Trending Topic
Salah Fokus

5 May 2014


Bentukan budaya dan konstruksi sosial ikut membentuk konsep seseorang dalam memandang disabilitas. Ada yang menempatkan disabilitas sebagai perkara medis, seperti penyakit yang harus disembuhkan atau dirawat secara khusus. Tidak heran, kalimat ‘sehat jasmani dan rohani’ dalam persyaratan pencarian kerja akan membuat para penyandang disabilitas mengambil langkah mundur.
   
Sebagai konsultan program disabilitas di BWI-ILO, Friska merasa bahwa  syarat ‘sehat jasmani dan rohani’ itu seharusnya tidak perlu dicantumkan. “Karena sering kali mendiskriminasikan penyandang disabilitas. Sebab, selama ini mereka sering ditolak karena dianggap tidak sehat secara jasmani dan rohani. Bahwa mereka tidak lengkap atau cacat,” ungkap Friska, yang bersama BWI mengimbau agar Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menghapus saja ketentuan persyaratan yang berkesan diskriminatif itu.

Disabilitas juga sering dilihat sebagai charity object, yaitu objek yang butuh dikasihani. Cara pandang ini akan membuat orang hanya fokus pada kelemahan mereka. Bahwa para penyandang disabilitas adalah sosok tak berdaya yang hanya bisa menunggu uluran tangan orang. Padahal, kenyataannya sama sekali tidak demikian.

Memang, masih banyak yang belum memahami definisi dari disabilitas. Konvensi UNCRPD menyatakan: “Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki gangguan jangka panjang secara fisik (gerakan, kekuatan, ketangkasan yang terbatas), mental, intelektual (cedera pada otak yang menyebabkan kesulitan fungsi kognitif), atau sensorik/komunikasi (gangguan pendengaran, penglihatan, dan berbicara) yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya.”
   
“Disabilitas seharusnya tidak menjadi halangan selama orang tersebut memiliki kemampuan yang dibutuhkan dan keahlian untuk melakukan pekerjaannya,” jelas Friska. Sebagai penyandang disabilitas pendengaran, Friska sendiri mampu membuktikan bahwa kekurangan fisik yang dimilikinya tidak membatasi geraknya.
“Tuhan itu adil. Ketika pendengaran saya berangsur menurun di usia 9 tahun, kepekaan visual saya  makin tajam, sehingga saya mampu membaca bibir dan mengerti apa yang disampaikan orang, meski tidak bisa mendengar,” ujar Friska.
   
Melalui pekerjaannya sebagai konsultan program disabilitas, staf ILO dan BWI ini ingin menginspirasi para penyandang disabilitas lainnya, bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi penghalang untuk bisa berkontribusi secara maksimal di jalur pekerjaan formal.
  
“Kata kuncinya adalah ‘jangan berasumsi’. Uji saja dulu. Jangan hanya karena melihat kondisi fisik mereka, kemudian beranggapan bahwa mereka tidak punya kompetensi yang dicari,” tekan Friska, menanggapi keraguan para pengusaha terhadap kualifikasi dari para penyandang disabilitas yang ingin melamar kerja.
   
Salah fokus, begitulah penilaian Presiden Direktur PT Omron Manufacturing Indonesia (OMI), Irawan Santoso, saat melihat ketidakadilan peluang kerja atau diskriminasi yang harus dihadapi para penyandang disabilitas di dunia kerja. Perusahaannya berusaha memperbaiki kesalahan konsep ini dengan sebuah pijakan pemikiran yang sederhana, yaitu bahwa semua orang punya kelemahan dan kelebihan.

“Kami tidak pernah punya masalah mempekerjakan penyandang disabilitas. Kami tidak fokus pada kelemahan mereka. Kelebihan merekalah yang kami pakai. Pemikiran ini yang terus-menerus kami tekankan di jajaran manajer,” tegas Irawan.

Kini, perusahaan pembuat peralatan otomatisasi pabrik dan mesin produksi ini telah menggaji lebih dari 30 karyawan dengan disabilitas. Dengan 2.000 pekerja, berarti PT OMI telah melampaui ketentuan pemerintah yang hanya mewajibkan kuota 1% per 100 karyawan. “Dibanding para pekerja lainnya, para penyandang disabilitas ini rata-rata memiliki fokus kerja yang lebih baik dan lebih teliti daripada rekan-rekan mereka yang non-disabilitas,” puji Irawan lagi.

Melihat peluang besar saling menguntungkan ini, PT  OMI membuat sebuah gerakan di antara pelaku industri. Tujuannya untuk membuka wawasan mereka bahwa para penyandang disabilitas adalah bagian dari angkatan kerja yang berkualitas dan kompetitif.  Melalui seminar kecil dan penayangan video, pihaknya membuat showcase keterampilan dari para penyandang disabilitas yang bekerja di perusahaannya.

“Dalam tempo dua jam saja kami berhasil meyakinkan mereka, sehingga ada 40 perwakilan perusahaan yang bersedia mengambil tenaga kerja dari para penyandang disabilitas. Beberapa di antaranya adalah perusahaan-perusahan besar, seperti Toshiba dan Mattel,” ungkap Irawan, yang bekerja sama dengan Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong, balai pelatihan di bawah Kementerian Sosial yang membekali para penyandang disabilitas dengan keterampilan, seperti komputer, otomotif, desain grafis, penjahitan, dan pekerjaan logam.
   
Irawan menyadari,   menunggu pemerintah untuk melakukan usaha sosialisasi terhadap kebijakan 1%  ini akan terlalu lama, sementara industri berkembang secara cepat. “Dunia usaha sudah siap, tinggal pemerintah yang harus lebih proaktif. Padahal, mudah saja bagi pemerintah untuk melakukan upaya sosialisasi di perusahaan-perusahaan. Biayanya pun tidak mahal. Kami hanya butuh waktu persiapan dua minggu untuk bisa menjalankan seminar ini,” kritik Irawan.

Kuota 1% untuk tiap 100 pekerja bagi penyandang disabilitas >>>

Kegalauan penyandang disabilitas tak bisa dapat pekerjaan >>>


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?