Fiction
Prahara [8]

13 May 2012

<< cerita sebelumnya

“Maaf, Bu, maafkan Bagas kalau terus-menerus merepotkan Ibu, membuat Ibu khawatir, malu....”

“Ibu juga pernah bangga pada kamu. Bangga karena kamu berusaha menegakkan prinsip. Biarpun terkadang lebih banyak keras kepalanya, tetapi kamu sudah berhasil. Kamu bisa menemukan jalanmu dan sukses. Ibu bangga.”

Dering telepon genggam mengejutkan dan membuyarkan kenangan Bagas. Ia ambil telepon genggamnya di saku jaket, ketika tiba-tiba ketakutan mendengar berita buruk menyeruak. Jangan-jangan kabar buruk dari Gunung Madu. Dadanya berdegup lebih keras lagi. Cepat ia matikan ponsel, menyalakan mesin mobil, memutar, lalu masuk kembali gerbang tol Cikampek, mengarahkan mobilnya ke Bandara Soekarno-Hatta. Ia akan terbang ke Yogya dan melanjutkan perjalanan ke Gunung Madu dengan taksi.
|
Belasan karangan bunga diturunkan ke halaman rumah Wulan yang penuh sesak. Anak-anak berseragam sekolah berkerumun. Ambulans masuk perlahan-lahan. Beberapa orang bergegas menyongsong ke pintu belakang. Dokter Hendry yang pertama turun. Diikuti Prasojo dan Harini, lalu si kembar.

Air mata Wulan menitik dalam kegembiraan tak terkira.

“Ibu harus banyak istirahat,” kata Dokter Hendry, ketika membantu Wulan naik tempat tidur.

“Aku heran dengan dokter sekarang. Orang sakit, kok, obatnya cuma disuruh istirahat, istirahat, dan istirahat.”

Dokter Hendry dan Prasojo tertawa ringan. Tanpa bicara lagi mereka melangkah keluar, membiarkan Wulan beristirahat.

Dalam kesendiriannya di kamar, Wulan merasa ada sesuatu yang kurang. Ia ingin sekali tangan Bagas membelai rambutnya. Lalu, membenarkan letak selimutnya. Wulan tidak meminta agar Bagas dikabari bahwa ia sakit untuk menunjukkan ia cukup kuat bertahan tanpa Bagas. Agaknya, Harini dan Prasojo bisa memahami keinginannya. Agaknya, mereka pun berpihak padanya. Ia merasa ada permusuhan dalam keluarga ini. Bagas dimusuhi oleh semua orang.

Timbulnya permusuhan ini malah membebani pikiran Wulan. Semalam ia mulai menyadari. Tak ada gunanya mengembangkan permusuhan. Lebih dari itu, tak ada manfaatnya membenci Cici. Ia merasa bersalah karena telah membiarkan kebencian bersarang di tubuhnya. Membenci orang yang belum tentu bersalah. Ya, bukankah Cici tidak pernah berbuat salah padanya? Kenapa ia membenci Cici? Justru rasa bersalah yang meringankan beban pikirannya. Yang dengan segera menolong jantungnya bekerja dengan normal kembali.

Ia tidak setuju jika Bagas menikahi Cici. Tetapi, di pihak lain ia telah mau mengerti dan secara tidak langsung memaafkan keluarga Wahono. Ia mengakui, ketidakkonsistenannya dalam bersikap itulah yang membuatnya sakit. Bukan tidak mungkin Bagas juga akan memusuhinya.

Cici tak mau orang tahu tentang rahasianya. Rahasia bahwa dia ikut membiayai produksi Escape from Java. Rahasia itu perlu dijaga karena ia tidak mau dicecar pemberitaan yang memojokkan. Jangan-jangan akan timbul tudingan bahwa dia sengaja menuntut cerai dari Ferdy untuk memperoleh uang itu. Atau, jangan-jangan karena penggunaan uang itulah mereka bercerai.
Perceraian mereka telah sah. Tetapi, hubungan mereka tidak terputus. Sebelum Bagas menelepon Cici, Ferdy baru saja meninggalkan lokasi syuting. Cici tidak merahasiakan pertemuan itu dari rekan-rekannya. Ia yakin semua kru dan pemain film akan merahasiakannya demi kelangsungan produksi. Meski, tak tertutup kemungkinan ada kru yang membocorkannya pada wartawan. Citra tahu itu. 

Bahwa Bagas segera tahu keberadaan Ferdy di lokasi, dan segera menjatuhkan penilaian negatif terhadap Citra, itu sama sekali bukan kesalahan Tanti. Kebocoran itu terjadi semata-mata karena keisengan Bagas. Keisengan yang mengakibatkan kecemburuan dan kemarahan luar biasa. Justru karena itu, dalam perjalanan ke Bandara Soekarno-Hatta Bagas segera menghubungi Ismono di kantor polisi Gunung Madu.

“Ya, Bunga terkenal cantik di sini. Saya tahu, tapi tidak kenal. Apa yang bisa saya bantu, Mas Bagas?”

“Is, ini soal pribadi. Tapi, kupikir kamu bisa bantu.”

“Sejauh tidak melanggar hukum.”

“Sedikit menyerempet, tidak sampai melanggar.”

Bagas menceritakan pertemuannya dengan Bunga di kolam renang. Lalu, katanya, “Dia dipercaya menyampaikan pesan yang mestinya sangat rahasia.”

“Tapi, nyatanya tidak jadi rahasia lagi, Mas. Karena, Bu Wulan mendengar langsung dari Bunga. Entah bagaimana caranya.”

Bagas baru paham kenapa ibunya mengetahui pesan Cici kepadanya. “Kamu jangan kalah hebat dari ibuku, Is! Yang jelas Bunga dipercaya Cici. Aku yakin, masih banyak informasi mengenai Cici yang diketahui Bunga. Ini benar-benar soal pribadi, Is. Kamu boleh menolak, kalau permintaanku ini membahayakan posisimu.”

Mendarat di Bandara Adisucipto dan sembunyi-sembunyi mengintip lokasi syuting, Bagas melihat Tanti begitu dekat dan akrab dengan Cici. Namun, keberadaan orang asing, bukan orang film maupun petugas bandara, di lokasi syuting mudah dikenali. Tanti yang pertama kali mengenali Bagas.

Merah-padam wajah Tanti mendapati Bagas di lokasi. Tercekat kerongkongannya ketika Bagas berbincang dengan Cici yang juga serba salah.

“Sendiri saja, Mas?” tanyanya.

“Dengan teman. Tapi, dia tak tahan panas, jadi pulang lebih dulu.”

“Tidak tahan panas?”

“Ya, dekat dengan artis terkenal kan panas,” kata Bagas. Dadanya bergejolak hebat. Ia kecewa dan marah sekali karena merasa dibohongi. Dibohongi? Bagas lekas memutar otak. Berkaca, seperti dikatakan ibunya. Ya, kenapa dia harus kecewa dan marah? Atau, karena Cici pernah menyampaikan pesan khusus lewat Bunga dan dengan sendirinya berhak atas Cici?

“Aku sudah merenungkan pesan kamu lewat Bunga.”

Bagas menarik tangan Cici agar menjauh dari kru dan pemain lain. Hati Cici berbunga.

“Ibu juga mendengar pesan kamu lewat Bunga.”

Sebelum penerbangan ke Yogya tadi, dalam waktu singkat Ismono sudah mendapat informasi. Katanya, Bunga membicarakan banyak hal mengenai Cici kepada ibunya karena merasa cemburu. Bunga khawatir, Bagas yang diam-diam dicintainya akan direbut kembali oleh tantenya.

“Cici yang salah atas semuanya, Mas. Cici mengirim Tanti ke Gunung Madu karena ingin tahu apakah Mas Bagas sudah mempunyai calon istri. Itu karena Cici mencintai Mas. Sungguh. Cici juga ingin tahu bagaimana Bu Wulan menilai Cici. Itu saja. Tapi, kalau sampai ada kejadian yang tidak diharapkan, Cici minta maaf.”

Bagas mengawasi wajah Cici dengan lebih seksama. Makin Cici membuka mulut, dia makin tak mengerti jalan pikirannya.

“Mas Bagas marah?”

“Mulanya begitu. Juga cemburu. Pada akhirnya aku menyadari, kamu dan Ferdy sebenarnya tak bisa berpisah begitu saja. Secara resmi, sebagai suami- istri, kalian memang telah berpisah. Tapi, dalam hubungan bisnis kalian tidak bisa putus begitu saja.”

“Apa maksudnya, Mas?”

“Siapa sebenarnya yang membiayai produksi film ini?”

“Mas Bagas sudah tahu?”

“Pada akhirnya semua orang akan tahu. Mengenai pembagian harta kalian. Mengenai kesepakatan bisnis kalian. Juga soal Tanti di Gunung Madu. Sekarang terungkap dengan sendirinya. Makin terbuka di sini, di depan mata kepalaku sendiri. Ibuku nyaris jadi korban kepandaian dia bersandiwara.”

“Mas telah menuduh. Sayangnya, tuduhan itu salah alamat!”

“Tak ada gunanya menuduh kamu. Aku bukan pejabat pengadilan atau kejaksaan atau polisi. Kamu tidak sadar, keponakanmu, yang mestinya juga menjadi keponakanku, diam-diam jatuh cinta padaku. Dia khawatir kamu akan merampas aku. Dia buka semua informasi tentang kamu kepada Ibu. Dia bangkitkan kemarahan dan kebencian Ibu kepadamu.”

“Mas!” Cici memegang erat tangan Bagas.

“Ibu selalu mengingatkanku agar tidak mendekatimu, agar tidak percaya tentang kesucian yang selama ini kamu pertahankan. Kamu tahu, ibuku sadar, tak ada lagi alasan untuk membencimu. Tak ada alasan yang menghalangiku untuk menikahimu.”

Pegangan tangan Cici makin keras.

“Dengan restu Ibu, saat ini juga aku bisa menikahimu.”

Tangis Cici meledak. Tak kuasa membendung kebahagiaan yang meluap. Tapi, Bagas dengan halus, pelahan, menolak tubuh Cici dan berkata pelan, “Sayang, sayang sekali, permainanmu dengan mantan suamimu belum berakhir.”

Cici memandangi Bagas dengan air mata mengalir deras.

“Untuk apa dia ke sini menemuimu, kalau hubungan kalian telah putus?”

“Sungguh, Mas, dia hanya teman. Dia ke sini cuma mampir.”

“Aku pun ke sini cuma mampir, dalam perjalanan ke Gunung Madu, menjenguk Ibu yang mulai sehat. Aku tak ingin menyakiti hatinya lagi. Selamat siang.”

Dengan mantap Bagas meninggalkan lokasi syuting. Ia tinggalkan Cici yang tak tahu harus berbuat apa. Cici berdiri kaku, persis seperti pertama kali menghadapi kamera film beberapa tahun lalu.

karangan bunga yang mulai layu di halaman menyentak dada Bagas. Dengan bantingan keras ia tutup pintu taksi, lalu berlari masuk. Di ruang tengah, Bagas berhenti. Tak ada siapa pun.

“Ibu...,” panggilnya, dalam kebingungan. Pintu kamar Wulan terbuka. Bagas tersentak melihat Bunga yang sedang berjalan pelan dan menunduk. Mengenakan celana panjang dan kaus yang agak ketat, Bunga seperti bunga yang nyaris mekar.

Bagas salah tingkah. Lalu, dengan langkah tergesa memasuki kamar ibunya, disaksikan Bunga dengan tatapan rindu dan cemburu. Bagas mendapati ibunya duduk menghadap jendela, menyisir pelan rambutnya yang terurai. Ia dekati ibunya, ia belai rambut memutih yang terurai itu.

“Ibu....”

Tenang, tanpa menoleh, Wulan menjawab, “Aku percaya padamu. Aku percaya kamulah yang menulis Bagasantara.”

Wulan memutar badannya perlahan, ganti mengelus rambut Bagas. “Dan, aku ingin kehilangan anakku untuk selamanya kalau kehilangan itu karena kamu memperistri wanita yang menjadi jodohmu, siapa pun dia.”

Bagas sungkem. Lama, ia mencium kaki ibunya. Ia tahan agar air matanya tidak keluar. Ketika bendungan itu hancur, terharu, bahagia, ia berdiri. Tanpa pamit, ia meninggalkan kamar sambil menghapus air matanya.

Di kamar tengah Bagas mendapati Bunga sedang berjalan mondar-mandir. Gelisah. Menunduk. Bagas mendekatinya, bertanya dengan suara agak bergetar, “Satu pertanyaan yang harus kamu jawab, Bunga. Kenapa Cici, atau Ferdy, mengeluarkan uang begitu banyak untuk membuat film?”

Bunga menoleh pelan, mengamati wajah Bagas. “Bunga tak tahu kenapa Om Bagas bertanya soal itu. Kenapa tidak bertanya kenapa Bunga membeberkan semuanya pada Bu Wulan?”

Bagas tambah tak mengerti. Ketika ingin memegang tangan Bunga, Bunga menarik tangannya disertai mimik wajah serius, lalu keluar. Bagas segera mengejarnya ketika Andini muncul dan mencoba menghalanginya.

“Ingat Om, dia masih anak-anak. Ibarat bunga, mekar pun belum,” lanjut Andini. Bagas merasa serba salah. 

“Benar kata Ndini,” terdengar ucapan ibunya. 

Bagas lalu masuk ke kamar ibunya.

“Biarkan kuncup bunga bermekaran. Kamu ingat lanjutannya?” tanya ibunya.

“Ya, Bu,” sahut Bagas, sambil tersenyum.

“Kamu kan yang menulis puisi itu?”

“Ya, Bu.”

“Waktu patah hati dengan Cici dulu?”

“Ya, Bu.”

“Rupanya, bunga yang baru akan mekar itu ikut cemburu, ya, Bagas?”

Bagas tersenyum. Ia teringat puisi yang saat itu mewakili gejolak hatinya 

Biarkan bunga-bunga bermekaran
Bersembulan warna
Menebarkan aroma
Biarkan kuncup-kuncup cemburu


Bagas memandang ibunya sekejap, lalu memandang Andini, lalu lari keluar. Hatinya sudah mantap untuk mengejar Bunga. Tamat


Penulis: Rangabehi Widisantosa

 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?