Meningkatkan kompetensi diri dan ikut mempersiapkan diri dalam menghadapi persaingan global bukanlah pilihan, melainkan kondisi yang mau tidak mau harus dihadapi. Namun, Psikolog dari Universitas Tarumanegara, Roslina Verauli menambahkan, selain tergantung pada values of life, seseorang juga perlu mengevaluasi ulang tuntutan karier yang membuat waktu seakan terbang.Pertanyaan yang perlu kita tanyakan kepada diri sendiri adalah: “Apakah kita menikmati kesibukan itu?”
Menurut Vera, ada dua jenis time flies. Pertama, time flies yang meski berlalu begitu cepat, ia tetap memberikan makna yang mendalam dan membuat waktu itu begitu berharga. Kedua, time flies yang berlalu begitu cepat, namun tidak memberi kita pengalaman yang berarti. Akhirnya, kita suka bertanya-tanya: “Ke mana saja waktu yang sudah berlalu itu? Apa yang sudah kita lakukan di masa itu?”
“Orang yang menikmati kesibukannya dan tenggelam dalam pekerjaannya biasanya akan merasa waktu berlalu begitu cepat karena dia melakukannya dengan passion. Waktu berlalu dengan cepat itu ada dalam kontrolnya karena ia tahu pasti apa yang dilakukannya,” jelas Vera.
Hal ini berbeda dengan orang yang tidak menikmati pekerjaannya. Waktu yang dijalaninya terasa berlalu begitu cepat semata-mata hanya karena tumpukan kesibukan yang harus ia selesaikan dan itu terjadi di luar kontrol dirinya.
“Terkadang orang-orang seperti ini merasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan selanjutnya setelah ia menyelesaikan suatu pekerjaan,” lanjut Vera. Orang-orang ini sering kali merasa cemas dan insecure dengan perubahan yang terlalu cepat.
Ida melihat, ada faktor eksternal yang mendorong seseorang ‘menekan’ diri sendiri untuk mencapai karier yang gemilang. “Sebagai masyarakat dengan nilai kekeluargaan yang tinggi, ada tuntutan untuk membanggakan orang tua dengan pencapaian-pencapaian tertentu. Apalagi dalam masyarakat sosial kita, status sosial seseorang masih dinilai dari jabatan serta faktor material,” jelasnya.
Sehingga, tak jarang banyak orang yang tidak memedulikan seberapa passionate ia dalam bidang pekerjaan yang ditekuninya. Selama ia bisa memperoleh materi dan mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, kepuasan emosional dalam bekerja tak akan jadi prioritas.
Padahal, bagi orang-orang yang menikmati pekerjaannya, meski kehidupannya yang ‘berjalan’ begitu cepat, biasanya akan lebih mudah merasa sejahtera secara emosional. Jauh berbeda dengan orang-orang yang ‘tenggelam’ dalam kesibukannya semata-mata karena tuntutan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencahariannya.
Jika kita tergolong pada tipe yang kedua, Vera menyarankan untuk mengevaluasi diri dengan melakukan hal-hal berikut ini:
Sukakah kita dengan pekerjaan yang kita lakukan? Apakah kita punya passion di bidang itu? Karena, jika kita melakukannya semata-mata demi mendapat gaji, kemungkinan besar kita akan mudah tertekan.
Sukarkah kita berkonsentrasi atau melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati? Pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati dan konsentrasi akan memberikan makna yang lebih dalam. Jadi, cobalah untuk lebih berkonsentrasi dan melakukan pekerjaan Anda dengan totalitas.
Dengan passion dan konsentrasi, kita akan punya kontrol atas pekerjaan yang kita lakukan. Hal ini penting agar kita bisa memetakan mau ke mana kita melangkah dan membuat tiap tugas yang kita kerjakan menjadi pengalaman yang memperkaya diri.
Membuat tantangan diri sendiri, misalnya dengan menciptakan target-target atau feedback baru atas hal-hal yang kita lakukan.
Jadi, besarnya beban yang kita rasakan bukan tergantung pada beban pekerjaan, karier, atau proyeknya, tapi pada bagaimana perasaan kita terhadap pekerjaan itu. Ini bukan masalah seberapa banyak time flies yang sudah kita lewati, tapi seberapa banyak pengalaman dari time flies itu yang sudah kita serap.
