Fiction
Pengorek [4]

24 Jun 2013


1) Pengorek: Penculik yang menculik untuk mengambil organ dalam tubuh korbannya (istilah  yang berasal dari masyarakat Kalimantan Barat)

<<<<<<Cerita Sebelumnya


Bagian 4 (tamat)
Kisah sebelumnya:

Marieta, seorang guru di Sanggau, Kalimantan Barat. Selain mengajar anak-anak yang tidak terlalu peduli dengan pentingnya pendidikan, Marieta juga membantu suaminya, Libu, mencari uang dengan menyadap getah karet di kebun mereka. Suatu hari, hati Marieta kembali berdegub dengan kedatangan Purwanto, seorang sales buku, yang juga pria dari masa lalunya. Di saat yang bersamaan kampung Marieta digemparkan oleh pembunuhan dua orang yang diisukan sebagai pengorek.  


Purwanto tidak menjawab. Ia hanya mengambil dompet dari saku belakangnya. Ia menjulurkan kartu tanda penduduknya kepada Marieta. Marieta membaca semua identitas Purwanto yang tertulis di situ. Matanya terhenti pada status perkawinan Purwanto. Di situ tertulis: tidak kawin.
“Aku belum pernah menikah, Marieta. Aku berjanji untuk tidak akan pernah menikah hingga aku berhasil menemukanmu dan mengetahui kabar benih yang pernah kutanam di dalam rahimmu. Aku yang seharusnya bertanggung jawab atas semuanya. Tapi, aku kehilangan jejakmu. Surat-surat yang aku kirim kepadamu saat itu tak pernah kamu balas, sampai-sampai aku ragu apakah betul alamat yang dulu pernah kamu berikan kepadaku itu adalah benar alamat rumahmu. Kamu tak pernah memberi kabar kepadaku. Mungkin kamu menganggap semuanya sudah selesai saat itu, tapi aku tidak, Marieta,“ papar Purwanto.
“Sebetulnya surat-suratmu aku terima, tapi memang aku tak pernah membalasnya agar kamu berhenti berharap, Mas. Waktu itu aku menolak untuk menggugurkan kandunganku. Aku bersikeras untuk mempertahankan janin yang ada di rahimku. Bapak lalu menjodohkan aku dengan Libu, anak kerabat bapakku. Libu telah menyelamatkan keluargaku dari aib akibat aku hamil tanpa suami sah. Karena keadaan, aku akhirnya menerima Libu sebagai suami karena Bapak tak mau menerimamu,” ungkap Marieta.
“Ya, aku mengerti. Pak Widi telah menceritakan semuanya,” balas Purwanto.
“Pak Widi?”
“Ya, kakak ibumu, ‘kan? Aku menginap di rumahnya tadi malam. Lusa kami akan meneruskan perjalanan ke kecamatan berikutnya,” kata Purwanto.
Marieta kembali terdiam beberapa saat. Lalu, tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Maaf, Mas. Kamu mau minum apa?”
“Enggak usah repot-repot. Aku juga enggak bisa lama-lama. Takut kalau hujan turun dan aku tidak bisa pulang.”
“Enggak baik menolak tawaran, Mas.”
“Enggak apa-apa, kok. Aku serius. Tadi aku juga barusan makan siang dan udah minum. Kalau boleh, aku mau ketemu Welly,” pinta Purwanto.
“Oh, bisa, kok. Tunggu sebentar, aku panggilkan, ya,” kata Marieta. Ia kemudian masuk ke dalam dan mencari Welly. Tak lama kemudian Welly keluar diikuti Marieta.
“Bu, ini Om yang tadi pagi memberiku bungkusan yang aku ceritakan tadi,” kata Welly, setelah melihat tamu yang berada di ruang tamu.
 “Terima kasih, ya, Om,” kata Welly. “Bu, saya ke dalam dulu, ya,” suara Welly terdengar. Marieta hanya menganggukkan kepalanya. “Permisi dulu, ya, Om.”
“Silakan,” balas Purwanto.
Setelah Welly kembali ke dalam, Marieta berkata, “Ia sangat mirip denganmu.”
“Ya, ia juga sangat mirip denganmu,” balas Purwanto.
“Tiap aku rindu padamu, aku selalu menatap wajahnya. Kulihat tatapan matamu di matanya,” kata Marieta.
“Aku hanya bisa titip dia, Marieta. Aku tidak bisa memberikan yang lebih. Aku percaya dalam asuhanmu dan Libu, Welly akan tumbuh menjadi anak yang baik,” ujar Purwanto. Ia kemudian mengambil sesuatu dari saku depan celananya. “Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?”
“Oh ya. Boleh…boleh…,” jawab Marieta segera. Ia menyebutkan dua belas angka yang menjadi nomor ponselnya. Tak lama berselang ia mendengar nada panggil dari ponselnya di dalam kamar tidurnya. “Sebentar, ya,” ucap Marieta kepada Purwanto.
Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya. Ia mengetikkan nama Marieta di ponselnya, sementara Marieta masuk dan mengambil ponselnya.
“Itu nomorku. Sering-seringlah berkirim kabar kepadaku tentang kamu, Welly, dan keluargamu,” pinta Purwanto setelah Marieta duduk kembali di ruang tamu.
Marieta memasukkan nama Purwanto dan nomornya ke dalam ponselnya. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum mendengar ucapan terakhir Purwanto.
“Marieta, aku mau pamit dulu, ya. Sebenarnya, aku masih mau ngobrol lama-lama denganmu. Tetapi, di luar sepertinya mau turun hujan. Apalagi, suami kamu enggak di rumah. Enggak enak rasanya ngobrol lama-lama hanya berdua denganmu,” ujar Purwanto.
“Mas, aku enggak bisa memberimu apa-apa. Aku hanya bisa minta maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku buat. Terima kasih kamu masih seperti dulu, tidak berubah padaku,” kata Marieta.
“Marieta, aku akan tetap menyayangi kamu, meski sampai sekarang aku enggak bisa memilikimu. Walaupun enggak kamu ungkapkan, aku tahu kamu masih menyimpan rasa yang sama kepadaku, setidaknya aku tahu dari bagaimana kamu mempertahankan Welly dan mengasuhnya hingga sekarang,” ucap Purwanto.
Marieta memandang wajah Purwanto. Laki-laki itu masih seperti ketika ia tinggalkan enam belas tahun yang lalu, tidak egois, penuh pengertian, dan memiliki kendali emosi yang cukup tinggi. Ia terlihat  makin matang dan dewasa, meskipun Marieta tahu Purwanto menahan perasaan yang bertahun-tahun dipendamnya.
“Eh, aku pamit, ya. Kamu, kok, malah melamun?” tegur Purwanto.
“Oh iya, Mas. Terima kasih, ya.”
“Titip salam buat suamimu,” kata Purwanto, sambil menjabat tangan Marieta.
“Ya, nanti aku sampaikan. Hati-hati di jalan,” ujar Marieta.
Purwanto kemudian keluar rumah dan berjalan menuju sepeda motor yang diparkir di halaman. Marieta ikut menemani Purwanto. Ditunggunya Purwanto hingga laki-laki itu menaiki sepeda motornya dan meninggalkan halaman rumahnya. Marieta berjalan kembali ke dalam rumah sambil menggenggam ponselnya yang kini dirasakannya sebagai benda paling berharga baginya karena di dalamnya terdapat nomor orang yang sangat dirindukannya itu.

****
         Dengan tergopoh-gopoh Marieta memarkir sepeda motornya di halaman rumah. Di dekatnya Libu sedang memutar lembaran lateks dengan mesin pres.
“Bang, tadi di depan sana ada orang banyak ribut-ribut. Coba Abang lihat ada apa. Aku ndak berani ke sana!” seru Marieta.
Dengan bergegas Libu berjalan ke depan, lalu menghilang di tikungan jalan. Marieta melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Hari ini hari Jumat. Ia pulang lebih cepat dari sekolah. Dilihatnya Welly juga sudah pulang.
“Kamu udah lama pulang?” tanya Marieta.
“Belum   terlalu lama, Bu.”
“Udah ada ribut-ribut di depan sana waktu kamu pulang tadi?”
“Belum. Ribut-ribut apa,  Bu?” tanya Welly sambil berdiri hendak keluar rumah.
“Ndak tahu. Kamu ndak usah ke sana. Tadi Ibu sudah nyuruh Bapak yang ke sana. Kita tunggu di sini jak. Semoga ndak ada apa-apa,” cegah Marieta.
Sekitar tiga puluh menit kemudian Libu berlari-lari memasuki rumah dan mengambil ponselnya dengan terburu-buru.
“Ada apa, sih, Pak?” tanya Marieta tak sabar.
“Mereka bilang udah nangkap pengorek. Dua orang. Mereka mau membakarnya hidup-hidup di dalam mobil. Kita harus lapor polisi. Mana nomor polisi itu?” ujar Libu dengan nada panik. Setelah mencari-cari nomor yang ia maksud, ia langsung menekan tombol panggil pada nomor itu.
“Coba kamu baca ini,” pinta Libu sambil menunjukkan sebuah pesan singkat dari ponselnya kepada Marieta setelah ia mengakhiri panggilan teleponnya. Marieta membaca pesan singkat itu.
Pesan dari Kapolres. Tlg sbarkan sms ini k' semua org. Pengorek adalah nyata & jgn diremehkan. Mrk mencari korban sebanyak 400 org tua, muda, & anak2 utk diambil alat2 dlm anggota tubuh manusia. Ciri2 org tsb memakai mobil MPV biru metalik, yg 1 bertubuh tinggi semampai, berambut ikal & yg 1-nya lg pendek, berkacamata.
“Abang lihat orangnya tadi?” nada suara Marieta penuh kekhawatiran.
“Aku dicegat oleh mereka. Aku ndak bisa melihat dengan jelas orang dalam mobil itu.”
“Mereka ndak boleh, dong, main hakim sendiri seperti itu,” kata Marieta. Marieta keluar menuju teras rumahnya. Dari kejauhan ia melihat asap hitam mengepul tinggi. Dengan suara parau ia berteriak, “Bang, cepat suruh polisi datang ke tempat itu!”

****
Dengan mata nanar Marieta mencermati tiap baris berita dalam koran di tangannya.
Kapolda Kalimantan Barat memerintahkan seluruh jajaran reserse di Polda dan Polres untuk menangkap penyebar SMS yang berisi isu penculikan dan pengambilan organ tubuh manusia. Kapolda berjanji untuk menindak tegas para pelaku penyebaran SMS tentang penculik atau pengorek yang sangat meresahkan itu.
Di Sanggau, isu itu telah menelan dua korban tewas pada hari Jumat lalu.. Dua orang itu adalah Saiful (40) dan Purwanto (48). Menurut Kabid Humas Polda Kalimantan Barat keduanya merupakan sales buku-buku pendidikan. Mereka  tewas mengenaskan setelah dianiaya oleh dua puluh orang dan dibakar di dalam mobilnya.
Kapolda juga mengimbau agar provider jasa telekomunikasi lebih selektif terhadap SMS yang tersebar. SMS yang bersifat provokatif sebaiknya tidak diteruskan. Sebaliknya, melalui SMS, Gubernur, Wali Kota, Bupati, dan Kapolda dapat menyebarkan SMS yang berisi penjelasan kepada masyarakat bahwa isu yang tersebar selama ini adalah tidak benar dan hanya bertujuan merusak dan mengganggu ketertiban masyarakat menjelang pemilihan gubernur Kalimantan Barat.
Dalam upaya menyelesaikan masalah yang muncul di Sanggau itu, Kapolda mengerahkan 300 personel ke lokasi kejadian. Kapolda meminta agar semua tersangka menyerahkan diri. Kapolda juga memerintahkan kepada anggotanya, khususnya personel Brimob yang diturunkan, untuk melumpuhkan tersangka jika terjadi perlawanan dan tidak membenarkan anggotanya melakukan tindakan di luar perintah jika yang bersangkutan menyerahkan diri secara baik-baik kepada kepolisian.

****
Marieta berulang kali membaca berita itu dengan harapan ada perubahan terhadap isinya. Namun, sudah empat kali ia membacanya, yang tertulis di dalam berita itu tidak berubah. Purwanto. Sales buku. Tewas mengenaskan.
Kedua bola mata Marieta merah. Air matanya terus menetes di pipinya. Sebagaimana mimpi yang ia rasakan ketika pertama kali melihat Purwanto di SPBU Sungai Mawang, ketika berjabat tangan dengannya di sekolahnya, dan ketika berbincang-bincang di rumahnya tiga hari yang lalu, seperti itu jugalah ia merasakan mimpi buruknya ketika membaca berita di headline news koran lokal hari ini. Ia tak pernah tertarik pada politik. Baginya, politik adalah permainan yang tak jarang kotor dan membingungkan. Mangabdikan diri di sekolah dengan ketulusan hati dan menjalani hari-harinya sebagai petani penyadap karet cukup memberikan kepuasan bagi batinnya.
Sejak awal ia sadar bahwa isu pengorek adalah bagian dari permainan politik dengan modus saling menjatuhkan dan saling merebut massa di masa kampanye pemilihan orang nomor satu di provinsi ini. Namun, mengapa isu itu harus melibatkan orang yang sangat ia kasihi, yang baru saja ia temukan kembali setelah enam belas tahun terpisah tanpa kabar berita? Mengapa Purwanto harus pergi dengan cara seperti ini, cara yang sangat mengejutkan?
Dengan mata yang masih basah, Marieta mengeluarkan ponselnya. Dipilihnya sebuah SMS yang ia terima hari Jumat pagi, sesaat sebelum ia berangkat ke sekolah, sebelum Purwanto terjebak oleh amukan massa.
Marieta, siang ini aku akan kembali ke Yogya. Sekarang aku udah enggak ragu lagi. Melihatmu, melihat Welly, melihat suamimu, aku bisa pergi dari tempat ini dengan tenang. Aku bahagia bisa mencintaimu dengan cintaku yang tak berbatas dan bertepi ini, meskipun kita tak pernah bisa saling memiliki. Aku menyayangimu, Marieta. Selamanya.(TAMAT)



 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?