Fiction
Sewangi Alamanda [1]

5 Aug 2013


“Sudahlah, Nak….Ayo kita pulang!”
Ambu menyentuh lembut pundakku. Aku masih duduk terpekur. Ambu mengulangi kembali kata-katanya. Kuusap sebilah papan yang bertuliskan nama istriku: Miranti. Mataku masih basah. Seorang lelaki baru saja menangis karena tak mampu merebut belahan jiwanya dari cengkraman maut. Seorang lelaki yang kalah dan tidak memiliki siapa-siapa. Dan itu adalah aku!

Kuremas bunga yang memenuhi gundukan tanah di hadapanku. Apa pun yang aku lakukan, tak ada yang bisa mengembalikan dia padaku! Mengembalikan masa-masa bahagia yang pernah kami alami bersama. Tahun-tahun penuh keceriaan dan segalanya…dan segalanya! Aku berteriak. Para pelayat, bahkan orang tua Ranti yang sudah melangkah jauh meninggalkan area pemakaman, menoleh. Ambu cepat-cepat menggamit lenganku. Limbung aku mencoba berdiri. Serasa ada sesuatu yang berat membebani tubuhku, hingga langkahku terseok-seok patah.

Berhari-hari kemudian, tak ada yang kulakukan. Kerjaku hanya duduk termenung di teras depan rumah ibuku. Teras yang tak begitu luas, hanya sekitar dua kali dua setengah meter. Ada tiga kursi rotan di situ. Dua yang memakai sandaran, satunya kursi bulat biasa. Sebuah meja kecil berada di antara kedua kursi tadi. Pergola yang teduh dirambati alamanda, menebarkan kesejukan ke dalam teras. Di bawahnya ada tembok pendek melintang yang bisa dipakai duduk-duduk. Lengkungan pergola yang mengarah ke taman, meneduhi sebagian kolam ikan. Aku sering duduk di kursi yang merapat ke tembok pemisah dengan rumah tetangga. Dekat celah selebar badan, menuju kolam.

Aku hafal jumlah semua ikan-ikan di kolam, dan sekarang aku mulai menghitung jumlah bunga alamanda yang tengah bermekaran. Dulu, istriku menyeteknya dari sini, lalu menanamnya di pergola halaman rumah kami. Rumah yang teduh, halaman kecil yang dipenuhi beragam tanaman, juga seorang istri yang hangat dan selalu ceria. Sebuah rumah biasa yang terasa menjadi rumah mewah, karena memiliki bak mandi sederhana yang sengaja dibuat untuk istriku. Entah bagaimana keadaan rumah itu sekarang, karena sudah lebih dari sebulan aku tinggal di sini. Tangis bayi menyentak lamunanku. Aku berpaling.

Ambu berdiri di belakangku. Tangisan bayi itu masih terdengar, meski tak sekeras tadi.  
“Idham, susu bayi sebentar lagi habis. Tolong cepat belikan, Nak!”
Aku tak menjawab, hanya bangkit dari dudukku. Lalu berjalan bagai robot. Kalau saja Ranti masih ada, bayi itu tak perlu minum susu formula tapi ASI yang lebih bergizi. Ah… aku masih belum bisa menerima semua ini, termasuk menerima kehadiran bayi itu. Bunga cinta kasih kami sekaligus kepanjangan tangan sang maut yang merenggut Ranti dari sisiku!
           ****
Seminggu sudah aku membiarkan hidupku tak karuan, tak lebih seperti tanaman. Makan, minum, mandi dan termenung seharian di teras rumah. Telepon dari Sandra, atasanku, membuatku tersadar bahwa aku masih memiliki sisi kehidupan yang lain. 

 “Kapan mulai ngantor?” ucapnya tanpa basa-basi. Sandra memang selalu begitu, to the point. Kami berteman sejak SMA, bahkan kuliah di jurusan yang sama. Nasib baik memang sedang berpihak padanya, dia bos, aku bawahannya.
    “Besok…” jawabku asal-asalan.
    “Betul ya, besok. Kamu kebagian wawancara eksklusif Tati Sumirat.”
    Tati Sumirat adalah penari topeng Priangan termashur yang sudah melanglang buana. Dia seangkatan dengan maestro tari topeng Cirebon Keni Arja dan penari topeng legendaris Mimi Rasinah yang berasal dari Indramayu itu.   
    “Kenapa harus aku?”
    “Off course, kamu yang paling fasih berbahasa Sunda di antara kami. Bahasamu paling halus dan bagus!”
    Hening sesaat, lewat telepon genggam kutangkap suasana kantorku. Sibuk dan berisik.
    “Kok, diam?”
    “Memberi kesempatan padamu untuk menikmati pujianku!”

    Aku hanya tersenyum hambar. Senyum pertamaku setelah satu minggu terakhir. Namun sayang, atasanku yang cantik tak bisa menyaksikan senyum bersejarah ini.
    Sandra orangnya kelewat serius dalam hal pekerjaan, tapi dia pandai melontarkan humor-humor kecil yang memancing senyum. Aku suka menjadi rekan kerjanya, karena ia piawai menyemarakkan suasana. Tapi jangan ditanya kalau soal pekerjaan. Dia disiplin dan punya kadar loyalitas yang tinggi, baik kepada perusahaan maupun rekan kerja. Uh… tiba-tiba aku jadi rindu suasana kantor!

    “Ditunggu ya besok, jadwal wawancaramu jam sepuluh!”
    “Hmm….. bagaimana besok deh….”
    “Serius! Kalau tidak bisa, aku kasih ke Fitri…”
    Seperti biasa, Sandra selalu berhasil menggiring seseorang untuk mengiyakan keinginannya. Sejak SMA ia populer dengan sebutan “Miss Persuasive.” Pak Arif si Guru Killer pun bertekuk lutut padanya. Ia berhasil membujuk guru galak itu mengurangi hukuman yang ditimpakan kepada kami. Satu kelas murid pendosa yang kabur nonton Harry Potter rame-rame, ketika pak guru terlambat hadir.

                        ****
 Hari segera menjadi malam. Aku mengunci diri di kamar. Kunyalakan laptop, kubuka file foto-foto saat kami berbulan madu. Kubiarkan diriku tenggelam di antara ratusan foto yang mengabadikan momen terindah itu. Inilah yang aku lakukan setiap malam, sejak Ranti meninggalkan diriku. Ranti yang lembut dan penuh perhatian. Ranti yang hangat melenakan.

Sayang, foto-foto pernikahanku dengan Ranti tak ada dalam laptop-ku, tapi tersimpan dalam komputer yang ada di rumah kami dan belum sempat kupindahkan ke dalam flash disc. Ya, menjelang kelahiran bayi kami, Ranti sengaja kubawa ke rumah Ambu. Aku takkan tega membiarkan ia berdua, hanya dengan pembantu, di rumah kami yang letaknya di pinggir kota. Agak terisolasi memang, karena hanya ada satu jalan utama yang menghubungkan perumahan itu dengan jalan raya.

Aku khawatir, bila tanda-tanda kelahiran itu tiba aku sedang tidak ada di rumah. Jarak rumah kami ke rumah sakit terdekat lumayan jauh, sekitar tiga kilometer. Perumahan kami masih tergolong baru, jadi wajarlah kalau penghuninya masih sedikit. Karena itu, jangan terlalu berharap ada tetangga yang bisa menolong Ranti dalam keadaan darurat. Di rumah Ambu, aku bisa meninggalkan Ranti dengan perasaan aman. Selain Farid, keponakan almarhum Abah yang ikut tinggal di sana, kami pun memiliki banyak tetangga yang baik dan ramah. 

Ranti mengalami bukaan kedua saat aku masih dalam perjalanan pulang dari Banten. Tiga jam perjalanan lagi, tapi hatiku sudah kebat-kebit tak karuan. Lewat ponsel milik Farid, Ambu mengabarkan bahwa istriku sudah melahirkan. Lebih cepat lima belas hari dari perkiraan dokter.

Waktu bagai bara dan siap menjadi api yang besar lalu membakar. Sepanjang koridor rumah sakit aku berlari. Setiap milimeter jarak yang kutempuh serasa bertambah panjang dua kilometer. Kudapati Ranti tergolek lemah di ruang ICU. Uraian Ambu dan dokter tentang keadaan Ranti, hanya sampai ujung daun telingaku. Aku tak menyimak kata-kata mereka sepenuhnya. Pendarahan hebat. Hanya dua kata itu yang dapat kusimpulkan.

“Kang Idham…” desah Ranti lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara dari layar monitor yang merekam denyut jantung dan gerak napasnya. Perasaanku berkecamuk hebat saat melihat kedua layar monitor itu. Kubelai wajah Ranti sepenuh hati. Rambutnya yang legam masih menyisakan wangi. Dia berusaha tersenyum. Kugenggam jemarinya, kukecup tangannya. Dingin. Kontras dengan suhu tubuhku yang panas, berkeringat karena berlari barusan.

Hanya dua kata itu yang dia ucapkan, selebihnya adalah sorot mata yang mulai mengabur dan berubah warna menjadi kelabu pekat. Kelopak matanya pelan-pelan mengatup diiringi sebuah tarikan napas yang panjang. Ranti tertidur pulas. Sebetulnya, aku berharap demikian. Tapi, aku bukan anak kecil lagi yang bisa dibohongi bahwa kematian adalah tidur panjang, dan ketika terbangun, seseorang yang kita cintai itu berada di langit. Di sebuah tempat yang sangat indah. Ia memilih tinggal di langit bersama para malaikat dan kita tetap berada di bumi.

Sepulang dari pemakaman, ada sesuatu yang berubah. Di teras, ruang tamu, bahkan di kamar kami yang bersebelahan dengan kamar Ambu, tak kudapati senyum  Ranti yang biasa menyambut kedatanganku. Tubuhnya yang wangi, selalu membuatku ingin memeluknya. Mengendus-ngendus ke belakang lehernya, membiarkan dia tertawa kegelian dan berbisik manja, ”Malu aah…! Nanti Ambu melihat kita…”
Aku tersenyum lebar seraya mengedipkan sebelah mataku.
“Biar Ambu tahu kita selalu mesra….!”
Jari Ranti bergerak ke arah pinggangku, cepat-cepat aku berkelit. Siapa yang mau dicubit? Biar cubitan mesra, tetap saja sakit!
Suasana di rumah Ambu membuat Ranti canggung. Di rumah kami, Ranti tak pernah sungkan membalas kemesraanku di setiap sudut rumah. Kata Ranti, di sini, ada CCTV yang memonitor setiap gerakan kami. Sebetulnya, tidak juga sih! Aku tahu pasti Ambu bahkan senang melihat kami selekat itu. Hanya saja, Ranti merasa jengah, ketika Ambu seringkali memergoki kemesraan kami.
           ****
    Wangi pandan masih terasa dominan, mengalahkan aroma bunga-bunga lainnya yang tersebar di atas pusara istriku. Titik-titik embun mulai menipis, terpanggang matahari pagi. Kusapa Ranti dengan doa, namun tak cukup meredam kegelisahanku yang meruap. Kepedihan yang mengalir, bertemu dengan jutaan kesedihan lain yang sebelumnya pernah tumpah di area pemakaman ini. Sebelum Ranti berada di sini.
    Kusampaikan rinduku dengan doa, namun tak pernah kutemukan lagi mata bening penuh binar kehidupan itu. Selalu begitu setiap hari, sampai wangi pandan itu berubah perlahan. Wanginya menipis sampai kemudian habis, berganti bau yang semakin menusuk. Hingga kering tak memancarkan wangi atau bau sama sekali.
           ****
    Roncean daun pandan yang berlapis-lapis itu mengering, kehilangan bentuk juga warna. Wanginya sudah lama hilang, dan sekarang mulai membusuk menunggu waktu bersatu dengan tanah. Kutaburi pusara Ranti dengan bunga alamanda yang sengaja kubawa dari rumah. Tak ada celah sedikit pun yang kubiarkan terlewat.
    Meski kenangan itu sudah tertutup rapat, selalu ada celah untuk melihat dan mengingatnya kembali. Masih terbayang dalam benakku, saat Ranti berendam di bak mandi. Matanya terpejam menikmati alunan musik dari tape kecil yang disimpan dekat wastafel. Diam-diam kumasukkan satu keranjang kecil bunga kuning kesukaannya yang kupetik dari teras rumah kami. Ranti membuka matanya, lalu pura-pura terkejut mendapati dirinya tenggelam di antara bunga-bunga itu.

    Mauku dia bangkit, dan segera meraih handuk karena bunga itu mengeluarkan banyak getah berwarna putih pekat. Atau, ini yang lebih kuinginkan, ia membalas perbuatanku dengan menarik tanganku hingga aku masuk dalam bak itu dan kami berendam di situ. Mau tidak mau, tapi suka sama suka. Namun, keinginanku tidak terkabul, Ranti tetap meneruskan kegiatannya. Ia sengaja menuangkan sabun lebih banyak ke dalam baknya.
    “Untuk menetralisasi getah alamanda,” ujarnya seraya mencolek hidungku dengan busa bercampur getah bunga. Kemudian, ia merangkum busa dengan kedua belah tangannya dan menyiram baju seragam kantorku. Setengah menggerutu, aku terpaksa membukanya. Ranti tertawa renyah melihat ekspresi wajahku. Bunga alamanda yang basah berserakan di pinggir bak mandi. Kalau saja mereka bisa bicara, mereka akan menceritakan apa yang disaksikannya kepada Anda.
           ****
    Kulemparkan bunga kuning itu satu per satu ke tengah kolam. Sebuah lengkingan panjang, sempat membuatku sesaat menahan tanganku. Ya, makhluk kecil inilah yang terlalu banyak membuat perubahan dalam hidupku sekarang. Sepulang berziarah, selalu saja dia tak pernah diam. Satu kali tidak menangis saja, mungkin akan membuat telingaku beristirahat sebentar. Satu hal yang membuatku heran, entah kenapa, dia seakan tahu bahwa aku baru pulang ziarah dari makam ibunya.      “Mungkin dia melihat ibunya…. Bayi punya kepekaan untuk melihat sesuatu yang tidak bisa kita lihat, ” ujar Ambu lembut sambil menggoyang-goyangkan bayi dalam gendongannya. “Atau dia rindu karena cuma sebentar dipeluk ibunya…..”

    Aku tak menanggapi, sekaligus mengalihkan pandanganku untuk tidak terlalu lekat melihat makhluk mungil yang lebih mirip diriku daripada Ranti. Rindu? Ambu pikir hanya bayi itu saja yang rindu pada ibunya? Kutatap mata Ambu agak lama, Ambu mencoba tersenyum. “Ambu tahu apa yang ada dalam benakmu, Anakku…” ujar Ambu perlahan seakan bisa membaca pikiranku. Aku tertunduk, malu sekaligus tak berdaya. Rasa sepi mengepungku tiba-tiba. Aku terjepit rasa kelam yang muram, yang tak pernah memberiku kesempatan bernapas dengan lapang dan leluasa.
    Tangis bayi itu mulai reda. Ambu masih menggoyang-goyangkannya. Lalu Ambu mendekatkan dia padaku. Aku mundur selangkah. Seakan tahu apa yang dilakukan ayahnya, dia menangis lagi. Lebih keras dari yang tadi. Apakah bayi sekecil dia sudah memahami arti sebuah penolakan? 

    “Cup….cup! …Cucu Ambu sayang…….digendong Ayah….. eh Abah yaaa!”
bujuk Ambu penuh kasih.
    Di depan bayi itu, Ambu sering berubah-ubah memanggil sebutanku. Kadang Ayah, Abah atau Papa. Aku tak pernah mengiyakan atau balik menyebutkan sebutan yang kuinginkan. Jangankan sebutan untukku, namanya pun belum ada. Ambu sering memanggilnya dengan si Kecil, Teteh, atau Cucu Ambu. Aku masih membutuhkan waktu untuk memanggil putriku dengan sebutan baru.
    Ambu masih berusaha mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah, sehingga jarak di antara kami begitu terasa. Ambu tak kenal menyerah, dia maju lagi selangkah lalu diam sesaat. Masih ada jarak di antara kami. Anak itu menghentikan tangisnya, gerakan Ambu membuat dia terdiam. Kepalanya bergerak-gerak seakan mencari tahu apa yang terjadi. Ambu kian dekat padaku, aku tak bisa mengelak karena di belakangku ada meja yang merapat ke tembok pembatas.    

    Mau tak mau, kubiarkan mata kami berbaku pandang. Ayah dan anak. Untuk kedua kalinya, aku melihat dia dari dekat. Yang pertama adalah saat kubisikkan adzan di kedua telinganya dengan hati bergetar, beberapa saat setelah Ranti wafat dalam pelukanku. Alisnya mirip Ranti, apalagi sorot matanya. Rambutnya yang ikal mayang, tentu saja mirip ibunya.  Di luar ketiga hal tersebut, semua mirip aku. Bibirnya. Batang hidungnya lurus seperti hidungku, hanya dia ujungnya agak mencuat sedikit. Daun telinganya agak lebar, sepertiku. Tangannya bergerak-gerak, mungil dan lucu. Tapi hatiku belum tergerak untuk mencium pipinya yang gembur. Meski sempat menyentuh ujung jarinya sedikit, aku kembali menarik tanganku. Wajah Ranti yang tersenyum dalam kebekuan tiba-tiba melintas. Bulir-bulir keringat membasahi dahiku. Ambu tertegun, menatapku sesaat. Ada rasa khawatir membayangi matanya.

    Perlahan sekali Ambu mundur, menjauh sedikit dariku. Ia duduk di kursi rotan. Ujung batang alamanda yang menjulur, berayun-ayun diterpa angin dan berulang kali menyentuh bahu Ambu. Bayi itu lebih tenang sekarang. Dia menguap, bibirnya yang mungil terbuka lebar. Ambu tertawa tanpa suara, takut mengusik ketenangan makhluk kecil itu. Tanpa sadar, aku pun tersenyum. Dia memang lucu, dan hal ini memang harus kuakui. Bukan karena aku ayahnya, tapi dia memang lucu.

    Aku duduk di kursi yang satunya lagi, tempat setiap hari menatapi serumpun alamanda yang tak pernah berhenti berbunga. Kursi ini letaknya paling dekat dengan kolam ikan. Kemarin Sandra meneleponku, wawancara yang seharusnya hari ini diundur hingga lusa. Tati Sumirat, penari topeng itu sedang tidak enak badan. Baguslah, sang pewawancara pun sedang tak enak hati dan perlu membaca beberapa referensi. Bagaimana pun aku perlu mood yang lebih baik, untuk melakukan wawancara yang nantinya cukup menguras energi. Mewancarai  orang yang sudah tua memerlukan kesabaran ekstra dan soal bahasa Sunda yang agak rumit membuatku kerja dua kali.

    Perubahan jadwal memberi aku lebih banyak waktu untuk mempersiapkan materi wawancara. Lebih dari seminggu otakku tumpul, sedikit demi sedikit aku harus mengasahnya kembali. Untung saja, aku punya atasan yang baik dan penuh pengertian. Hampir setengah bulan aku absen kerja. Kalau aku bekerja di majalah lain, mungkin saja kemalanganku menjadi dua kali lipat. Diancam dipecat, misalnya. Tapi Tuhan masih melindungiku, meski ia mengambil kekasih kecintaanku dari sisiku.
           ****
    Sandra menjabat tanganku hangat.
    “Welcome home, Freedham!”
    Aku mencoba tersenyum, di kantor ini hanya dia yang memanggilku seperti itu. Nama populerku semasa di kampus dulu. Sandra pun tidak sembarangan memanggilku begitu di depan rekan-rekan kerjaku yang lain. Tak banyak yang tahu bahwa dia teman kuliahku. Teman kuliah yang nyaris jadi teman hidupku, kalau dia mau.
    “Gimana, sudah siap untuk wawancara nanti siang?”
    “Ya, lumayanlah….”
    Sandra menepuk lenganku, “Sudah saatnya kamu bangkit dari rasa sedihmu!”
    “Bisa saja kusembunyikan, tapi rasa sedih itu takkan pernah hilang…..”
    “Ya, aku mengerti. Tapi, kau sekarang sudah menjadi seorang ayah, Freedham, yang punya beberapa kewajiban dan itu harus kau penuhi….” mata Sandra membuatku sejuk. “Ayolah! Kembalilah menjadi Freedham, sohibku  yang tangguh dan selalu banyak ide!”
    Telepon paralel berdering, Sandra meminta jeda sebentar. Aku memberi isyarat dengan lambaian tangan seraya bergegas menuju ruanganku. Beberapa teman kerjaku menyapa dan menghampiriku. Termasuk dua orang wartawan yunior yang baru masuk beberapa hari sebelum Ranti wafat.

    Yang kusebut ruanganku tadi adalah sebuah ruangan berukuran dua kali dua meter dengan empat dinding sekat. Pintu atau lebih tepat disebut  lubang sebesar pintu, berada di sisi kiri. Lebarnya cukup besar untuk seorang gendut seperti Pak Chandra, wartawan paling senior di majalah ini.

    Sebuah meja komputer yang modelnya trendi masih tetap pada posisinya di sudut. Kubuka plastik yang menutupi komputerku. Lumayan berdebu. Apa petugas cleaning service tak pernah singgah ke sini ya? Belum tiga menit aku berada di sini, ada aroma khas yang menyentuh indra penciumanku. Baru kusadari, secangkir kopi yang masih mengepul tersaji di meja kecil tempat aku menaruh printer. Cappuccino kesukaanku plus butiran lembut coklat granule-nya. Kuraih secarik kertas kecil dari pinggir tatakan cangkir. Wilujeng sumping, Freedham!

    Hmmm….. kuhirup kopi pelan-pelan sambil menghayati keharuman aromanya. Siapa lagi yang bisa meracik kopi seenak ini kalau bukan Sandra! Tanpa kertas kecil itu pun, aku sudah tahu, pasti dialah pembuatnya. Takarannya selalu pas, dari kopi instan sampai kopi tubruk, Sandra memang ahlinya!

    Kunyalakan komputer, kubaca ulang beberapa feature dan naskah wawancara yang belum selesai. Ada yang tinggal dikoreksi sedikit dan diberi sentuhan akhir. Ada pula yang benar-benar masih mentah, perlu waktu cukup banyak untuk menyelesaikannya. Kuseruput kopiku lagi, sudah tak terlalu panas sekarang. Aku mulai tenggelam dalam ribuan huruf yang dirangkai menjadi kata-kata bermakna. Sampai seluruh isi cangkir kopi itu tandas, aku masih mengetik.

    Ponselku berdering. Sandra. Ia mengingatkan aku agar segera bersiap-siap berangkat. Ditemani  Dudi, wartawan yunior kami yang pandai memotret, kami menuju hotel tempat Tati Sumirat menginap. Harusnya aku berangkat bersama Aksan, tapi fotografer kami ini sedang menemani Pak Chandra untuk sebuah liputan khusus. Dudi pun jadilah, meski tugasnya reportase tapi dia punya keahlian fotografi yang lebih dari lumayan.



****
Katherina Achmad


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?