Fiction
Sang Dalang [1]

5 Apr 2013


Dwi Retno Handayani
Bagian I


Tak ada yang spesial. Bagiku memang tak ada yang spesial dari pertunjukan wayang yang selalu Bapak tonton semalam suntuk, yang selalu Bapak bela setengah mati dalam hidupnya. Apa ini karena aku yang tak berwawasan, atau Bapak yang terlalu melebih-lebihkan wayang-wayang kesayangannya itu?

Aku dan Bapak memang hanya hidup berdua di rumah. Ibuku sudah pergi lama sekali, tak tahu ke mana, tak jelas apa yang ia cari. Mungkin ia bosan harus hidup dengan Bapak. Namun, kelalaian Ibu terhadap Bapak membuatku harus menanggung masa-masa mudaku, meninggalkan acara berkumpulku bersama teman–teman di  tiap Sabtu malam, karena harus mengantar Bapak menuju medan wayang tercintanya, menemaninya semalam suntuk menonton sang dalang memainkan lakon, merapal mantra–mantra khas pertunjukan tersebut, dan mendengarkan para sinden bernyanyi untuk mengiringi sang dalang menghidupkan pementasannya.

Tak pernah ada yang spesial. Ini seperti rutinitas. Ini seperti kutukan seorang anak dari ayahnya. Malam pun seperti menelan seluruh jam biologis dari tubuh-tubuh berjiwa, yang tak mau beranjak sedikit pun dari kursi tonton mereka. Tak ada tanda-tanda mereka mengantuk. Tak ada bunyi suara yang mengisyaratkan penonton telah bosan. Tak ada yang tak acuh dalam pementasan ini. Mereka dibuat hikmat, tak dibiarkan sedikit pun melewatkan  tiap momen.

Kudengar lagi bunyi gendang yang berirama, diikuti suara dari kumpulan wanita- wanita bersanggul dan berkebaya yang mulai menembang, dan dalang yang kembali memainkan lakonnya, seperti menyihir penonton yang kebanyakan tidak lagi muda. Tentu aku pengecualiannya. Mereka seperti orang-orang terpilih, atau memang sengaja dipilih dan diberi undangan khusus untuk mengikuti acara seperti ini. Termasuk bapakku tentunya, yang jatuh cinta pada wayang, dan entah mengapa, ini menjadi satu-satunya kekonyolan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Aku tidak akan mengorbankan waktu tidurku hanya untuk acara macam ini, jika aku tidak memikirkan kesehatan Bapak yang tidak lagi muda.

Terlebih, jika Bapak tidak konyol memperkenalkanku kepada dalang muda itu.

***

Namanya Kakrasana. Aku dikenalkan Bapak di suatu malam pada acara pergelaran wayang kulit. Lakon yang dimainkan sang dalang saat itu adalah Babad Alas Mertani, yang menceritakan asal-muasal berdirinya Kerajaan Amarta oleh kelima pandawa. Sayangnya, tak ada yang menggugah seleraku dari dirinya. Secara keseluruhan, ia memang tampak gagah dan tampan seperti kesatria-kesatria wayang kesayangan Bapak.

Ia memang belum menjadi dalang utama, tapi menurut Bapak, caranya melakukan bedholan  (mencabut wayang dari batang pisang) sangat rapi, caranya bercerita pun membuat tokoh-tokoh tersebut menjadi hidup. Baru beberapa tahun ia memutuskan untuk menjadi dalang, namun talentanya sudah terdengar luas dari telinga ke telinga para penonton.

Pandangan Bapak tertuju padaku. Sejak tadi yang dibicarakannya hanya Kakrasana dan Kakrasana, seperti tak ada topik pembicaraan lain. Setelah acara pementasan selesai, kami buru-buru pulang karena sudah larut malam. Udara malam  makin melekat, dingin, menjelma bagai angin yang melekati relung-relung tubuh. Jalan tempat kami melintas terlihat lurus, begitu panjang, dan kosong. Hanya garis-garis putih yang masih tampak terlihat di tengah-tengahnya. Sepertinya memang cuma kami yang masih berkeliaran di daerah ini, sepasang orang tua yang masih mengaku berstamina, dan seorang wanita muda yang tak lagi bersemangat.

“Zaman sekarang, wajah ganteng itu bukan jaminan, Pak,” akhirnya aku menjawab.  
“Lho, memangnya apa yang kurang dari dia, Nduk?”
“Bukan itu masalahnya, Pak,” sambil menguap, aku masih mencoba memfokuskan mata pada kendaraan yang kubawa, juga telingaku pada obrolan Bapak.
“Lalu apa? Karena dia dalang? Lho, kan Bapak sudah bilang, dalang itu hanya pekerjaan sampingannya. Dia guru sejarah. Guru yang sudah bersertifikat. Pegawai negeri. Apa masalahmu, Nduk?” Bapak kembali memandangku penuh tanya.
 
Tak ada jawaban yang perlu kujawab, tak ada kalimat yang harus kukeluarkan. Bapak sepertinya tidak mengerti bahwa pembicaraan ini harus dibicarakan lain waktu saja. Aku sedang tidak mood, itu masalahnya. Pandanganku pun  makin lama  makin gelap, tak fokus. Rasa kantuk kian kuat menyelimutiku.
“Kamu kenapa toh, Nduk?”
“Nduk??”
“Nduk???”
Satu dari rentetan suara itu ternyata membangunkanku pada bunyi bam keras yang tiba-tiba membuatku menginjakkan rem secara mendadak. Segera kutengok Bapak, takut sesuatu terjadi padanya. Ia sempat kaget, namun tidak berlangsung lama setelah melihat kami berdua baik-baik saja.
“Maaf, Pak, aku ngantuk! Sepertinya kita menabrak tong sampah.”
Alasan bodoh inilah yang akhirnya menutup topik pembicaraan kami.

***

Jika boleh berpendapat, aku benar-benar tidak suka pada hobi Bapak yang sangat menyayangi wayangnya lebih dari barang tak bernyawa apa pun dalam hidupnya. Kecintaan Bapak pada wayang telah mempermalukan diriku, seumur hidupku. Ironisnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerima apa yang telah menjadi takdirku.

Kecintaan Bapak pada wayang membuatnya menamai anak perempuan satu- satunya ini dengan nama Kunti.  Ah, seperti tidak ada nama lain di dunia ini selain nama itu. Ya, karena Bapak, aku dinamai Kunti. Alhasil, sepanjang masa kecilku, aku selalu pulang dengan wajah murung dan mata lebam karena menangis mendengar teman-teman sekolah selalu mengejek namaku.

Aku tahu Bapak tidak pernah menganggap ini sebagai sesuatu yang memalukan, tapi bagiku ini berbeda. Aku tidak seperti Bapak yang dilahirkan jauh lebih dulu dan hidup dalam kondisi masyarakat yang jauh lebih mengenal budaya dan adat istiadat. Di tiap malam ketika aku menangis dan merengek meminta orang tuaku mengganti namaku, Bapak selalu menasihati, mengangkatku tinggi-tinggi tentang arti nama tersebut.

“Kunti nama yang bagus, salah satu nama yang punya arti indah. Ditulis dalam bahasa Sanskerta, dijiwai dalam sesosok wanita hebat yang tabah dan bijak. Namamu Bapak ambil dari tokoh wanita dalam pewayangan yang melahirkan kesatria-kesatria gagah berani yang memperjuangkan kebaikan. Kamu harus bangga.” Tiap kali kalimat itu diucapkan Bapak, aku selalu berhenti menangis.

***

Bapak sudah tidak lagi muda. Aku selalu memperingatkannya. Kesehatannya juga tidak lagi fit seperti dulu. Umurnya sudah hampir 60 tahun. Ia tidak mungkin lagi bisa hadir dalam  tiap pergelaran wayang, atau melihat acara-acara wayang yang biasa ditayangkan lewat saluran TVRI di tengah malam, atau mendengarnya dari siaran radio kesukaannya.

Ia harus lebih banyak beristirahat, mengistirahatkan matanya, pikirannya, dan tentu saja tubuhnya dari melek malam. Ia harus mulai membiasakan diri untuk tidur tepat waktu, selain pola makannya yang juga harus dijaga. Ia harus merelakan wayang- wayangnya tampil tanpa penggemar setianya. Seharusnya memang seperti itu. Tapi, Bapak tetaplah Bapak.

Meskipun sudah sering kali kuperingatkan, ia tak mau pusing memikirkan hal lainnya kecuali wayang-wayangnya. Ia bisa melakukan sesuatu yang gila saat keinginannya untuk bertemu dengan para Pandawa ditentang. Seperti peristiwa yang pernah terjadi padaku beberapa waktu lalu, ketika kekasihku datang ke rumah.
   
Aku memperkenalkan Yudis kepada Bapak, di suatu malam di bulan Oktober. Hari itu aku lembur kerja, jadi aku tidak mengizinkan Bapak untuk pergi menonton para kesatrianya. Yudis mampir ke rumah setelah mengantarkanku pulang kerja. Sudah 3 tahun aku dan Yudis berpacaran. Tidak ada salahnya bagi Bapak untuk mengenal calon mantunya, begitu juga Yudis.

Raut wajah Bapak terlihat senang ketika aku membawa Yudis ke rumah. Kutinggalkan mereka berdua di ruang tamu, sementara aku pergi ke dapur untuk membuatkannya secangkir teh. Diam-diam aku mendengarkan pembicaraan Bapak bersama Yudis.
“Satu kantor dengan Kunti?” tanya Bapak
“Dewi? Ya, Pak. Tapi, saya dan Dewi beda departemen” ucap Yudis bersemangat. Sejak aku beranjak dewasa, orang-orang yang kutemui lebih mengenalku dengan nama depanku, Dewi.
“Ohhh... Yudis ini di bagian apa?” tanya Bapak  lagi
“Logistik, Pak. Dewi kan di bagian finance.”
“Sudah lama pacaran dengan Kunti?”
“Dewi? Tiga tahun, Pak. Bulan ini tepatnya,” lagi-lagi Yudis meralat namaku.
“Kamu serius dengan Kunti?” Bapak pun  makin semangat bertanya.
“Ya, jika Bapak mengizinkan”.
“Kamu punya apa untuk menghidupi Kunti?” kali ini pertanyaan Bapak mulai serius
“Ehh… Dewi?? Saya punya gaji  tiap bulannya, Pak. Saya punya tabungan, asuransi, dan saya berencana untuk kredit rumah jika Dewi juga berpikiran sama seperti saya.” Yudis sedikit kikuk dengan pertanyaan tersebut, namun ia berhasil menjawabnya dengan baik. Aku tahu Bapak sedang mengujinya.
“Itu saja?” Bapak kembali bertanya, seolah-olah meragukan jawaban Yudis.
“Saya tahu, mungkin itu tidak cukup bagi Bapak. Tapi, jika berkenan, saya akan berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan restu dari Bapak.” Wajah Yudis tampak optimistis dalam kalimat yang ia lontarkan. Aku lihat Bapak menyunggingkan senyum kecilnya, mulai mengetahui bahwa calon menantunya tidak main-main dengan ucapannya.
Lalu aku datang membawakan secangkir teh untuk Yudis dan kembali lagi ke belakang. Aku pikir, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menginterupsi perbincangan mereka. Maka, aku masuk ke dalam kamar untuk menguping lebih lanjut perbincangan tersebut. Ada jeda yang tiba-tiba muncul di ruang tamu. Tak ada suara lainnya, kecuali bunyi cangkir yang diangkat dan diturunkan kembali.
“Siapa nama panjangmu?” Bapak kembali membuka pertanyaan setelah jeda minum
“Yudisthira, Pak.”  Bapak pun tersenyum lebar, mengingatkannya pada salah satu tokoh wayang kesayangannya, entah ia Puntadewa atau Samiaji, aku tidak kenal mereka. Gairahnya tentang wayang tiba-tiba muncul dan menyeret Yudis untuk ikut masuk.
“Kamu tahu siapa dia?”
“Yudisthira? Orang tua saya yang menamainya. Mereka bilang, itu nama yang bagus.” Yudis menjawabnya dengan fasih. Kalimat ini rupanya menjadi ujian terbesar dalam hidup Yudis, jika saja ia mengerti. Ini semacam jebakan yang memang sudah Bapak siapkan. Aku mengetahuinya, tapi tidak berani keluar untuk menyelamatkan Yudis.
Dan, ya! Kata-kata itu akhirnya kudengar beberapa menit kemudian. Suara khas Bapak yang lagi-lagi lebih memilih wayangnya dibanding kebahagiaan putrinya. Langkah Yudis pun perlahan menghilang, disusul bunyi mesin mobil yang juga senyap dalam hitungan detik.
Aku keluar dari kamar untuk menghampiri Bapak, memprotesnya atas tindakan ‘main hakim sendiri’.
“Kenapa Yudis Bapak suruh pergi??” setengah histeris, aku berseru ke arah Bapak.
“Nduk, apa kamu mau menikah dengan pria macam itu??”
“Tapi, aku dan Yudis sudah tiga tahun bersama. Dia serius mau melamarku, Pak.  Kenapa Bapak menyuruhnya pulang??”
“Bagaimana kamu dapat memercayakan masa depanmu kepada seseorang yang bahkan tidak mengerti sejarah namanya sendiri?? Budayanya sendiri?? Bapak ndak sudi punya menantu yang dangkal wawasannya! Bahkan, untuk memanggil namamu pun dia seperti ketakutan.” Baru kali itu aku melihat Bapak bicara padaku dengan nada serius.
“Bukan Yudis yang dangkal, tapi Bapak yang terlalu kolot!”
Aku meninggalkan Bapak menuju kamar, menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya.
Ya, Bapak memang selalu punya cara sendiri untuk mengenal pacar-pacarku, yang akhirnya selalu saja menghancurkan hubunganku.

***

Kakrasana bertamu ke rumah di Jumat malam. Ia sedang asyik bercakap-cakap dengan Bapak saat aku pulang kerja. Mereka satu tipe. Yang satu sangat konservatif, yang muda pun benar-benar tampak kuno bagiku. Belakangan ini, dalang muda itu sering sekali main ke rumah, walau hanya mampir sebentar untuk sekadar bertemu Bapak.

Aku bosan melihatnya. Aku benar-benar bosan melihat dia, wayang-wayang kesayangan Bapak, dan tentunya percakapan-percakapan mereka. Di zaman apa mereka hidup? Mereka seperti menciptakan ruang yang tidak boleh diganggu. Aku tidak percaya masih ada orang yang hidup pada cerita pewayangan, tradisi, budaya, dan tentunya sejarah yang sama sekali tak jelas, entah hanya legenda atau benar-benar pernah terjadi. Aku tidak percaya dikelilingi orang-orang yang tidak bisa membuka matanya untuk suatu modernitas, keluar dari kotak mereka.

Tentu Bapak tidak akan bisa seperti itu. Ya, itu karena ia sudah terlalu tua untuk disuguhi perubahan. Namun, si dalang itu? Oh, yang benar saja!!! Tidak adakah orang yang bisa bersikap normal di rumahku?

***

“Kunti, Bapak ingin berbicara.”
Sebelum kupersilakan masuk, Bapak sudah membuka pintu kamar, menginterupsi kerjaan kantor yang kubawa ke rumah.
“Kenapa lagi, Pak?” kali ini nada bicaraku datar.
“Nduk... Kok, galak betul? Bapak cuma mau memberi tahumu, Bapak mau bertamu ke rumah tetangga baru kita yang ada di ujung jalan itu. Mungkin Bapak pulang agak malam, jadi kamu bisa tidur duluan. Pintunya dikunci saja. Bapak punya cadangannya,” ucap Bapak kemudian.
Aku memperhatikan pakaian yang digunakannya, tampak biasa-biasa saja. Ia tidak menggunakan celana panjang dan kemeja. Ia hanya memakai celana jeans-nya dan kaus polos bertuliskan “I love Jakarta”. Belakangan ini ada banyak kasus pria tua yang pergi di malam hari untuk berkencan dengan wanita-wanita muda. Aku takut bapakku salah satunya. Maka, sudah sewajarnya aku menaruh curiga. Tapi, melihat gaya berpakaian Bapak yang santai, aku lega, ia tidak akan melakukan hal tersebut.
“Tetangga yang mana, Pak? Aku belum kenal. Aku harus tahu siapa dia dulu, baru aku bisa mengizinkan Bapak pergi.”
“Tenang saja, Nduk.  Konco (teman) Bapak.  Kami mau menonton wayang di teve.”
Jawaban Bapak sesegera itu menghentikan keraguanku. Aku mengizinkannya pergi, meskipun aku belum mengenal teman Bapak yang juga tetangga baru kami. Lagi pula, tidak ada yang perlu kukhawatirkan. Dan, jika memang ada perkumpulan wayang yang ia ikuti, pasti anggotanya tidak akan lebih muda dari Bapak. Atau, jika memang ada, hanya si aneh Kakrasana itulah satu-satunya orang muda dari zamanku.

Semua pekerjaan kantor yang kubawa pulang telah selesai kukerjakan sebelum jam menunjukkan pukul 12 malam. Aku segera merapikan semuanya, termasuk membersihkan kamar tidur Bapak dan menyediakan segelas penuh air putih agar ia tidak bolak-balik menuju dapur di tengah malam ketika ia terlelap. Sudah larut malam Bapak belum juga pulang.

Ini membuatku  makin khawatir. Oleh karenanya, aku ambil jaketku dan keluar rumah untuk menyusul Bapak. Bapak bilang, tetangga baru itu tinggal di ujung jalan, tidak jauh dari rumahku. Maka, aku pun berjalan ke sana.

Tibalah aku di depan rumah tersebut. Kutekan bel rumah bercat serba putih itu, tidak ada yang keluar. Kubuka gerbang rumah itu untuk masuk dan mengetuk pintu. Kulihat sandal Bapak ada di depan teras. Berulang kali kuketuk pintu rumah itu, tidak ada satu suara pun yang menyahut. Aku  makin khawatir. Aku takut bapakku kenapa- kenapa. Ia sudah tua. Kata dokter, ia harus banyak beristirahat. Aku takut kegiatan ini akan membuatnya cepat lelah dan sakit.

Kembali kuketuk pintu rumah tersebut, tidak ada suara yang menyahut dari dalam, namun kudengar langkah yang terdengar  makin nyata beberapa detik kemudian. Saat pintu itu terbuka, kulihat wajahnya. Kakrasana.
“Jadi, kamu tetangga baruku?” Setengah kesal, setengah terkejut, aku berusaha menatapnya dengan pandangan serius. Mana ada anak muda yang bermain dengan orang tua hingga selarut ini? Memangnya dia tidak diajari sopan santun?
“Ya. Memangnya kamu nggak tahu?? Itulah kenapa belakangan ini aku sering main ke rumahmu.” Jawaban Kakrasana pun sudah tidak lagi kupedulikan.
Aku menerobos masuk untuk menjemput Bapak tanpa seizinnya, bahkan sebelum ia selesai berbicara. Dia kelihatan bingung dan kesal atas sikapku. Aah... apa peduliku? Aku cuma mau menjemput Bapak dan membawanya pulang, tak lebih.
Bapak kutemukan tertidur di sofa. Diselimuti dan dibantali.
“Aku nggak berani membangunkannya, jadi aku bawa selimut dan bantal agar bapakmu merasa nyaman, dan nggak kedinginan.” Kakrasana tiba-tiba berdiri di belakangku. Wajahnya menatap ke arah Bapak dengan pandangan lembut. Aku sadar sikapku sangat keterlaluan.
“Tadi kami menonton video wayang milik bapakku. Bapakmu bilang sudah lama nggak nonton wayang yang asli Keraton Yogya. Ia kangen pada Antasena-Antareja, lalu aku putarkan untuknya.”
Diambilnya kaset video tersebut dan ditunjukkannya kaset tersebut padaku agar tidak dituduh berbohong. Kemudian ia menyuruhku untuk duduk.
“Terus… bapakmu di mana?” Aku memutar pandanganku ke segala arah untuk menemukannya. Sepertinya tidak ada orang tua lain selain Bapak di rumah ini.
“Sudah nggak ada,” jawabnya singkat, tak acuh. Ia pun berjalan menuju kulkas untuk mengambil dua kaleng minuman bersoda, dan memberikan kaleng satunya untukku. “Aku pastikan tidak ada racun yang kumasukkan di dalamnya. Ini masih bersegel. Kalaupun terjadi apa-apa, kamu bisa komplain kepada pabrik pembuatnya,” ucapnya lagi setelah melihatku hanya memainkan kaleng tersebut tanpa membukanya.
“Aku nggak bermaksud apa-apa, sungguh. Aku senang berteman dengan bapakmu karena mengingatkanku pada Ayah.” Ia melanjutkan kalimatnya tanpa beban. Entah kenapa, hal itu justru terdengar sinis di telingaku.
“Kenapa kamu bicara begitu?” tanyaku, takut-takut salah bicara
“Pandanganmu padaku yang membuatku seperti itu. Aku merasa sepertinya kamu memusuhiku. Seperti menciptakan pagar yang sangat tinggi di depanku. Oleh karena itu, aku berusaha sejujur mungkin untuk memberikan informasi tersebut, supaya kamu nggak salah paham.” Kakrasana kemudian meneguk kaleng minum itu, dan duduk dengan santai di depanku.

Baru kusadari, ia memakai kaus hitam bertuliskan ‘Metallica’, dan tangan kanannya bertato, membentuk gambar ular besar yang siap melahap. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ia benar–benar seorang pegawai negeri? Dan sepengetahuanku, selama aku menemani Bapak untuk menonton pergelaran wayang, belum pernah kulihat dalang yang seperti ini. Dia cukup nyeleneh. (Bersambung)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?