Fiction
Selendang Merah [4]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Alia jatuh sakit. Demam berdarah membuat kondisi HB-nya terus turun dan harus istirahat total. Rindang sedikit merasa bersalah atas perasaan sukacitanya. Ia menyayangi Alia dan tak ingin kehilangan Alia. Tapi, ia juga sangat menyayangi almarhum emaknya dan tak pernah memaafkan apa yang pernah terjadi. Kesempatan tak akan datang dua kali! Inilah waktunya!

“Hati-hati Rindang, jangan menghancurkan dirimu sendiri,” bisik Alia pada Rindang. Rindang tersenyum. Tidak mengangguk, tidak juga menggeleng.

“Jangan khawatir, Alia. Kau pikirkan dirimu sendiri saja, agar cepat sembuh. Percayalah, semua akan baik-baik saja.”

Semua akan baik-baik saja. Dada Alia bergetar, ketika Rindang meninggalkan pintu bangsal rumah sakit tempat ia dirawat.

Benarkah semua akan baik-baik saja? Benarkah Rindang akan menuruti kata-katanya?

Ketakutan Alia mendapatkan jawabannya.

Di halaman rumah sakit, Tio tengah menunggu Rindang. Tio membukakan pintu mobil dan Rindang masuk dengan wajah cerah. Tak lama mobil mereka melesat meninggalkan halaman rumah sakit menuju pinggiran kota. Rindang tersenyum. Benarkah kesempatan tak akan datang dua kali?

Tio sedang ke toilet ketika Rindang menaruh obat tidur ke dalam gelasnya. Ketika Tio kembali, tak ada yang membuatnya curiga. Rindang tersenyum hangat, ketika Tio menggenggam jemarinya.

“Aku tak mau kehilanganmu, Rindang. Aku mencintaimu.”

“Sudahlah, ayo, kita makan dulu. Setelah ini kita bisa jalan-jalan. Menikmati malam yang indah ini tanpa gangguan Alia.”

“Bukannya kamu sangat menyayangi Alia?”

“Ya, tapi aku juga sangat menyayangimu.”

Tio tersenyum, meremas jemari Rindang, lalu melepaskannya perlahan. Tangan kanannya meraih jus jeruk, lalu meminumnya. Tak butuh waktu lama untuk merasakan kantuk yang luar biasa. Sebelum ambruk di meja kafe, Tio berkata, “Bawa aku ke hotel terdekat, Rindang, aku ngantuk sekali.”

“Hei, kamu kenapa, Tio? Kok, tiba-tiba ngantuk?” Rindang pura-pura bingung. “Oke, ayo, kita cari hotel, biar kamu bisa tidur nyenyak.”

Rindang menuntun Tio keluar kafe. Mobil mereka melesat menuju hotel terdekat. Tio sudah tertidur di mobil sebelum mereka sampai hotel. Rindang menepikan mobil. Tangannya gemetar saat merogoh jarum suntik di dalam tasnya.

Bagaimana mungkin aku melakukan ini? Tio tidak bersalah. Tetapi, emakku juga tidak bersalah! Selendang merah itu seperti punya mata. Ia selalu melihatku dengan tatapannya, yang meminta aku melakukan sesuatu.

Tiba-tiba Rindang telah memegang tangan kanan Tio, mencari-cari nadinya. Tangan Rindang masih gemetar saat menyuntikkan cairan ke dalam tubuh Tio. Kantuk yang hebat membawa Tio ke alam mimpi terdalam. Ia tak merasakan jarum suntik menembus kulitnya, mengalirkan cairan ke dalam tubuhnya.

Rindang merasa tugasnya hampir selesai.

Gemawing, April 1985

Kurasakan tangan kokoh mengangkat tubuhku ke atas pembaringan. Kepalaku terasa sangat pusing dan tubuhku lemas. Perlahan aku membuka mata dan menemukan Emak tengah menungguiku sambil berurai air mata. Pakaian Emak sudah berganti daster, tetapi dandanan wajahnya belum dihapus.

“Kau sudah sadar, Rindang? Syukurlah. Maafkan Emak, Rindang…,” Emak menangis lagi sambil membelai-belai kepalaku.

Tiba-tiba pintu kamar didorong dari luar. Pria itu, Handoko, masuk ke dalam kamar. Aku tidak suka ia berada di sini. Siapa dia hingga berani memasuki kamarku? Aku memandangnya sengit.

“Pak Handoko yang menggendongmu pulang tadi, kau harus berterima kasih padanya,” kata Emak, sambil mengusap air mata.

Aku membuang pandang ke arah dinding. Apakah yang dikatakan Sulas benar? Pria itu ada main dengan Emak? Ah, tidak. Emakku bukan sembarang tandak, ia seorang primadona tandak. Tidak akan merendahkan dirinya dengan pria mana pun. Meskipun, ia pejabat penting seperti Handoko.

“Bagaimana keadaanmu, Rindang? Sudah baikan?” tanya Handoko. Aku melirik lewat sudut mataku, ia mendekati pembaringan.

“Terima kasih sudah menyelamatkan Rindang, Mas. Kalau tidak ada Mas, mungkin Rindang celaka.”

Emak menyebut pria itu dengan sebutan ’Mas’.

Aku melihat pancaran tak biasa dalam tatap mata Emak. Hampir serupa dengan tatapan pada Bapak dulu.

“Apa yang terjadi semalam, Mak?” tanyaku, mengalihkan pandangan Emak dari Handoko.

Emak tersenyum. “Banyak orang mabuk, ngamuk. Panggung jadi rusuh, kamu tertabrak. Untung ada Pak Handoko. Kalau tidak, kamu sudah tertimpa orang-orang itu sampai gepeng!”

Aku terdiam, tak suka mendengar kata-kata Emak yang menyanjung Handoko seperti pahlawan. Untuk apa pria itu menolongku? Bahkan, sekarang dia berada di sini.

Wajah Bapak melintas-lintas di mataku, membuatku ingin menangis. Masih kuingat wajah sabar Bapak selalu tersenyum padaku. Bahkan, saat aku nakal sekalipun. Aku tak ingin pria lain menggantikan posisi Bapak.

“Kamu istirahat saja, Rindang, semoga lekas baik, ya,” kata Handoko, lembut. Tangannya hendak menjangkau kepalaku, namun aku menghindar.

Emak terlihat kaget melihat sikapku. Tapi, aku tak peduli.

“Minum kopinya dulu, Mas. Aku menaruhnya di luar.”

Handoko tersenyum padaku dan keluar dari kamar. Emak mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba air mataku meleleh. Aku marah, benci, dan tak suka Emak bersama pria itu. Samar-samar aku mendengar derai tawa Emak bersama Handoko dari ruang tengah di sela gendhing yang mengalun melalui kaset. Ini tawa pertama yang kudengar dari Emak setelah Bapak meninggal.

“Benar, toh, emakmu nakal? Tadi aku melihat emakmu dibonceng pria!”

Setiap pulang sekolah Nolan selalu mengejarku dan menggangguku. Kadang-kadang mengejek, kadang-kadang memukul atau menakut-nakutiku dengan ular. Aku jadi makin membencinya.

Aku menghentikan langkah Nolan dan serta-merta menjambak rambut jabriknya kuat-kuat hingga ia meringis. Memangnya aku takut pada dia? Meskipun aku anak perempuan, aku tak pernah takut pada anak laki-laki. Aku akan menghajar siapa pun yang mengejek emakku. Baru setelah ia balas menendang, aku melepaskan rambutnya.

“Kamu nakal!” teriakku.

Nolan tertawa-tawa. “Lihat saja kalau tak percaya! Orang itu ada di rumahmu sekarang. Bersama emakmu!”

Kemarahanku mulai naik ke ubun-ubun. Antara mendengar ejekan Nolan dan kabar ada pria bersama Emak di rumah. Aku bergegas. Kudengar Nolan tertawa keras di belakangku. Kuacungkan kepalan tanganku kepadanya dan anak laki-laki jabrik itu makin mengeraskan tawanya.

Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di halaman rumahku. Setelah melewati dua pohon kersen yang buahnya habis dicuri Nolan setiap malam, aku menyeberangi halaman. Ada sepeda motor terparkir di halaman. Aku menaiki undak-undakan rumah.

Sepasang sepatu pria ada di muka pintu. Siapa yang sedang bertamu? Tak terdengar suara orang di dalam rumah. Ataukah, Emak sedang keluar rumah? Bagaimana Nolan mengatakan Emak bersama pria? Tidak ada siapa pun di rumah! Dasar Nolan penipu!

Aku melepas sepatu di depan pintu dan masuk rumah. Setelah melempar tas ke kursi ruang tamu, aku mengambil minum di meja makan. Ada banyak makanan enak di meja makan. Tumben Emak membeli makanan sebanyak ini? Hampir semuanya makanan kesukaanku. Aku mencomot satu dan mengambil teko. Baru saja menuang air di gelas, terdengar suara-suara aneh dari arah kanan. Aku menoleh ke samping. Dari kamar Emak yang pintunya tertutup rapat. Lalu, terdengar suara tawa pelan Emak.

Entah kenapa aku tak suka mendengar tawa itu. Aku urung minum dan kembali menaruh gelas di meja makan. Aku menarik kursi makan dan duduk mematung. Suara-suara itu terdengar makin jelas.


Penulis: S. Tary




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?