Fiction
Rumah Kopi [1]

10 Jun 2015


Dalam deretan pohon kopi, di sanalah kami. Terletak di ladang yang paling ujung, berdekatan dengan pagar bambu yang membatasi ladang kami dengan ladang cokelat penduduk setempat. Terdapat rumah panggung dengan sumur di luar, sebelah sumur tumbuh beberapa pokok kelapa rendah. Di situlah kami tinggal.

Orang-orang hampir tidak pernah mengunjungi kami. Kata mereka, untuk menuju rumah kami, mereka harus mengendap-endap di antara pohon kopi. Melawan ranting atau cabang pohon kopi yang bila tidak sigap akan melukai kulit atau menghantam kepala. Dan mereka mengakui seolah-olah telah menyaksikan berulang kali bahwa ular atau kalajengking bersembunyi di antara daun-daun kopi yang jatuh, bersiap menyerang.

Tapi, kami tidak peduli. Kami melalui ranting dengan sama sekali tidak pernah terluka maupun tergores. Kami pulang dan pergi, ya, mengendap-endap. Bahkan kami bisa melakukan ini: berlari-lari sambil mengendap. Kami cinta rumah kopi kami.
Nek Limah tinggal lima ladang dari rumah kami. Ia mengunjungi rumah kami dengan sukacita.

“Kopi terbaik yang pernah aku minum,” ungkapnya. Ia penikmat kopi kami.
Pada  tiap pagi di hari Sabtu seperti ini, satu laki-laki berperut buncit datang. Ia baru di perjalanan saja, kami tahu ia sudah datang.
“Aku datang… Aku datang kembali…!” Deru motornya dan nyanyian dangdutnya yang khas menjadi cirinya.
Butuh waktu sekitar lima belas menit bagi laki-laki itu untuk mencapai pintu rumah kami. Ia seperti kami: mencintai pohon-pohon kopi.
Setiba di rumah, ia tersenyum, mendendangkan sebuah lagu dangdut, menaiki beberapa anak tangga, dan duduk di muka pintu rumah. Berhenti bernyanyi, ia menghirup napas. “Hunian yang menarik,” katanya dan kembali melayangkan pandang ke arah pohon kopi.
Ia lalu membuka tas kecil yang dililitkan di perutnya, menyerahkan uang kepada Ibu dan mengambil bungkusan bubuk kopi lain.
“Aku buru-buru,” ujarnya, lalu turun dengan tergesa-gesa.
Tapi, ia tidak melalui jalan yang sama ketika ia pergi dan ia bersiul-siul menelusuri pohon-pohon kopi dan berkali-kali berhenti ketika ia menemukan buah kopi yang membuatnya terkagum: merah dan montok.
“Hei, kau terburu-buru!” aku menggodanya.
 “Aku tidak pernah tergesa-gesa untuk mengagumi kopi-kopi.” Ia diam sebentar, lalu meneruskan, “Untukmu Seulanga… dan adikmu!” teriaknya terkekeh, genit. Kami sudah terbiasa dengan dia dan rayuan gombal. Ia laki-laki berperut buncit dengan empat anak.
Ia meneruskan perjalanan, kemudian setengah jalan ia akan berbalik arah sehingga kami bisa menemukan wajahnya yang terkekeh-kekeh.
“Aku akan kembali satu minggu kemudian!”
Ia tidak perlu berteriak, kami sudah tahu.

***
Sekitar sepuluh tahun silam kami menamatkan sekolah menengah pertama dan tidak melanjutkan sekolah. Sekarang, tiga puluh baris pohon kopi menutup pemandangan rumah kami.  Itu adalah pekerjaanku dan Cempaka. Membersihkan daun-daun, memotong ranting-ranting yang sudah tandus, dan dua hari sekali memetik buah kopi merah.
Kami melakukan dengan ketulusan sempurna.

Mendapat ketulusan, seolah mengerti, kopi-kopi tumbuh subur menakjubkan. Pohon-pohon besar dengan cabang-cabang gagah. Buah kopi montok dan berbuah sepanjang tahun, meskipun panen raya hanya beberapa kali saja dalam setahun.
Selepas berkeliling pada sepuluh atau dua puluh pohon, kami melepas lelah, memainkan serune kalee bergantian. Itu dia hiburan kami. Serune kalee, alat musik tradisional, nyaris raib di tanah kami. Kami menjadi perempuan yang dianggap menakjubkan karena bisa meniup serune.

Ayah pernah berkata, Ibu dahulu membuat sendiri serune kalee. Dari kayu kuat, keras, tapi ringan. Cara membuatnya, batang kayu direndam tiga bulan, ditarah sampai tersisa hati kayu. Lalu bor dan bubutlah hati kayu dari atas hingga bawah, membentuk lubang panjang lurus yang mempunyai garis tengah 2 cm. Nada akan keluar dari lubang sebanyak tujuh buah, enam di atas, satu di bawah. Jadilah serune kalee.
Semasa kami kecil, saat Ayah masih hidup, Ayah selalu memainkan di hadapan kami lagu dododaidi1.

Syahdu dan membius.
Tiada TV, radio, dan hiburan apa-apa di rumah, menjadikan kami begitu mudah jatuh cinta pada serune sehingga Ayah mengajari kami memainkan itu hingga kami mahir.
***
Kata teman-teman, aku kehilangan sepenuhnya masa bermain dan masa gadis. Kata mereka, tidak akan ada laki-laki yang mendekat, jika aku dan Cempaka masih bertahan di rumah kami.
Mereka salah. Mereka tidak tahu betapa menenangkan mengendap-endap di bawah batang kopi menuju rumah kami. Di dalam rumah, nikmatnya kopi dan ubi bakar disandingkan dalam mulut. Dan serune kalee bersama kami. Tentang jodoh, jodoh tidak akan lari, bukan?
***
Meninggalkan rumah tiga hari lamanya rasanya aneh dan sedikit mengkhawatirkan. Tapi, bibi kami akan menggelar pesta perkawinan salah satu anaknya pada hari Sabtu. Dan kami sekeluarga pergi meninggalkan rumah kopi kami.
Siapa yang akan memasuki rumah kami jika kami tak di rumah? Begitulah kerisauan kami. Tapi, kami tidak memiliki barang berharga sehingga tidak perlu risau seseorang akan memasuki rumah kami.
Sepulang dari rumah Bibi menjelang magrib, aku menyempatkan diri berkeliling dan menemukan banyak sekali daun-daun jatuh. Aku menjadi tidak sabaran menanti hari menjadi pagi.

Pagi pukul sepuluh, aku sama sekali tidak menemukan  serune. Hal ini sangatlah merisaukan dan mencemaskanku. Sudah seluruh celah rumah kami cari, namun serune itu tak juga ditemukan.

Kami tidak saling menyalahkan. Kami terus mencari sampai putus asa hingga mengambil kesimpulan bahwa serune raib.

Ketika kami mulai menduga-duga bahwa seseorang telah mencuri serune sehingga nama-nama yang kami terka sebagai pencuri serune telah bermunculan. Nek Ramlah renta, sepertinya sama sekali kehilangan gairah untuk memiliki benda tidak penting bagi kehidupannya.

Praduga yang tersisa itu si pedagang. Tiba-tiba aku teringat pada hari Sabtu sebelum mengunjungi rumah Bibi, laki-laki itu tiba-tiba saja meminta untuk diajarkan bagaimana meniup serune.
Kami pun sepakat menetapkan, jikalau laki-laki pedagang itulah si pencuri serune. Apalagi, setelah itu, selama dua bulan pedagang itu tidak datang. Kami pun yakin benar bahwa dialah pencuri itu.

Namun, ketika suatu pagi ia mengunjungi kami dengan keceriaan yang tidak tampak dibuat-buat dan sama sekali tidak mempertontonkan perasaan salah tingkah gaya khas pencuri, kami tahu bahwa tidak seharusnya kami menjadikan ia tersangka pencuri.

Ceritanya, dua bulan ini ia mencoba mencari penghasil kopi lain dan ia kecewa akan hal itu. Kami tidak terlalu bersemangat untuk menanggapi pembicaraannya. Hingga ia pulang, ia sama sekali tidak mendapatkan keceriaan yang lazimnya kami sunggingkan kepadanya.
Ketika dua hari kemudian ia kembali ke rumah kami, kami bertanya-tanya perihal apa yang mampu membawanya dalam waktu yang begitu cepat.

Kulihat ia tidak ceria. Di tangannya ada satu bungkus kopi yang dibeli dari tempat kami kemarin. Menjumpai Ibu, ia berbicara dengan pelan. “Kopi ini tidak senikmat biasanya. Ada apa gerangan?”
“Serune, serune kami telah raib. Itu sumber kenikmatan kopi kami. Di sanalah kebahagiaan kami terletak,” kataku sendu.
Ia berlalu dari hadapan kami. Ia melewati jalan sama dengan jalan yang dilalui ketika ia menuju ke rumah kami. Ia tidak berbalik dan berteriak seperti biasanya.
Nek Limah yang mengunjungi kami pada hari itu, terheran. “Hmm.... Kopi hari ini tidak senikmat biasanya. Ada apa gerangan?”
“Serune kami telah raib. Itu sumber kenikmatan kopi kami. Di sanalah kebahagiaan kami terletak.”
 “Jangan meletakkan kebahagiaan pada suatu benda. Jika ia raib, maka hilang seluruh kebahagiaan itu. Bahagia itu di sini,” katanya sambil menyentuh dada.
“Dan kau Mala, mengapa turut juga bersedih?”
Maka Ibu menjawab, “Kebahagiaanku ketika menemukan anak-anakku bahagia. Mereka murung, begitulah pula aliran perasaan yang masuk ke dalam tubuhku.”
***

Aku menjadi pendiam. Begitu juga Cempaka. Ibu terbawa dalam suasana diam yang kami ciptakan. Ibu masih memancing obrolan di sela menumbuk biji kopi, tapi kami diam saja.
Menemukan kami diam, Ibu dengan suara ragu-ragu menawarkan  membeli sebuah serune baru. Aku dan adik saling bersitatap.
 Sebelum berlalu dari kami, Ibu berucap, ”Di mana kita membeli serune itu? Apakah mahal? Dan dari mana kita dapatkan uang?”
Membeli serune kalee baru, aku dan Cempaka tak tertarik membahasnya.
Merasa bosan dengan rumah, aku dan Cempaka hampir  tiap petang keluar rumah. Sekadar bersama teman-teman sebaya, berbicara tentang siapa yang akan menikah, laki-laki tampan di kampung, dan sebagainya.
 Aih, betapa membosankan kehidupan silamku di rumah kopi.

***
Karena malas, kami tidak lagi mengelilingi pohon-pohon kopi  tiap hari. Ketika kuterka-terka buah kopi sudah banyak memerah, baru aku dan Cempaka mengelilingi pohon-pohon kopi.
Kami mulai mengeluhkan ranting-ranting yang menggores kulit. Daun-daun kopi jatuh membosankan untuk dikumpulkan. Sembari memetik buah kopi, kami merutuk-rutuk, tidak seharusnya ranting-ranting terlalu dini menjadi tua.

Kami melakukan pekerjaan terburu-buru. Berada di antara pohon kopi dengan daun-daun kopi memenuhi tanah tempat berpijak, dan kami mulai menduga-duga, bagaimana jika ular sedang bersemayam di bawah daun itu.  Dan kami sadar, berada terlalu lama di sana bukan ide yang baik.

***
Barangkali pohon-pohon kopi mempunyai perasaan. Saat ini kecewa, dan mereka sedang melampiaskan kekecewaan akan kami. Sudah sebulan ini pohon-pohon sama sekali tidak berbuah, satu batang pun tidak berbuah. Ini pertama kali terjadi setelah bertahun-tahun kami merawat kopi-kopi itu.

Dan aku, Ibu, dan Cempaka risau akan pohon-pohon kopi kami. Tapi, ketika sebulan kemudian pohon-pohon kopi kami mulai berbuah kembali, kekhawatiran kami pun berlalu sudah.

Namun, suatu pagi, aku mengelilingi pohon-pohon kopi, aku menemukan buah kopi berjatuhan ke tanah. Buah besar, buah merah, buah kecil-kecil dan berwarna hijau, seluruhnya jatuh. Aku berlari ke pohon lain, terburu-buru, buah kopi telah memenuhi permukaan tanah. Aku berteriak, gamang. “Ibu, pohon-pohon kopi seperti enggan menemani kita lagi!”
Terdengar suara motor dari jalanan. Tak lama, seorang laki-laki berperut buncit, ia membawa serune, mulai menerobos pohon-pohon kopi.(f)

************
Alimuddin Mansu

Keterangan:
1. Lagu menidurkan anak dari Aceh. Syairnya berisi nasihat dan rasa tidak takut untuk berperang.





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?