Fiction
Opera Rumah Singgah [8]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Kerumunan manusia di pintu masuk itu mendadak bergerak serentak, menuju satu arah. Meinar menggamit tangan Rianty. ’Pahlawan’ yang ditunggu-tunggu itu telah tiba di pelabuhan.

Seorang wanita duduk di atas kursi roda dengan tangan dan kaki dibalut gips. Juga lingkar kepalanya yang dibalut perban putih. Dua orang pria mendampingi dan mendorong kursi rodanya. Makin dekat makin jelas wajah dan leher wanita itu pun penuh bekas biru dan luka. Rianty menajamkan penglihatannya.

Ia spontan memekik, ”Surti!” Wanita di kursi roda itu menoleh. Matanya yang lebam berputar mencari arah suara. Rianty setengah berlari menerobos kerumunan para wartawan. Langkahnya tertahan oleh petugas kepolisian yang spontan membentangkan tangan.

”Maaf, Bu. Nanti saja. Korban harus dibawa dulu ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik menyeluruh.”

Sekilas dilihatnya gadis itu memalingkan wajah, mencoba menemukan dirinya di antara kerumunan. Lesung pipinya tersembul saat berusaha mengukir seulas senyum tipis. Namun, di balik sinar matanya yang redup dan suwung, tersimpan begitu banyak cerita lara.

Garut, dua hari sesudahnya...

”Bagaimana? Sudah siap?” bisik Zokh. Rianty mengangguk. Mobil yang mereka tumpangi bersama Tary dan dua orang relawan telah tiba di halaman rumah Bik Parni. ”Simpan dulu semua koleksi air matamu! Aku yakin akan banyak air mata yang tercurah di sini! Tak perlu membuatnya jadi dramatis.”

Rianty meninju pelan lengan Zokh sambil bersungut. Pria itu seperti tak pernah kehabisan kata-kata untuk memerahkan mukanya. Ia menarik napas dalam-dalam, meredam frekuensi detak jantungnya yang mulai meningkat saat kakinya turun dari mobil.

Halaman rumah yang sempit namun asri itu telah dipenuhi orang yang sudah mendengar kabar mengenai kepulangan Tary. Beberapa orang berseragam juga terlihat. Termasuk puluhan orang pers dari berbagai media. Semua seolah tak ingin ketinggalan, menyambut momen-momen pulangnya calon tenaga kerja yang bernasib tragis. Tak jauh berbeda dari saat ’penyambutan’ Surti tempo hari, kerumunan itu sontak merubung, ketika Rianty bersama rombongan kecilnya turun dari dalam mobil sambil menggandeng Tary.

Rianty merasa sedih. Haruskah wanita-wanita seperti Surti, Tary, dan puluhan wanita lainnya yang mengadu nasib di ’negeri-negeri impian’ di berbagai belahan bumi ini, nyaris mengorbankan nyawa, juga jiwa mereka, demi mendapat pengakuan, perhatian, atau justru mengundang tatap prihatin? Begitukah arti seorang pahlawan devisa, yang baru dirasa patut dibela dan dilindungi, kala fisik dan jiwanya sudah tak lagi sempurna? Apa artinya miliaran dolar yang mereka sumbangsihkan terhadap negara? Ironisnya, sampai hari ini, perhatian dan perlindungan nasib mereka masih jauh panggang dari api.

Suara isak tangis menyeruak, menuntaskan kalimat-kalimat sinis tak berjawab yang meriuhkan isi benak Rianty. Bik Parni telah berdiri di sisinya, sambil mendekap Tary dengan air mata yang deras membanjir. Sebaliknya, raut Tary justru teramat beku, dengan kedua lengannya yang terkulai di sisi tubuhnya, tak balas memeluk. Belasan kamera dengan kilatan blitz yang terarah padanya pun tak mampu mencairkan kebekuan.

”Terima kasih banyak, Neng. Bibi nggak tahu gimana bisa membalas jasa Eneng. Apa yang menimpa Tary, Bibi sudah ikhlas, Neng. Yang penting Tary sudah kembali dengan selamat. Bibi akan berusaha apa saja agar Tary bisa sembuh,” ucap Bi Parni, lirih, dengan matanya yang berkabut. Tangannya menjabat erat. Dan Rianty menggenggamnya hangat.

Dadanya bergemuruh saat ekor matanya melirik Tary. Tatap kosong yang nyaris minus ekspresi milik gadis itu, amat kontras dengan manik mata Bi Parni. Tak dipedulikannya kata-kata Zokh di mobil tadi. Air matanya perlahan ikut mengalir.

Ia lalu teringat sesuatu, merogoh beberapa kartu nama, lalu memberikannya pada Bik Parni. ”Ini alamat rumah sakit dan psikiater terkenal di Bandung, Bi. Nanti kalau Tary sudah tenang, Bibik bawa saja ke Bandung. Saya sudah memberi tahu Papa dan Mama. Mereka bersedia membantu Bibi. Tentang biaya pengobatan Tary, Bibi nggak perlu khawatir. Kami sudah mengoordinasikannya dengan LSM dan pemerintah daerah setempat.”

Isak Bik Parni bertambah kuat. Puluhan blitz kamera kembali terarah, saat Bi Parni kembali memeluk Tary, seolah tak ingin kehilangan untuk kedua kali. Rianty memicingkan matanya, ketika kilatan cahaya itu mengenainya. Hawa komersialisasi itu, membuatnya jengah.

”Apa rencanamu setelah ini, Ri?” tanya Zokh, dalam pesawat yang membawa mereka terbang kembali ke Batam.

”Bergabung dengan Meinar.”

”Kau yakin bakal sanggup? Setiap hari, setiap saat, atau bahkan setiap tarikan napasmu terus digelayuti permasalahan orang lain yang hanya berpotensi memusingkan kepala dan bikin stres? Jangan-jangan, bergabung di rumah singgah hanya akan membuatmu tambah kurus dan cepat ubanan!”

Rianty bergeming. Kali ini ia tak peduli pada kalimat sinis Zokh. ”Aku bukan sekadar berniat menjadi relawan. Minggu lalu aku mengajukan proposal pendirian kursus keterampilan dan bahasa Inggris untuk para wanita yang ditampung di rumah singgah, juga bagi yang tidak mampu. Nantinya kursus itu akan dibangun persis di sebelah rumah singgah, memanfaatkan pekarangan samping yang menganggur. Sejauh ini pemerintah daerah menyambut baik rencanaku. Tinggal menunggu realisasinya saja!”

”It sounds great!” seru Zokh. Intonasinya menyebalkan. “Aku tak bermaksud menganggap ledakan idealismemu sebelah mata. Tapi, kuharap kau berpikir jernih, sebelum memutuskan terjun bebas dalam bidang yang sama sekali nonprofit. Karena, untuk berkomitmen sungguh-sungguh, yang kau butuhkan bukan hanya dinamit untuk meledak, tetapi juga cadangan energi yang berlimpah untuk mendorong idealismemu agar mampu untuk terus bertahan dan bergerak.”

“Terima kasih, Tuan Zokh! Aku berjanji akan mempertimbangkannya.” tukasnya singkat, sambil merebahkan kepala dan memundurkan sandaran kursi.

“Hei, jangan tidur dulu, dong! Aku masih mau bicara!”

Rianty menghela napas kesal. ”Tak bisakah kita bicara setelah tiba di Batam nanti?”

Zokh menggeleng. “Sejujurnya, yang paling kukhawatirkan adalah kau akan berubah, menjadi seperti Meinar!”

Rianty menegakkan kepalanya. Apa yang dikatakan Zokh tadi? Mengkhawatirkannya? Tumben. “Apa maksudmu? Apa yang salah pada Meinar? Bukankah jarang ada wanita seperti dia, punya rasa peduli pada nasib sesama, dan mampu bersikap optimistis dalam menghadapi kesulitan orang lain?”

“Kelebihan yang justru berpotensi jadi bumerang,” tukas Zokh, dingin. “Wanita yang selama ini telah memosisikan dirinya sebagai seorang superior, memberi perlindungan dan rasa aman terhadap sesama jenisnya yang inferior, akan makin membuatnya tak tergoyahkan, selalu merasa lebih kuat, bahkan tak menutup kemungkinan bahwa ia tak merasa membutuhkan pria dalam hidupnya!” Tatapan Zokh berubah tajam. Setajam mulutnya.

Rianty terdiam. ”Atau, barangkali, ini baru dugaanku. Bisa saja Meinar justru mengalami trauma, bukan? Menghadapi para wanita korban kekerasan dan pelecehan setiap saat, lama-kelamaan akan menjungkirbalikkan kepercayaan dan pandangannya terhadap kaum pria. Kau paham maksudku, bukan?”

“Ya. Seratus persen paham,” Rianty balas menatap Zokh. Dan ia bertahan untuk tak berkedip. “Tetapi, aku bukan Meinar. Aku akan buktikan padamu bahwa aku bisa sekuat Meinar tanpa harus mengorbankan fitrah cinta dan perasaanku.”


Penulis : Riawani Elyta
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2008




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?