Fiction
Satu Kata Maaf [1]

20 Jun 2012


Siantan, Pontianak
20 Juli 2004
Wanita itu terbaring dengan serangkaian selang di sekujur tubuhnya. Komplikasi penyakit jantung, darah tinggi, dan paru-paru menggerogoti bobotnya yang dulu subur berisi. Dari balik selimut terlihat jelas tulang-belulangnya tersembul. Sebentar-sebentar kepalanya mendongak mencari aliran udara, menghirup, dan mengeluarkan napas dengan tersengal-sengal. Ia tampak tersiksa sekali.

Aku mengintip dari kaca pintu, ragu-ragu untuk masuk. Bukan saja karena takut, tapi juga karena enggan. Enggan melihat kondisi sakitnya, enggan bertegur sapa dengan orang-orang yang mungkin ada di dalam ruangan itu, dan enggan berdamai dengan perasaan sakit hati yang selama belasan tahun terpupuk hebat dalam hatiku. Tak mudah menghapus luka lama.
Siang ini aku baru saja sampai di Jakarta, setelah tiga hari mengikuti pameran di Bali. Taksi yang kutumpangi dari bandara sudah berhenti di depan rumah. Ponselku tiba-tiba berbunyi. “Pulanglah, Mei Cen. Waktunya sudah tiba,” suara yang sudah sangat kukenal langsung menyergap pendengaranku.

Aku tertegun, sementara sopir taksi sudah melotot tak sabar, hendak menagih ongkos. “Jangan keraskan hati lagi, sudah saatnya mengakhiri semua kebencian. Pulanglah, atau kau akan menyesal seumur hidup!” suara itu kembali terdengar, kali ini nadanya menyakitkan.

Sudah hampir sebulan ini, kata-kata yang sama didengungkan terus oleh sang penelepon. Aku sudah katakan padanya, tak perlu repot-repot membujuk lagi. Aku tetap pada keputusanku, tidak bersedia memenuhi keinginannya. Titik.

Namun, anehnya, saat berada di Bali, ketika seharusnya aku sibuk mengamati pernak-pernik kegiatan pameran, aku malah sering terbengong-bengong. Seperti mantra, isi pesan telepon itu berbalik menghantui, membuat setiap detik hidupku menjadi seperti bara api. Batinku bergolak hebat. Antara rasa sayang dan dendam. Antara rasa iba dan kepongahan. Sejujurnya, aku sudah merasa sangat letih menanggung beban ini. Mungkin, Tuhan memang khusus merencanakan saat ini untuk mempertemukan kami berdua. Saat kami harus bicara tentang kepahitan masa lalu.

Dengan tangan masih memegang ponsel erat-erat, aku menghitung dalam hati. Sudah berapa lama kenangan buruk itu menyiksaku? Lebih dari lima belas tahun. Sama sekali bukan waktu yang sebentar. Jauh dari dalam lubuk hati, aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Mulai belajar memaafkan lagi, belajar menyayangi lagi, belajar melupakan segala sesuatu yang telah terjadi, belajar untuk memiliki hati dan jiwa yang baru. Ya, aku harus segera memulainya. Sekarang. Dengan mantap, aku meminta sopir taksi memutar kembali mobilnya dan mengantarku ke bandara.

Karena ada kerusakan teknis, lewat pukul delapan malam barulah pesawat mendarat di Pontianak. Untuk sampai di rumah sakit tempat Mama dirawat, aku masih harus meneruskan perjalanan sekitar empat puluh menit lagi menggunakan mobil sewaan. Di dalam mobil yang pengap karena asap rokok dan keringat lima orang lainnya, aku kembali mempertanyakan niat hatiku. Bagaimana jika Mama menolak bertemu denganku? Bagaimana jika ternyata seluruh keluarga juga ikut menghina, lalu mengusirku? Kalau itu yang terjadi, berarti harga diriku akan remuk dua kali, tanpa sisa sedikit pun. Ya, Tuhan, sudah benarkah keputusanku kali ini?

Di depan salah satu kamar rumah sakit, aku melangkah mondar-mandir tak keruan. Ternyata, bukan hal mudah untuk masuk ke dalamnya, lalu menyapa, ”Apa kabar, Mama? Aku sudah datang!” Untuk menenangkan jantungku yang rasanya berdebar tiga kali lebih cepat, aku segera menyingkir ke ujung lorong yang redup. Dengan gelisah aku bersandar di tembok, sambil berulang kali mengetukkan hak sepatu di lantai yang kusam.

Alangkah jahatnya! Aku memang anak durhaka! Begitu teganya aku membiarkan dia terkapar sendirian di dalam sana, sekarat menghadapi ajal. Padahal, aku sudah mengetahui penyakitnya sejak tiga tahun lalu, tapi tak pernah sekali pun aku berniat menjenguknya, apalagi mendampingi di saat-saat terakhirnya.

Tapi, hei… tunggu dulu! Jahat? Aku jahat? Bukankah wanita itu jauh lebih jahat? Lihat saja apa yang selama ini dia lakukan padaku! Dia bukan saja tidak mengasihiku, tapi juga ingin melenyapkanku dengan segala macam cara. Dia ingin membunuhku! Aku, darah dagingnya sendiri!

Masih teringat jelas pertengkaran kami yang terakhir, yang terhebat, dan yang paling tak bisa kulupakan. Setiap suku katanya bahkan masih aku hafal dengan jelas.

“Waktu itu Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen. Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah, cuma kamu yang dapat masalah? Kamu tidak pikirkan bagaimana keadaan Mama? Enak saja kamu bicara, sepertinya paling pintar sedunia! Semua yang kalian pakai dan makan itu hasil jerih payah Mama, tapi kamu sama sekali tidak tahu terima kasih. Tidak tahu balas budi! Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar anak pembawa sial!”

Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi kepala. Anak pembawa sial, itulah ungkapan yang paling sering aku terima selama tinggal di rumah ini.

“Mama tidak perlu khawatir lagi soal uang! Mulai sekarang, tanggungan Mama berkurang satu. Aku akan mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah, tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi! Akan kubuktikan, aku bisa hidup tanpa kalian!” jeritku membabi buta, lalu menerjang kamar, dan mengemas barang-barangku.

“Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu minggat dari rumah ini, selamanya pintu ini tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak sinting! Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing, sudah besar tambah bikin masalah! Anak kurang ajar, anak durhaka! Makin cepat kamu keluar dari rumah ini, makin baik!” teriak Mama, melengking tinggi.

Dengan berurai air mata, aku lemas terduduk di tepi ranjang. Malang benar nasibku. Lahir tak dikehendaki, hidup pun tak punya arti. Berjam-jam lamanya aku menangisi diri, sambil memasukkan barang-barangku yang tak seberapa banyak. Aku tak tahu akan ke mana. Tapi, keinginanku saat itu hanya satu. Pergi jauh dan tidak kembali lagi.

Hanyut dalam lamunan, pipiku mulai dibasahi air mata. Kejadian yang lalu itu menyisakan dendam dan kebencian luar biasa di antara aku dan Mama. Aku bertekad, tak ingin lagi menggoreskan namanya dalam hidupku. Begitu juga sebaliknya. Kami bertahan dalam benteng pembenaran diri sendiri.Aku berjuang luar biasa keras demi memenuhi sesumbar sumpahku, tanpa pernah berpikir untuk kembali ke kota ini lagi.

Tapi, suratan hidup tampaknya tak bisa diganggu gugat. Sampai akhirnya, sekarang aku ada di sini. Duduk menatap langit, tak tahu harus berbuat apa. Bulan di ujung rimbunan pohon rupanya sedang malas menyembulkan sinarnya, membuat kulit tanganku makin pucat dan gemetar. Air mataku menetes lagi.

September 1968
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Rasanya, ruangan ini tak sama dengan yang kemarin. Tidak ada mainan bola yang digantung di atas kepala. Tidak ada gambar ikan berenang dilukis di tembok. Tidak ada balon warna-warni melambai di dekat jendela. Sambil menggeliat melemaskan otot yang masih agak kaku, aku menelengkan kepala. Kenapa sepi sekali? Mana teman-temanku? Bukankah semestinya mereka juga ada di sini, berbaring berjajar dalam boks yang bersekat-sekat? Biasanya teriakan mereka membuat aku marah. Berisik sekali. Walaupun agak menyebalkan, aku sayang pada mereka.

Ingat soal minum, perutku lapar bukan main. Biasanya, wanita berbaju dan bertopi putih selalu datang untuk memandikan dan mendandaniku dengan bedak wangi. Setelah itu, dia pasti akan mengayun-ayun, sambil menyorongkan botol susu ke mulutku. Ah, enaknya! Aku mulai menggesek-gesekkan kaki, terasa lengket. Kenapa, sih, tidak ada yang mengganti popokku? Basah dan dingin menempel di kulit, belum lagi ditambah tiupan angin dari jendela kayu yang terbuka. Coba tunggu sebentar lagi, siapa tahu wanita berbaju dan bertopi putih akan muncul dan menyapaku seperti biasa, “Halo manis, sudah bangun?” Tapi, setelah lama menunggu, pintu itu tetap tertutup. Aduh, aku sudah tak sabar lagi!

Mendadak pintu terbuka dengan keras, membuatku spontan berteriak kaget. Seseorang berjalan masuk. Siapa wanita ini? Kenapa dia tidak berbaju dan bertopi putih? Sambil terisak-isak dengan muka merah, aku mencoba mengingat. Wah, mukanya tidak ramah. Aku pikir dia akan segera menggendong dan memberiku minum, tapi …. Hei, dia kembali berjalan ke arah pintu, membuka, dan menutupnya lagi, seolah tidak peduli pada tangisanku.

Kenapa aku sendirian, dibiarkan kelaparan dan kedinginan seperti ini? Huh, lebih enak tinggal di perut Ibu. Mau makan, tinggal isap. Makanan akan langsung sampai di depan mulut. Mau berhangat-hangat, tinggal bergelung di selimut cairan ketuban. Semua serba enak, tidak perlu capai-capai menangis jika ingin sesuatu.

Ups! Tunggu dulu! Ibu? Apakah wanita yang tadi datang itu ibuku? Bisa jadi. Berarti, aku sudah ada di rumah dan ini kamarku? Asyik juga, paling tidak aku tidak perlu repot berdesak-desakan tempat dengan teman-teman lain seperti kemarin. Tidak perlu berebut minum, mainan, dan berebut minta perhatian. Aku sendirian. Hore! Aku jadi raja! Enak juga, ya, punya ibu. Tapi, mana dia? Oh, itu dia datang lagi. Tapi, kenapa, sih, dia selalu membuka dan menutup pintu de-ngan suara sekeras itu? Telingaku jadi sakit. Aku menangis lagi.

Tangisanku makin keras ketika wanita itu menyentuh dan menyekaku dengan kasar. Rupanya, dia marah padaku karena buang air besar. Lalu bagaimana lagi? Umurku kan baru 5 hari? Aku belum bisa membersihkan kotoranku sendiri. Minumnya mana, Bu? Yah, kok, susunya dingin…. Tapi, biarlah, daripada tidak sama sekali. Karena kelaparan dan hanya disuguhi sedikit, aku melengkingkan suara, tanda minta tambah. Walau dengan muka galak dan mulutnya mengomel, dia memberiku sedikit susu lagi.

Setelah menutup jendela, ia lalu membuka bajuku dan menyeka dengan air hangat. Aku asyik memerhatikan wajahnya. Rasanya, wanita berbaju dan bertopi putih yang selalu menemaniku lebih cantik dan kurus, juga harum. Sedangkan wanita di depanku bertubuh agak gemuk dan memiliki raut wajah keras. Pakaiannya mirip seperti gorden. Tapi, tak apa, dia adalah ibuku. Hmm... enaknya aku panggil apa, ya? Ibu, Mama, Mami, atau Bunda? Lebih enak Mama. Mudah mengucapkannya.


Penulis: Ruddy Raharjo
(Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber Femina 2004)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?