Fiction
Penantian Terakhir [5]

17 May 2012

<< cerita sebelumnya

Makhluk itu berdehem, seperti orang penting.
”Ya, saya dan tim telah mengadakan penelitian intensif di lapangan. Sudah ada beberapa temuan. Pertama, beberapa waktu lalu kami sudah menelusuri dari mana kayu-kayu itu dihanyutkan dan ternyata memang berasal dari hutan kita. Kedua, kalau boleh saya umpamakan, cara kerja mereka itu mirip tikus pengerat alias cepat sekali. Soalnya, mereka mempergunakan gergaji mesin. Dan, sistem tebang yang digunakan bukan tebang pilih seperti anjuran pemerintah.”

Semua tercenung. Rapat hari itu memutuskan untuk mengadakan penyelidikan lagi dan aku ikut masuk ke dalam tim yang dipimpin Mahesa. Ah!

Matahari bersinar sangat terik, saat aku, Mahesa, dan Pudjo masuk ke perahu motor. Pudjo duduk di belakang, mengendalikan mesin, sementara aku dan Mahesa di depan mengawasi aliran sungai.

Perahu mulai bergerak. Suaranya sangat ribut, berpacu dengan kecipak air yang terbelah ujung perahu. Sungai mengalir tenang. Airnya berwarna kecokelatan, pertanda telah turun hujan di daerah pegunungan sana. Sesekali terlihat batang dan ranting-ranting kayu hanyut bersama aliran air. Kudengar Mahesa mendecakkan lidah, tiap kali melihat ranting-ranting hanyut itu. Dia kelihatan sangat jengkel.

Air sesekali terpercik ke mukaku. Memberiku kesegaran yang menyenangkan di bawah sengatan terik matahari ini. Air begitu dekat denganku. Tinggal kuulurkan tanganku ke bawah, maka aku bisa merasakan kesegarannya, yang serasa mengalir di setiap pori-pori tubuhku. Kuulurkan tangan dan membiarkan tanganku terseret aliran air.

Hmm... rasanya sangat menyenangkan! Seperti waktu kecilku dulu, saat bermain air di aliran banjir depan rumahku!

”Nia! Kamu ngapain? Kamu ke sini untuk kerja, bukan buat main air!” kata-kata Mahesa menyentakkanku ke alam nyata.

Ia melotot ke arahku. Heh, kenapa, sih, dia semarah itu? Aku kan hanya menyelupkan tanganku di dalam air! Apa itu salah?

”Iya, aku tahu! Kamu kenapa, sih, marah-marah seperti wanita mau datang bulan saja!” sergahku, tanpa dapat kucegah.

Dia tambah melotot padaku. ”Kamu... sejak pertama datang sampai detik ini, kerjamu hanya bermain-main saja. Pergi ke sana, kemari. Piknik. Membeli ini-itu. Heh, kau pikir sedang liburan apa di sini?” tukasnya galak, membuatku naik pitam.

”Aku tidak main-main. Aku bekerja seperti kamu dan Mas Rangga juga!”

“Kalau begitu tunjukkan, dong, profesionalitasmu!”

”Kamu...!” Aku nyaris mencekiknya.

Untunglah niatku itu tak sampai terlaksana, karena Pudjo tiba-tiba berteriak, ”Lihat itu ada kayu!”

Pertikaianku dengan Mahesa pun segera terhenti dan perhatian kami teralih ke arah yang ditunjuk Pudjo. Benar. Tak jauh dari kami ada berpuluh-puluh batang kayu dihanyutkan. Kami mengikuti kayu-kayu itu. Terus ke hilir. Di sana ternyata ada penyeberangan lagi. Jika dilihat dari darat, tidak kelihatan, karena tertutup pohon-pohon yang sangat rimbun. Tetapi, sebenarnya itu hanya kamuflase untuk menutupi aktivitas sebenarnya. Di situ teronggok ribuan kubik kayu yang siap diangkut!

Kami bertiga terpana. ”Ni, kayaknya kamu, deh, yang harus mencari tahu ke penduduk sekitar. Soalnya, wajahmu kan belum dihafalkan orang-orang sini! Benar kan, Ahe?” ujar Pudjo, seolah ia minta persetujuan Mahesa.

Yang ditanya hanya menjawab lirih, ”Hmm....”

”Tapi... bagaimana caranya? Gila apa kalian melepas wanita di lingkungan seperti itu?”

”Heh, kamu kan wartawan, kamu pasti mengenal teknik investigasi. Pakai akalmu, dong!” kali ini Mahesa menyahut, seolah mendapat angin dari pertanyaanku barusan.

”Aku tidak bertanya padamu!” sambarku, galak. ”Begini saja, kita balik saja ke kantor. Nanti kita cari informasi tentang perusahaan kayu yang ada di kota. Oke?” ujarku.

Kedua pria itu mengangguk setuju. Setelah itu, Pudjo mengantarku ke kantor kecamatan untuk mencari data yang kubutuhkan. Ada tiga perusahaan yang beroperasi di kawasan ini. Satu perusahaan mempunyai pemodal dari Jakarta, lainnya dari Jawa Timur dan Sumatra. Aku tidak heran. Soalnya, memang banyak perusahaan yang dikendalikan dari Jakarta seperti itu.

Yang harus kuselidiki adalah muatan dari perusahaan-perusahaan itu. Data ini harus didapat langsung dari mereka! Kuputuskan untuk memperoleh data-data itu hari ini juga, mumpung aku di kota. Begitulah. Bukan hal mudah. Tetapi, teknik yang kugunakan dalam investigating reporting cukup manjur.

Aku menyamar sebagai mahasiswi yang tengah membuat skripsi dan aku membutuhkan informasi dari perusahaan tersebut. Dua dari tiga perusahaan yang ada memberikan informasi dan data yang kubutuhkan. Yang satunya sengaja mempersulit dengan meminta surat keterangan dari universitas.

”Wah... yang satu ini lumayan sulit, Djo. Tapi, besok, kita coba cara lain. Oke?” ujarku pada Pudjo, yang setia menunggu di mobil.

”Tidak apa. Tapi, ngomong-ngomong, kamu hebat juga dalam sehari bisa mengumpulkan data sebanyak itu!”

”Hmm... aku kan mantan reporter, Djo! Jangan pernah lupa itu!”

”Wah... kalau hasil investigasimu ini kau tulis, bisa-bisa kau dapat hadiah Pulitzer nanti!” goda Pudjo.

Hari berikutnya aku tidak ke mana-mana, aku fokus meneliti data-data dari dua perusahaan kayu itu. Tidak ada yang janggal. Jumlah kayu yang mereka muat sesuai dengan izin dan tidak ada penambahan kuota dalam dua tiga tahun terakhir.

”Perusahaan kami sedang collapse. Terutama, sejak ada pemain baru itu. Katanya, sih, modalnya lebih kuat dan didukung oleh orang-orang penting di ibu kota. Lha, kalau saya? Zaman sekarang susah main kayu, kalau nggak punya dukungan kuat di belakang!” ujar karyawan salah satu perusahaan yang kemarin sempat kuwawancarai.
Menjelang siang, Sisil menepuk bahuku. ”Ni, sebetulnya kamu itu punya catatan kriminal apa, sih, sampai polisi mondar-mandir mencarimu terus?” ujarnya, sambil menggerakkan dagunya ke halaman depan.

Di sana kulihat Ardiansyah tengah ngobrol dengan Koko. Ya, ampun! Kumatikan komputer dan aku setengah terbang berlari mendapatkannya.

”Anak ini sedang belajar jadi pertapa, Bang. Dari kemarin nggak makan minum, nih,” ledek Koko.

”Ya, sudah, saya pinjam Kania dulu, ya, Ko,” kata Ardi pada Koko, yang membalasnya dengan lambaian tangan.

”Ni, aku ingin masak buat kamu. Bagaimana?” ujar Ardi, setelah kami berdua saja di mobil.

Rumah dinas Ardi kira-kira hanya sepuluh menit dari kantorku. Rumah yang ditempatinya sama seperti rumah-rumah penduduk pada umumnya. Tidak mewah dan berlebihan. Tidak ada yang mencirikan itu rumah pejabat penting di wilayah ini. Satu hal yang jelas, rumahnya tertata apik dan resik. Dengan cekatan dia mengeluarkan sayur-mayur dan bahan-bahan yang diperlukan dari lemari pendingin.

”Mau masak apa, sih?” tanyaku.

”Apa, ya? Aku cuma punya kubis, wortel, dan kembang kol.”

”Orak-arik saja. Cepat dan praktis. Soalnya, aku sudah lapar, nih.”

”Siap, Tuan Putri.” Ia memberikan hormat padaku.

Aku tersenyum, lalu membantu meracik sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan. Tapi, aku membiarkan dia yang memasak itu semua. Aku hanya menonton. Ternyata, dia luwes juga di dapur. Jadi terlihat tambah seksi. Hmm... seandainya aku punya suami seksi dan jago memasak seperti ini, pasti aku betah di rumah, terus-menerus melihatnya memasak!


Penulis: Astrid Prihatini WD
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?