sekilas rasa panik melanda hatinya.
“Aku akan menjadi salah satu juru foto pernikahan kamu. Mungkin beberapa akan dimuat di majalahku,” sapanya ringan. Meski heran dengan kehadiran Keenan yang tiba-tiba, namun Ibu dan keluarga besar Alma memaklumi dan menerimanya. Keenan lantas melakukan tugasnya.

Alma gelisah menahan desir di jantungnya. Dalam hitungan jam, dia akan menjadi milik suaminya yang sah sepenuhnya. Dia bagai putri di menara berharap malam tak pernah datang. Tapi garis hidupnya berkata lain. Dia perempuan milik seseorang dengan peran yang menuntut untuk dipenuhi.

Kau harus kuat menyunggi sunting yang gemerlap indah berkilauan, meski kulit kepalamu tertusuk hingga berdarah. Bebannya membuat lehermu terbenam, namun dagumu tetap harus kau angkat. Kau tak boleh pingsan hingga malam menjelang. Kau harus tetap tersenyum dengan anggun. Meski nanti hidupmu tak selalu tenang tanpa gelombang. Dan dari rahimmu akan lahir anak-anak yang  meneruskan garis keelokan adat.

Keenan  makin sibuk berjalan hilir mudik dengan kameranya. Sedangkan Alma bertahan di pelaminannya, dengan badai bergolak di dadanya. Perlahan dan samar, tangannya mengelus perut. Janin ini mungkin berumur beberapa minggu. Kelak mewarisi siapakah janin ini? Sebab dia menetes bukan dari pucuk adat yang segaris.
Alma menghela napas dan kembali menyiarkan senyum. Sunting suasa yang bercahaya memantulkan seri di wajahnya, menjadikan ia serupa bidadari….(f)


********
Palris Jaya



Catatan:
-    Ninik mamak: Sanak kerabat keluarga dari Ibu
-    Mande: bibi
-    Carano: Wadah kuningan dengan desain tradisional
-    Malam bainai: Calon pengantin saling memakaikan pacar cina.
-    Suntiang gadang: Sunting besar
-    Lenggek: tingkat
-    Suntiang kambang: Sunting mekar
-    Bungo sarunai: Bunga serunai
-    Bungo gadang: Bunga besar





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?