Fiction
Opera Rumah Singgah [7]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Pagi menyapa bumi. Sinar mentari masih malu-malu menampakkan wujudnya pada bumi, dan separuh jasad rembulan masih terlihat jelas bertengger di langit, seolah belum rela pamit pada mentari.

Rianty meluncur dengan sepeda motornya menuju Baloi Centre lebih awal pagi ini. Jalan raya utama yang biasa dilewatinya untuk menuju ke tempat kerjanya itu, masih terlihat sepi. Surat permohonan cuti telah selesai diurusnya dan hari ini ia akan langsung menemui Hendrik, atasannya, untuk berpamitan.

Ia tak ingin menunda waktu, karena sore ini juga ia akan terbang ke Bandung, demi menunaikan janjinya, mengantarkan Tary pulang ke pangkuan ibunya. Seminggu lalu, ia telah mengabarkan keberadaan Tary pada Bik Parni, juga rencana kepulangan Tary, melalui sepucuk surat yang dikirimkannya melalui alamat kepala desa tempat Bik Parni bermukim. Namun, sampai hari ini, ia masih belum berani membayangkan bagaimana reaksi Bik Parni, ketika menerima kabar itu.

Ia baru saja memperlambat laju motornya beberapa meter setelah memasuki pintu gerbang kawasan ruko, ketika matanya tertumbuk pada police line yang melingkari ruko berlantai tiga yang selama ini menjadi kantor pusat PT Angkasa. Beberapa polisi berseragam tampak berlalu-lalang. Masyarakat yang tinggal di sekitar ruko pun tak biasanya sepagi ini telah menyemut, mengerumuni ruko bercat dinding abu-abu itu.

Ia menepikan motor agak menjauh, menghindari kerumunan, lalu meraih ponsel di saku celananya. Benda kecil itu langsung berbunyi nyaring sesaat setelah ia mengaktifkannya. Nama Moza, rekan sesama pengajar di PT Angkasa, muncul di LCD.

”Halo, Ri! Ke mana saja, sih, kamu? Kuhubungi berkali-kali nggak aktif melulu!” Moza langsung mencecar.

”Sorry, Za. Low bat. Baru ku-charge tadi pagi. Apa yang terjadi dengan Angkasa? Aku baru saja tiba, nih!”

”Kamu di mana?”

”Dekat kedai kopi Sederhana. Memangnya kenapa?”

”Baguslah. Sebaiknya jangan sampai ketahuan polisi kalau kita be¬kerja di Angkasa, nanti malah kita yang dicecar, dimintai keterangan tentang Angkasa,” Moza berhenti sejenak.

”Tadi malam ada warga di sekitar ruko yang melapor ke polisi. Mereka melihat sesuatu yang mencurigakan dari arah ruko tempat penampungan milik PT Angkasa. Ada yang mengulur-ulurkan tangan dari balik jendela. Ada yang memanggil-manggil. Bahkan, ada yang mencampakkan kertas yang isinya minta pertolongan. Kudengar dini hari tadi polisi menggerebek ruko itu. Sekarang para penghuninya sementara waktu diamankan di kantor polisi. Pak Hendrik dan Pak Budiman juga ikut digiring. Karena, dari pengakuan para penghuni ruko itu, mereka telah dikurung di sana selama berbulan-bulan tanpa perlakuan yang manusiawi.”

”What? Tapi... Angkasa kan agen resmi? Selama ini kita juga tidak pernah mencium sesuatu yang mencurigakan, bukan?”

Terdengar helaan napas Moza. ”Agennya, sih, resmi. Mungkin saja oknum pengelola penampungan yang telah menyalahgunakan wewenang. Sebaiknya, buat waktu ini kita menyingkir dulu, deh! Jangan sampai berurusan dengan polisi. Yang penting kita saling kontak saja, kalau ada perkembangan terbaru.”

”Ya. Terima kasih banyak, Za. Aku pergi dulu.” Rianty menyimpan kembali ponselnya setelah hubungan terputus. Ia lalu mengarahkan motornya ke jalan raya, melesat menuju rumah singgah.
”Ri, sini!”

Rianty menoleh. Meinar melambai padanya. Aroma wangi lavender langsung tercium, ketika ia masuk ke ruang kerja Meinar.

”Info apa yang dapat kamu berikan padaku tentang Angkasa? Terus terang aku belum tahu banyak,” tanya Rianty, langsung menuju pokok pembicaraan. Ia yakin Meinar telah mengetahuinya. Ia tidak ingin lagi menjadi orang yang telat informasi setelah semalaman tak mengetahui apa yang telah terjadi pada Angkasa sampai Moza menghubunginya.

”Sebagian dokumen TKW yang ditampung itu telah dipalsukan. Dicurigai ada beberapa oknum di Angkasa yang menempuh jalur belakang, dengan mencari dan menampung calon-calon tenaga kerja untuk dipekerjakan di tempat-tempat ’rawan’, karena imbalan yang mereka peroleh dari sektor ini lumayan besar.”

Rianty terenyak. Tak menyangka bahwa tempatnya bekerja selama ini, yang dari permukaan terlihat ’aman’, legal dan profesional, ternyata masih tak luput dari tikus-tikus rakus yang lebih tergiur pada pekerjaan nista yang menjanjikan keuntungan berlipat. Alangkah naifnya ia selama ini! Sampai-sampai tak mengetahui bahwa di ruko bertingkat tiga yang hanya berjarak sepuluh meter di belakang kantor utama PT Angkasa itu telah dijadikan tempat penyekapan selama berbulan-bulan!

Huh! Tak sadar ia mendengus keras. Mengapa permasalahan ini sedemikian rumit? Sampai kapan benang kusut bisnis haram ini harus terus berpintal dan tak kunjung terurai?

”Sudah, jangan terlalu dipikirin,” kata Meinar, mengibaskan tangannya, seakan tahu apa yang sedang memenuhi benak Rianty. ”Perkara PT Angkasa sudah memasuki wilayah hukum. Jadi itu sudah menjadi urusan pihak berwajib. Tentang para TKW ilegal itu juga sudah kita koordinasikan dengan Disnaker dan pihak kepolisian, setelah urusan pemeriksaan dokumen mereka beres, seperti biasa, mereka akan diinapkan di sini sebelum dipulangkan.”

”Sekarang ikut aku!”

”Ke mana?” Rianty mendongak pada Meinar yang sudah berdiri dan memoles bedak di wajahnya dengan gerak cepat.

”Ke Pelabuhan. Kita akan menjemput seorang wanita perkasa, yang telah membebaskan diri dari penyiksaan majikannya dengan cara meloloskan diri dari jendela apartemen.”

Meinar menyerahkan sebuah surat kabar lokal ke atas meja.

Seorang PRT asal NTB (16 th), sempat gelantungan sekitar 30 menit dari sebuah apartemen lt. 12 di Selangor, Senin pagi, ketika akan melarikan diri. Ia kabur dari rumah majikan lewat sebuah jendela dengan cara meluncur menggunakan baju-baju yang dirangkai, lalu diikat pada kusen jendela apartemen, karena tidak tahan disiksa majikan perempuannya dan nyaris saja diperkosa oleh anak majikannya.

Mata Rianty membelalak, nyaris tak berkedip, menyaksikan kronologis kejadian yang disajikan lewat foto-foto pada lembar headline itu, mulai dari sosok wanita yang bergelantungan sambil berpegang erat pada sambungan kain, lalu meluncur dan terjun, hingga akhirnya beberapa warga yang menyaksikan kejadian, spontan berlari dan berusaha menolong wanita itu.

Napas Rianty serasa tercekat. Selama ini adegan semacam itu hanya pernah disaksikannya di film-film mafia Hong Kong. Namun, kali ini, walaupun hanya lewat sederet rekaman foto, apa yang disaksikannya itu terasa begitu mencekam! Sekaligus tragis! Wanita nekat itu seakan tak peduli pada risiko apa pun, termasuk keselamatan dirinya. Bahkan, pada ajal yang kemungkinan siap menjemputnya di bawah sana!

”Mei, Meinar, di mana kamu?” Rianty celingukan, mendapati bayang Meinar yang sudah menghilang entah kapan. Terdengar bunyi mesin mobil yang distarter dan suara cempreng Meinar yang memekik nyaring, ”Cepetan, Tuan Putri! Ini bukan waktunya berdiskusi dengan hati!”

Pelabuhan internasional itu tampak lebih ramai dari biasanya. Orang-orang berseragam PNS, polisi, beberapa orang dengan badge pengenal dari sejumlah media cetak dan elektronik lokal, juga dari LSM dan yayasan sosial, memenuhi pintu masuk pelabuhan. Bahkan, satu unit mobil ambulans tampak terparkir tak jauh dari pintu masuk. Tampaknya berita kepulangan TKW yang nekat terjun itu telah tersebar di segenap penjuru kota.


Penulis : Riawani Elyta
Pemenang II Sayembara Mengarang Cerber femina 2008




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?