Fiction
Rahasia-Rahasia [4]

11 May 2012

<< cerita sebelumnya

Bar malam itu tampak pengap. Musik ingar-bingar tak mampu mengusir lamunan-lamunan liar. Ternyata, aku tak hanya takut mimpi. Aku takut sepi, aku takut mati. Kuteguk segelas minuman ringan, lalu pergi lagi. Di lobi, kuambil dua kuntum mawar jing-ga, warna kesukaan Andari, dan kusembunyikan di balik jaket hitamku. Sesungguhnya, aku tak suka jingga, tetapi ini akan menjadi bunga pertamaku untuknya.

Petugas hotel menawariku untuk mencarikan taksi. Aku tak menolaknya. Aku ingin segera berlari dari riuh malam dan keriuhan basa-basi, dunia yang sebelumnya kuakrabi. Lalu, aku tak ingat di penggalan jalan mana, saat taksi berhenti. Sopir taksi minta izin keluar untuk membeli rokok sebentar. Namun, tak lama kemudian, menghambur ke dalam dua pria bertubuh gempal. Satu orang menodongkan sesuatu di perutku. Putih, berkilat, dingin. Yang lain berbicara seperti berdesis, meminta dompet dan ponsel. Namun, dia tak sabar. Digerayanginya tubuhku. Teringat mawar jingga itu, aku meronta. Mereka memukulku bertubi-tubi. Lalu, aku terlontar ke lorong putih ini.

“Tragis. Tragis sekali.”

Aku mencoba tak berpaling. Suara di sampingku itu sama seperti bisik-bisik sebelumnya yang datang dan pergi.

“Kenapa kamu berakhir setragis itu, Reng?”

Aku tersentak. Di sampingku berdiri pria muda. Rambutnya ikal dan hitam. Perawakannya kecil, kulitnya gelap, dan matanya cekung tajam. Aneh, tulang pipi itu rasanya kukenal.

“Kamu ingat tidak sewaktu kita berenang di kali banjir itu? Teman-teman menantang kita untuk berenang melewati kolong jembatan. Aku mengikuti arus hingga ke mulut jembatan. Air meluap menutupi rongga di bawahnya. Saat aku bersiap-siap membenamkan kepala, kamu menarikku. Kalau mau mati muda jangan konyol, katamu. Ternyata, beberapa tahun setelah itu, kudengar kamu kabur ke Jakarta menumpang kereta. Orang-orang bilang, kamu menumpang gelap, bekalmu cuma tas plastik berisi pakaian. Kita memang sama-sama nekat. Tapi, aku bodoh, dan kamu pintar.”

Aku menatapnya, berusaha mengingat satu dari wajah-wajah yang berkelebat di masa kecil. Ya, ya, aku ingat dia.

“Kamu....”

“Kamu lupa aku, Reng? Iya, di teve dan di koran orang memanggilmu Pak Bekti. Tapi, bagiku, kamu tetap Gareng.”

“Tidak, aku tidak lupa. Kamu Topo, Sutopo, ‘kan?”

Pria itu tertawa.

“Kamu lupa, ya? Tidak apa-apa. Kamu kan orang besar. Bawah­anmu banyak. Sedangkan aku cuma jualan gado-gado di perempatan jalan. Beberapa kali aku coba mangkal di dekat kantormu, berharap kamu bisa melihatku. Tapi, aku diusir satpam. Bodohnya aku. Waktu itu, mana berani aku mengaku teman? Mana ada tukang gado-gado berteman dengan pengusaha besar?”

Aku melihat sekeliling. Jalan ini mendadak sepi, seolah semuanya menepi, meskipun hari belum tampak berganti. Di sini tak ada siang atau malam hari.

“Dulu aku suka mengeluh. Aku jenuh. Keluargaku membosankan. Istriku tak pernah memberi perhatian, terlalu capek jualan. Dulu aku suka berpikir, enak, ya, jadi kamu, punya istri secantik itu. Dulu aku ingin tukar tempat dengan kamu, Reng.”

Kutatap seonggok tubuh menggelembung itu. Perutnya menghitam oleh guratan luka. Tersembunyi di balik rumpun bambu rimbun dan ilalang, ia seperti boneka rusak yang terasing dari keramaian. Siapa yang akan percaya tubuh membusuk itu pernah punya kehidupan yang diidamkan banyak orang?

Aku berjalan menjauh. Sutopo mengikutiku. Tiba-tiba aku malas mengingat kisah-kisah dulu, yang kini terlihat bagai partikel debu. Remeh semua, tak terasa. Aku heran, mengapa Sutopo masih juga membandingkannya.

“Reng!” Sutopo menjajari langkahku. Aku berhenti, menatap matanya, yang seketika mengingatkanku pada sesuatu.

“Ah, kamu bukan Sutopo!”

Dia tertawa. “Gareng... Gareng...! Aku bukan Topo. Aku Marno, kamu lupa, ya?”

Aku ikut tertawa. ”Tidak. Aku tidak lupa!”

“Masih ingat ketika kita bertanding main bola lawan Kampung Pucung itu. Betul, ‘kan?”

Aku terdiam, mengingat-ingat.

“Kita kalah, tapi kamu yakin mereka main curang. Kamu tidak terima, lalu kamu tantang mereka berkelahi. Kamu orang paling nekat yang pernah kukenal, Reng. Kadang-kadang kamu sinting, tapi kamu tidak pernah takut melawan.”

Aku tersenyum. Mengingat masa lalu membuatku merasa perkasa.

“Itulah. Kematianmu tragis untuk orang seberani kamu, Reng,” Marno menggelengkan kepala. Kuangkat bahuku.

“Aku tidak tahu, No. Aku tidak tahu apa-apa....”

Tiba-tiba aku merasa lemah, tak lebih berdaya ketimbang seorang penjual gado-gado di sepetak pojok di kantorku.

Hari Keempat
Andari menatap punggung Rudi yang menghilang di balik pintu. Kepalanya mendadak pening. Ini tak mungkin, ini tak mungkin. Aku tahu dia mengkhianatiku selama ini, namun bukan begini. Andari membalik-balik halaman agendanya. Apa yang akan dilakukannya dengan kehidupannya yang terjalin rapi dan terkendali? Semuanya porak-poranda kini.

Andari menyangga pelipisnya dengan jemari. Peluhnya tak tertahan oleh sejuk ruangan berpendingin. Dibayangkannya Bekti mengendap-endap di balik punggungnya, sibuk dengan kehidupannya sendiri. Tidak, Andari tak merasa dikhianati. Dia hanya letih. Semua rahasia ini tersimpan rapi. Kehidupan Bekti dan kehidupannya tertata di atas jalinan rapi rahasia. Dan mereka sepakat untuk tak mengusiknya. Dia tak mengerti, mengapa Bekti meruntuhkan semua yang tertata.

“Tetapi, ini sudah empat hari, Bu. Saya khawatir ada apa-apa dengan Bapak,” kata Rudi tadi.

“Apa Bapak sudah sering membangunkan kamu dan keluar malam-malam begitu?” selidik Andari.

Rudi terdiam.

“Cuma beberapa kali,” tuturnya, setelah berpikir lama.

“Ke mana?”

“Bar, hotel, restoran.... Ibu tahu tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh Bapak. Saya tidak pernah menemani. Bapak selalu pulang naik taksi, sebelum pagi.”

“Rud, kamu bisa tidak menjaga rahasia ini?”

“Tapi, Bu. Mungkin, Bapak sedang dalam bahaya.”

“Itu urusan saya. Kamu tidak perlu tahu. Kamu tutup mulut saja. Saya akan mengurus semuanya.”

Andari memandang fotonya di atas meja. Dia dan Bekti tersenyum saling memeluk di depan air terjun Niagara. Mungkin, itu bukan cinta. Apa lagi yang bisa dilakukan oleh sepasang suami-istri di depan kamera, selain berpura-pura berpelukan mesra?

Andari membanting agendanya. Mengapa dia harus mengurusi tetek-bengek rahasia ini? Mengelupasnya satu per satu seperti kulit bawang, berlapis namun memerihkan? Semuanya sia-sia. Waktu terbuang percuma.

Andari memainkan pulpennya. Dia harus melakukan sesuatu, tetapi apa? Dia tak akan membiarkan kecerobohan konyol ini terpampang di media. Bagaimana bisa suami seorang calon wali kota keluyuran tengah malam, seperti tak punya keluarga yang menaunginya? Bukankah seorang istri harus memberikan suaminya cinta sebelum mengayomi masyarakat di luar sana?

Andari memijit keningnya. Aku tak bisa, aku tak bisa. Aku bukan wanita perkasa. Aku takut gagal, aku takut kecewa. Semua citra yang kubangun terempas sia-sia.

Mengusap peluhnya, Andari berpikir cepat. Tak dibiarkannya peristiwa ini memamerkan cacat ke mana-mana. Semua harus tampil rapi sempurna. Karenanya....

Andari menekan interkom.

“Sari, sini!”

Wanita muda itu masuk tergopoh-gopoh.

“Duduklah.”

Sari mengernyitkan keningnya. Raut wanita yang sudah dianggapnya ibu itu tampak tak biasa. Sari duduk, menunggu. Selama delapan tahun bekerja di sini dia terbiasa patuh, mencatatkan kata demi kata, tanpa mengubahnya, tanpa menyela. Seolah, kata-kata itu adalah sabda, seperti mantra.


Penulis: Sofie Dewayani
Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?