Fiction
Rumah Perahu [2]

5 Sep 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Bagian 2
Kisah Sebelumnya:
Kecewa dengan pengkhianatan cinta Saul, kekasihnya, Yarima meninggalkan Makassar, dan melarikan diri ke Pulau Kalupapi, di Teluk Banggai, Sulawesi Tengah. Di sana, ia tinggal bersama suku Bajo, suku yang tinggal di laut dan mengajar anak-anak di sekolah darurat. Di sana, Yarima juga memupuk cita-citanya sebagai penulis. Namun, belakangan ia bermimpi aneh.


“Rima bangun, sudah magrib, tak baik tidur magrib-magrib.” Yarima menggosok-gosok matanya dan merapikan rambutnya.
“Lama juga aku tertidur!” Perempuan itu bangkit dan melonggok ke jendela. Di luar sana sudah gelap. Ah, kenapa lelaki asing dan mimpi menangkap bulan itu sering mengunjungi tidurnya, Yarima mendesah, ingin sekali ia menceritakan perihal mimpi itu kepada seseorang, tapi kepada siapa? Yarima memilih melupakan mimpinya sejenak.
“Rima, tadi di rumah Mama Agusno, Tonio ada tanya. Dia bilang, ini malam dia mau ke sini, ada yang dia mau bicarakan dengan Rima,” Siha menyampaikan pesan itu dengan senyum-senyum.
“Kenapa senyum?”
“Tonio itu suka sama Rima!”
“Ahh,  kamu ini, Siha. Suka bikin carita sandiri!”  Yarima tertawa.
Tonio adalah satu dari pemuda Bajo yang jarang turun melaut. Ia juga satu-satunya lelaki dewasa di pulau ini yang tak mengambil jurusan keguruan. Ia kuliah jurusan antropologi di Yogyakarta, ayahnya, Ua Bahrun, adalah juragan teripang sekaligus pemilik kios besar di ujung perkampungan. Sejak awal kedatangan Yarima di pulau ini, Tonio paling antusias. Selagi mereka sedang tertawa, suara jembatan berbunyi prak prak prak. Itu artinya ada seseorang yang sedang menuju ke pintu.
“Umur panjang, barusan torang bicarakan, dia so muncul, sudah Rima kaluar saja, sa ka rumah Mama Agusno dulu, bantu-bantu cuci piring kotor di sana!” Siha mengangkat piring kotor ke dapur, lalu menuruni tangga belakang, mengambil sampan yang tertambat di tiang rumah,  lalu ia mendayung perlahan ke rumah Mama Agusno.
“Dasar Siha! Jika Tonio bertamu, ia akan meninggalkan rumah!”   Yarima masih menggeleng-gelengkan kepala di ambang pintu dapur. Suara salam terdengar dari pintu depan.
     “Ada apa Tonio, kelihatannya ada yang penting?”
“Ini….eehhh, Mbak Rima sudah dengar kalau laut di kawasan ini akan ditimbun batu dan tanah. Pemerintah mau torang bikin rumah di darat.  Sa dilema Mbak Rima, di satu sisi pemerintah mau kami ini suku Bajo merasakan permukiman yang layak, tapi kami ini sudah bagian dari laut! Kami tak bisa jauh-jauh dari laut!”
“Warga di sini sudah tahu soal rencana itu?”
“Sudah Rima, sebagian warga setuju, sebagian lagi tidak. Tapi, kebanyakan tidak setuju. Kalau menurut Rima sendiri, bagaimana?”
“Hmmm, sebetulnya tak masalah kalau bermukim di darat atau laut. Selama ini juga kan orang Bajo sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan darat. Lagi pula, di banyak tempat, orang Bajo sudah bermukim di daratan, tinggal disesuaikan sarana dan prasarana saja yang sesuai dengan karakteristik suku Bajo. Yang masalah, kalau laut ini ditimbun, saya enggak setuju. Kalau alasan pemerintah soal rumah yang aman, toh, rumah orang Bajo tetap  bisa bertahan di atas laut, tinggal tiang-tiang penyangga rumah saja yang harus tahan air laut! Kebanyakan rumah di sini tiang-tiangnya masih kayu, lama-kelamaan kayu bisa lapuk dan digerogoti tiram. Kalau tiangnya dicor beton itu jauh lebih aman dan tahan lama.”
“Kalau kami sudah tinggal di darat, kami bukan lagi orang Bajo. Identitas kami menjadi kabur! Kami ini dikenal dengan gipsy laut! Bagaimana mungkin kami bermukim di darat!”
“Ya, seperti yang saya bilang, orang di sini tetap bisa bertahan dengan rumah di atas laut. Tinggal tiang-tiang penyangga rumahnya saja yang dikonstruksi sedemikian rupa agar tahan air laut dan empasan ombak, juga tahan lapuk!”
“Bagusnya permukiman tetap di laut saja, tiang-tiang penyangga rumah saja yang dibeton.”
“Eh, ngomong-ngomong Tonio mau minum teh atau kopi?”
“Tak usah Mbak Rima, sa pamit dulu, langit gelap sekali, alamat hujan akan turun lebat malam ini! Kapan-kapan kalau ada yang ingin sa bicarakan dengan Mbak Rima, sa ke sini lagi, ya! Tak apa, ‘kan?”
Rima tersenyum, lalu mengangguk. Rima menatap punggung Tonio ketika ia meniti jembatan kayu. Yarima percaya pemuda itu akan mampu membangun kampungnya ini.
Rima memilih duduk di beranda memandang laut. Langit serupa hamparan kain hitam. Yarima kembali memikirkan mimpinya, mimpi menangkap bulan, sungguh ganjil. Lamat-lamat terdengar suara Ma’ Rafiah  berpantun. Di kepala Ma’ Rafiah ada banyak pantun. Pantun yang membuat Yarima sering tertawa terpingkal-pingkal adalah pantun yang ini: Beras di gudang berkarung-karung/ Tidak kujual sembarang orang/ Sudah kujanda bertahun-tahun/ Tidak kukawin sembarang orang.
Perempuan tua itu tinggal sendiri di rumahnya. Kadang-kadang, jika Yarima tak mengajar, Ma’ Rafiah meminta Yarima menampi berasnya. Kedua matanya diselubungi katarak, hingga ia tak bisa melihat batu dan kutu beras. Muda-mudi Bajo Kalupapi sering membawakan Ma’Rafiah sabun batangan, gula dan kopi, mereka meminta pantun cinta Ma’Rafiah untuk mereka selipkan di surat cinta.
“Melamun lagi!” Siha menepuk lembut punggung Yarima. Siha sudah menganggap Yarima seperti kakak kandungnya.  Di bulan-bulan pertama, perempuan itu sering betul menangis, Siha sampai panik bagaimana menghibur perasaannya.
“Masuk saja, udara dingin sekali di sini, Rima!”
Dua perempuan itu lantas masuk ke dalam rumah. Debur ombak tiba-tiba terdengar keras. Rumah-rumah menjadi doyong ke kiri lalu doyong ke kanan dan tegak di posisinya semula. Serupa orang yang baru saja menenggak berpuluh-puluh botol saguer alias tuak. Laut memang rumit diramalkan. Kadang teduh, kadang badai. Bermukim di atas laut bagi Yarima serupa bermain-main dengan maut.
Hujan makin menderas. Yarima bangkit dari tempat tidur, mengatupkan jendela yang terbuka berulang-ulang. Jendela itu telah kehilangan gerendel. Cuaca dingin di luar menambah melankolis perempuan itu. Bayangan Saul kembali berkelebat di pikirannya. Ah, kenapa lelaki itu melulu? Sesak dada Yarima. Cuaca serupa ini sering betul membawa perasaan pada kenangan. Yarima ingat, pada suatu malam yang dingin, ia dan Saul berbaring, mengobrolkan hal-hal yang tak penting dipertanyakan sepasang kekasih.
Yarima melirik Siha. Suara dengkur gadis itu bisa terdengar hingga ke rumah tetangga. “Ia pasti lelah sekali!” batin Yarima. Yarima memperbaiki selimut Siha. Lalu ia kembali berbaring. Diam. Air matanya tiba-tiba merembes. Betapa menyedihkan Saul memperlakukan dirinya hingga ia harus melarikan diri dari Makassar. Yarima tertidur dan mimpi menangkap bulan itu mengunjungi kembali tidurnya.

***
Sekolah kolong ‘Mata Tujuh’ hening. Semua siswa masih berduka dengan kepergian Agusno. Bocah itu adalah ketua kelas mereka. Yarima memandang satu per satu wajah siswanya, sendu dan tak bergairah.
“Adik-adik, bagaimana jika hari ini Kak Rima membacakan kalian sebuah buku?”
“Mauuu!” serempak anak-anak itu menjawab, lalu memperbaiki cara duduk masing-masing.
Yarima sengaja memanggil dirinya sendiri ‘Kak Rima’ di hadapan anak-anak itu. Dengan begitu, anak-anak itu tak merasa berjarak dengannya. Sekolah kolong adalah sekolah yang diprakarsai ia dan Tonio. Sekolah itu berdiri di atas laut, hanya beratap dan tanpa dinding. Anak-anak Bajo Kalupapi yang orang tuanya belum mampu menyekolahkan anaknya, bersekolah di sekolah kolong itu. Yarima menamakan sekolah itu, sekolah ‘Mata Tujuh’. Sebab, anak-anak yang belajar di situ rata-rata bekerja sebagai penyelam kerang mata tujuh, mereka membantu perekonomian keluarganya dengan hasil penjualan kerang mata tujuh.
 Yarima mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya, Rare Beast, buku yang bercerita tentang seekor hewan langka karangan Charles Ogden. Yarima mulai membaca halaman pertama buku itu :
“Udara malam yang hangat terasa lembap dan menggantung di atas kota seperti selembar lap basah....”
***
Anak-anak diam mendengarkan. Siha berperahu menuju rumah Ua Bahrun untuk membeli detergen, perahunya melewati sekolah ‘Mata Tujuh’. Gadis itu melambai pada Yarima. Yarima balas melambai dan tersenyum.  Dari jauh Siha melihat orang-orang menuju rumah Ua Bahrun. Pagi menjadi gaduh. Ibu-ibu menumpuk di jendela, di pintu dan di titian kayu rumah Ua Bahrun.  Siha cemas. Jangan-jangan Tonio? Atau ada keluarga Ua Bahrun yang tertimpa musibah? Siha mendayung cepat perahunya.
“Ada apa Mama Agusno? Rame sekali?”
“Ada Mister!”
“Mister?”
Siha menyibak kerumunan orang. Ia ikut mengintip dari jendela. Di dalam sana duduk seorang lelaki berkulit putih kemerah-merahan, berambut sebahu warna hitam, lumayan lancar berbicara bahasa Indonesia dengan Tonio. Para gadis dan ibu-ibu ribut berbicara bahasa Bajo, mereka penasaran dengan asal dan tujuan lelaki itu. Siha mencuri dengar pembicaraan Tonio dan Si Mister.
“Ya, saya akan kenalkan Mister, sama teman saya di sini, Ia dari Makassar, datang ke pulau ini mengajar dan menulis buku, namanya Yarima.” Si Mister mengangguk-angguk, lalu tersenyum pada wajah-wajah yang melongo kepadanya.
Yarima sedang duduk di beranda, berhadapan dengan notebook-nya. Sesekali ia menyesap segelas air rebusan pinang, pengganti teh untuk pagi hari. Air rebusan pinang muda bisa menurunkan kolesterol dan melancarkan pencernaan. Di pulau ini Yarima memelihara kesehatannya dengan jahe, pinang, dan daun pinahong. Daun-daun itu direbusnya di panci tanah liat dan ia rutin minum setiap pagi dan menjelang tidur. Daun-daun itu ia minta dari desa tetangga.
Selain minum teh herbal, kebiasaan Yarima di pagi hari adalah menulis, karena menurutnya di waktu itulah, pikiran masih baru dan segar. Bagi Yarima, menulis serupa menguapkan beban. Catherine Lim, seorang penulis novel, pernah mengatakan, menulis akan membuat hidup kita menjadi ringan.
Jemari Yarima masih menari-nari di keyboard notebook-nya, saat Tonio dengan seorang lelaki asing, berambut hitam sebahu, cambang dan kumis yang tipis menapaki titian kayu. Melihat lelaki asing itu, Yarima teringat Taylor Kitsch pemeran Kevin Carter dalam film The Bang Bang Club. “Tapi, ahh, tunggu dulu. Sepertinya aku pernah bertemu lelaki itu! Yarima membatin.
Yarima mencoba mengingat-ingat, di mana ia berjumpa dengan lelaki itu? Sesaat Yarima terpaku. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Yarima bertanya kepada lelaki asing di depannya itu, tanpa perkenalan sebelumnya.
Dengan dahi mengernyit, lelaki itu menggeleng. Beberapa saat kemudian, tenggorokannya tercekat. Ia ingat lelaki dalam mimpinya. Lelaki inilah yang berlari bersamanya dalam mimpi menangkap bulan. Yarima tak percaya dengan penglihatannya, ia berlari ke dalam rumah. Tonio terkejut dengan sikap Yarima. Tapi, kemudian ia berpikir mungkin saja Yarima kebelet buang air besar.
Yarima menciduk air di gentong, membasuh mukanya, menepuk-nepuk pipinya sendiri, lalu ia keluar lagi, Yarima yakin matanya tak salah, lelaki inilah yang kerap berlari bersamanya dalam mimpi  menangkap bulan.
“Rima,  ini Toby, Toby Sparks! Toby berencana akan melakukan keliling pulau-pulau dengan leppa,” Tonio mencairkan suasana dengan memperkenalkan Toby kepada Yarima.
“Toby!”
“Yarima,” Yarima menyambut uluran tangan Toby dengan gemetar. Tangan Yarima dingin. 
“Silakan duduk dulu!” Yarima menyodorkan dua bangku kayu. Semua yang dikatakan Tonio, Yarima tak begitu mendengarnya dengan jelas. Ia tak fokus dengan apa yang dikatakan Tonio. Pikiran Yarima hanya tertuju pada mimpinya. Siha baru saja menambatkan perahunya di tiang dapur. Ia menaiki tangga dan kelihatanya girang sekali.
“Rima, Rima ada orang kulit putih di rumah Tonio, tampan, mudah-mudahan dia lama di sini, kita kan bisa cuci mata!”  Siha terus berteriak kegirangan sampai akhirnya ia terkejut mendapati orang yang sedang ia bicarakan ada di beranda. Si kulit putih tersenyum pada Siha yang salah tingkah.
Sepeninggal Tonio dan Toby, Yarima mendekati Siha. Hendak menceritakan perihal lelaki dalam mimpinya yang sama persis dengan Toby Sparks. Yarima juga ingin menceritakan, mengapa mimpi aneh  menadah bulan itu berkali-kali muncul dalam tidurnya. Apa makna mimpi itu? Di dunia ini keajaiban memang datang dengan cara-cara tak terduga. Tapi, melihat wajah Siha yang cemberut, Yarima urung menceritakan hal itu.
 “Rima te (tidak) bilang kalo dorang (mereka)  sudah datang!”
“Bagaimana mo bilang, kamu sudah teriak-teriak duluan dari dapur sampai sini!”
“Tapi benarkan, Rima, orangnya tampan?” Siha mengedipkan sebelah matanya.
“Hmm… entahlah!” Yarima berlalu meninggalkan Siha yang sedang membasahi setumpuk pakaian kotor. Pikiran Yarima masih tak bisa lepas dari mimpinya dan Toby Sparks. Yarima merasa, kejadian barusan saat Tonio dan Toby menemuinya, juga serupa mimpi.  

Yarima bergegas ke rumah Ma’ Rafiah, tadi perempuan tua itu menyuruhnya mengambil daging gurita untuk lauk makan siang mereka. Daging gurita lezat digoreng tepung, tak ada bedanya dengan cumi, hanya saja gurita lebih kenyal. Yarima senang berkawan dengan Ma’Rafiah. Siapa tahu Ma’ Rafiah bisa menjelaskan makna mimpinya. Yarima mendapati Ma’ Rafiah sedang menumbuk bumbu. Di atas tungku batu, dua panci sedang mengepulkan asap.
“Ma’ Rafiah masak apa?”
“Rebus kasbi (singkong), Tunggu sabantar e, guritanya masih direbus, Ma’ akan masak daun itu gurita, biar kamu rasa bagaimana rasanya masakan Ma’!” Meski matanya diselubungi katarak, Ma’ Rafiah hafal segala sudut rumahnya. Yang ia tak bisa lakukan hanyalah menampi beras.
Tangan Ma’ Rafiah yang memegang sodet, mengorek-ngorek bumbu yang menguning di dalam wajan, paduan bawang putih dan rempah daun, membuat Yarima bersin berkali-kali. Yarima berdiri di sisi Ma’ Rafiah, melihat caranya memasak.
“Aku punya nasihat untukmu, Yarima. Kelak, jika kau sudah menikah, pakai nasihatku ini. Laki-laki itu tak akan ke mana-mana, jika diikat lewat perut! Maka, kau harus pandai-pandai memasak!” 
Kadang-kadang Yarima memang menyepelekan keterampilan memasak. Ma’ Rafiah bilang, memasak itu naluri perempuan. Masakan akan membuat rumah menjadi hangat.
“Ma’, sebenarnya ada yang sa mau tanya,”
“Tanya apa? Tanya doa pengasih, doa agar terlihat cantik, doa agar laki-laki tak tahan kalau tak melihat wajahmu?”
“Bukan Ma’, bukan itu!”
“Lalu, kau mau tanya apa?”
“Ma, beberapa kali sa mimpi berlari-lari di atas hamparan laut, dalam mimpiku, bulan hendak jatuh ke laut, sa lari menadah bulan, tapi setiap kali sa lari, seorang lelaki yang tak pernah sa temui, juga ikut berlari di sa pe samping, laki-laki itu juga ikut mengejar bulan yang jatuh, Ma’ kira-kira apa artinya, ya, dengan mimpi menadah bulan itu? Sa sebetulnya tak percaya dengan yang namanya mimpi, Ma’, tapi sa juga merasa aneh, dengan mimpi itu, karena sa berkali-kali mimpi yang sama persis!”
Ma’ Rafiah melihat wajah Yarima sejenak, lalu perempuan tua itu tersenyum. “Nak, di dunia ini ada orang-orang yang dikasihani Tuhan, misalnya Tuhan memberi kita tanda sebelum kita bertemu jodoh. Ma’ pikir kelak kau akan berjodoh dengan lelaki yang ada dalam mimpimu itu!”
Kepala Yarima makin gaduh setelah mendengar jawaban Ma’ Rafiah.
Yarima tak percaya perkataan Ma’ Rafiah, berjodoh dengan orang yang kita temui dalam mimpi sama saja dengan memercayai ikan berlari-lari di jalanan. Bagi Yarima, hal-hal seperti itu  hanya terjadi di dongeng-dongeng dan cerita rakyat.

***
Dapur-dapur orang Bajo mulai berasap sejak matahari belum keluar. Ibu-ibu menghamparkan terpal di kiri kanan jalan kayu untuk menjemur teripang dan kerang mata tujuh. Ikan-ikan asin dijemur di atas atap. Anak-anak riang di jembatan, ritual mandi pagi di laut dimulai sejak matahari belum keluar hingga matahari menampakkan diri. Orang Bajo Kalupapi percaya laut bisa menghilangkan sakit flu dan demam.
Suara Mama Haena terdengar melengking di kolong rumah. Saban pagi, Mama Haena berperahu menjajakan kue kanjoli (kue singkong dengan isi abon ikan) dari kolong rumah satu ke kolong rumah yang lain. Dari dapur bunyi denting sendok terdengar berulang-ulang.  Siha bangun lebih awal, menyeduh teh dan merebus pisang raja.
Yarima bangkit dari tempat tidur, berjalan doyong ke dapur. Semalam ia telat tidur lantaran mengetik banyak ide di kepalanya hanya dengan penerang lampu minyak dan cahaya dari layar notebook-nya. “Semalam mimpi itu tak lagi bertandang dalam tidurku. Apakah karena lelaki itu sudah ada di pulau ini?” Memikirkan keganjilan-keganjilan itu membuat kepala Yarima pening.



Penulis: Erni Aladjai
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber Femina 2012





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?