Fiction
Rahasia Diri [3]

29 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Setelah selesai wawancara, Tumpak minta izin melihat-lihat rumah Vivi, sekaligus memotretnya.

“Cantik sekali fotonya, Vi. Tapi, kenapa foto yang dipajang hanya foto Vivi dan Tante saja?” tanya Tumpak, ketika melihat koleksi foto Vivi dan ibunya yang tergantung cantik di dinding rumahnya yang mewah.

Vivi tersenyum. “Aku kan anak tunggal, Bang. Hmm... pasti Bang Tumpak nanti akan bertanya tentang foto papaku, ’kan? Sebelum ditanya, aku akan menjawab, papaku tidak senang difoto. Saat ini ia sedang berlayar ke luar negeri!” ujar Vivi.

Karena sudah menebak bahwa Tumpak akan menanyakan ayahnya, Vivi sudah menyiapkan jawaban. Meskipun, ia sendiri sedih karena tidak pernah mengetahui wajah ayahnya.

Henny terkesiap. Ia tidak menyangka Vivi akan berkilah seperti itu. Sebenarnya, ia tidak menghendaki putrinya berbohong. Namun, untuk menceritakan hal yang sebenarnya, Henny belum memiliki keberanian. Apa kata orang nanti ketika tahu bahwa Vivi Natali tidak pernah tahu keberadaan ayahnya, sementara ibunya adalah seorang pembunuh. Tidak! Aku tidak akan mengatakan semua ini pada Vivi. Aku tidak ingin karier anakku hancur karena aib ini. Henny berbisik dalam hati.

“Tante, kalau boleh tahu, bagaimana masa kecil Vivi?” tanya Tumpak.

Henny bingung harus bercerita apa. Karena, ia baru membesarkan Vivi setelah Vivi berusia 10 tahun.

“Sama seperti anak kecil kebanyakan. Ada nakalnya, ada lucunya. Dulu, ketika Tante masih bekerja sebagai penjahit, Vivi ikut-ikutan menjahit. Sayangnya, ia menjahit pada kebaya yang sudah siap diambil, bukan pada kain perca. Akibatnya, kebaya itu rusak, sehingga Tante harus membayar ganti rugi,” kata Henny, tertawa geli.

Vivi ikut tertawa. Ia ingat, dirinya memang nakal.

”Oke, senang sekali saya bisa ngobrol banyak dengan Vivi dan Tante. Sekarang saya potret, ya,” kata Tumpak.
Ketika difoto, tangan Henny merangkul Vivi. Rangkulan untuk melindungi putrinya tercinta. Ya, bagi Henny, Vivi adalah segala-galanya. Permata hatinya, yang setiap saat harus selalu dijaga, jangan pernah rusak atau ternoda. Ia tidak mau putrinya hancur di tangan pria. Cukup dirinya yang mengalami kehancuran.

Di sebuah teras rumah di kawasan Deli Serdang, Medan, seorang wanita setengah baya terlihat begitu serius membaca sebuah majalah. Wanita itu bernama Mira. Awalnya, ia membaca majalah hanya untuk menghilangkan kejenuhan setelah lelah merapikan rumah. Maklumlah, di rumahnya yang besar itu ia hanya tinggal seorang diri.

Troy, putra semata wayangnya dari pernikahannya dengan Toni, kini bekerja dan tinggal di Belanda. Sedangkan Bram.... Ah, pria ini sudah lama hilang dari kehidupannya. Semula, ia pikir, Bram akan menjadi suami yang setia dan bersih dari perselingkuhan. Namun, nyatanya, sama saja dengan Toni, mantan suaminya. Di rumah, Bram memang bersikap mesra. Tapi, di luar rumah, ia sama berengsek-nya. Ia juga berselingkuh.

Tentu saja, hal ini membuat Mira geram. Ia lalu memaksa Bram untuk meninggalkan rumahnya, tanpa boleh membawa harta apa pun, kecuali baju yang melekat di tubuhnya. Untunglah, semua harta kekayaan yang dimilikinya atas nama Mira. Apakah ini hukum karma? Entahlah…. Dulu, ia begitu gigih merebut Bram dari pelukan Henny, tanpa mau peduli pada keadaan Henny yang saat itu tengah hamil muda.

Helai demi helai halaman majalah dibukanya. Semula Mira tidak begitu serius membacanya. Hanya judul-judulnya saja, lalu dilewatkan ke halaman lain. Namun, ketika matanya tertuju pada halaman profil, matanya terbelalak. Lebih dari tiga kali ia memeriksa foto yang terpasang di majalah itu. Seolah tidak percaya, ia membaca artikelnya lagi berulang kali: ”Masa kecil Vivi Natali tidak dilewati dengan kebahagiaan yang sempurna. Karena, ia hidup berdua saja dengan ibunya, Henny Tiurma, yang seorang penjahit. Sementara, sang ayah, pergi berlayar dan entah kapan akan kembali.”

Hah, Vivi Natali adalah anak Henny? Wanita yang pernah menghancurkan hidupku? Rupanya, ia masih hidup. Hmm… aku tidak bisa membiarkan dirinya hidup lebih lama dan menikmati kebahagiaan. Aku harus menghancurkannya. Harus!

Amarah Mira kembali menggelora. Dadanya seakan mau meledak. Seperti sebuah film yang diputar di depan mata, ingatannya diserbu oleh cerita kelam sekitar 20 tahun lalu.

”Mengapa harus dibunuh? Bukankah kau sudah mendapatkan Bram?” tanya Aron, ketika Mira memintanya untuk membunuh Henny, istri Bram.

“Aku tidak mau ada wanita lain dalam kehidupan Bram. Kau ingat, bagaimana Toni yang dulu aku percaya sebagai seorang suami setia, ternyata ia juga sanggup melakukannya. Kau tentunya juga masih ingat, bagaimana kita bermain kucing-kucingan untuk menjebak perbuatan Toni, yang semula tidak mau mengaku?”

“Ya, ketika itu kau sampai mau bunuh diri,” ujar Aron, mengingatkan.

“Ya, waktu itu aku kalut. Aku bingung. Rasanya, hidup ini sudah tidak ada artinya. Toni yang aku percaya justru berkhianat. Bahkan, ia tega meninggalkan aku, tanpa memedulikan keadaanku dan Troy, yang waktu itu masih berumur 1 tahun. Sekarang, aku tidak mau peristiwa itu terjadi lagi dalam kehidupanku. Aku tidak mau ada wanita lain, selain aku, dalam kehidupan Bram.”

“Tapi, bukankah mereka sudah bercerai?” selidik Aron.

“Menurut Bram begitu. Tapi, sampai sekarang surat perceraian itu belum pernah aku lihat. Namun, aku tidak peduli apakah mereka sudah bercerai atau belum. Yang pasti, aku tidak mau Bram berhubungan lagi dengan mantan istrinya. Apalagi, yang aku dengar sekarang, Henny tengah hamil. Bisa-bisa, ia kembali berpaling dan meninggalkanku!”

“Hamil?” tanya Aron, terenyak. Ia harus membunuh wanita yang sedang berbadan dua?

“Kenapa? Kau takut? Kalau kau tidak mau, tidak masalah. Aku akan membayar orang lain untuk melenyapkannya. Tapi, kembalikan dulu uang yang pernah kau pinjam!” ancam Mira.

Aron bimbang. Demi bayaran berapa pun, ia tidak sanggup membunuh seorang wanita. Apalagi, wanita yang tengah mengan­dung. Tidak tega. Namun, saat ini ia membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan ibunya yang mengalami gagal ginjal. Seminggu 2 kali ibunya harus cuci darah. Itu memerlukan banyak sekali biaya. Satu-satunya orang yang bisa membantunya hanyalah Mira, karena ia memang kaya.

“Bagaimana?”

Aron mengangguk lemas. Tidak ada pilihan lain. Kondisi ibunya yang makin lemah harus segera diselamatkan. Berapa pun biayanya.

“Nah, begitu, dong! Ini uangnya. Baru sebagian. Sisanya akan aku berikan setelah kau berhasil menjalankan perintahku,” ujar Mira, sambil menyerahkan tumpukan lembaran uang ratusan ribu di atas meja.

cerita selanjutnya >>

Penulis : Dennise





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?