Fiction
Negeri Kambing Kertas [2]

26 Sep 2013


<<<<< Cerita Sebelumnya


Bagian 2
Kisah Sebelumnya:
Budin, anak suku Bajo dari Pulau Bungin yang pintar dan sangat ingin melanjutkan sekolah. Sayangnya, Ua’ Mman, ayahnya, sangat miskin. Harapan ia sematkan kepada kakak sulungnya, Samaila, yang pergi ikut kapal pencari ikan di lautan Flores. Di sisi lain, ada Pak Bur, guru SD yang dengan semangat ingin memberikan pendidikan untuk anak-anak Bajo.


Tiga bulan di Bungin, aku sudah mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Banyak hal   menarik kutemui di pulau yang dihuni oleh suku Bajo ini. Layaknya kehidupan suku Bajo pada umumnya, mereka sangat menyukai laut. Ritual-ritual zaman purba masih dipraktikkan di sini, seperti Tibaraki dan Kursemangat. Tapi, yang unik menurutku ialah kambing-kambingnya. Mereka tergolong kelas hewan omnivora, pemakan segala. Jauh lebih dahsyat dari omnivora sesungguhnya, sebab kambing-kambing di sini memakan, kertas, kardus, kain, ikan, beras, nasi, dedaunan, dan lain sebagainya.
Betapa terkejutnya aku ketika suatu kali pernah kudapati seorang gadis kocar-kacir mengejar kambing yang memakan ujung selendangnya saat sedang dijemur. Gadis itu memuntahkan sumpah serapah dalam bahasa Bajo. Masam mukanya kulihat melihat selendangnya dicabik-cabik gigi kambing. Aneh bin ajaib. Saat itu, aku tidak bisa menahan tawa sekaligus heran. Pasalnya, baru pertama kali kulihat ada kambing makan kain.

Seorang bocah yang belakangan akan menjadi murid kesayanganku, tampak sedang asyik duduk di bangkunya sambil memandangi sebuah pulpen di tangannya. Dialah pertama kali, selain kambing-kambing itu, yang menarik hatiku. Tubuhnya kecil, rambutnya hitam kusut, sedikit kemerahan di ujungnya. Tipe-tipe seperti ini banyak bertebaran di sini. Belakang kutahu bahwa penyebabnya ialah sering berendam di laut dan berjemur di terik matahari. Namun, yang spesial dari bocah itu dan merupakan hal yang langka pada anak kecil di pulau ini adalah wajahnya yang jenaka dan sorot matanya yang liar, berbinar-binar pula seperti mata bayi yang sedang dibuat tertawa.
    “Kenapa belum pulang?” tanyaku kepadanya.
    Teman-temannya sudah pada pulang, karena lonceng pulang sudah dari tadi berbunyi.  
“Budin! Pak mau pulang. Kau mau tetap di sini?” Aku mendekatinya. Rupanya ruhnya masih melayang-layang. Ia melamun.
    Waktu itu, aku baru hari keenam mengajar di SD, Bungin.
    Ia tersentak. “Oh, maaf, Pak.” Cepat-cepat ia masukkan pulpennya.
    Pada hari berikutnya ketika aku menyuruh mereka untuk menulis pengalaman pribadi, Budin malah membuat puisi. Ketika kusuruh membacanya, sejenak ia terpaku di muka kelas. Serupa orang mengheningkan cipta, setelah itu ia mendeklamasikannya dengan segenap penghayatan. Bait-bait dalam puisinya sangat lugu, merintih dan merindu. Tepatnya rindu pada kakaknya. Betapa kami terharu setelah ia mengakhirinya.
    Berkali-kali kejadian yang tak biasa kulihat membuatku penasaran untuk mendekatinya. Mula-mula aku memberikan sebuah buku catatan kecil sebagai tanda kedekatan yang ia sambut dengan sukacita. Beberapa hari setelah itu, ia mengajakku ke kramba, lalu memancing di sekitarnya.

Pada waktu menjelang sore aku terpikir untuk bercerita sepotong kisah. Kisah ini kuyakini akan menyulut semangatnya. Kisah seorang anak kecil yang hidup di pedalaman tandus nun jauh di Arab sana. Budin sumringah, tampak ia menyukai ceritaku.

“ ...Kehidupannya sederhana, Din. Ayahnya meninggal sejak ia masih bayi. Karena ibu kandungnya tidak bisa memberikan ASI untuknya lantaran sakit, terpaksa ia dititipkan pada seorang ibu yang tinggal di pedalaman tandus. Bisa dikatakan hidup mereka miskin.”
Budin mendengarnya dengan  saksama. Ia menikmati sekali cerita itu.
“Kau tahu, Din?” Wajahku sedikit kubuat dramatis. Dan untuk berkata selanjutnya kutunggu reda suara mesin lepa yang melintas di samping kami. “Kelak ia akan menjadi pemimpin besar tiada tanding. Menguasai separuh dunia.”
Wajah Budin berubah kagum pada anak kecil yang kuceritakan itu.
“Siapakah namanya, Pak?” tanya Budin penasaran.
“Muhammad.... Muhammad Sang Nabi Akhir Zaman. Itulah namanya.”
Ketika kukatakan bahwa ia adalah Nabi Muhammad SAW, Budin demikian bangga. Ia menggeleng-geleng kepala sambil mulutnya memuji Nabi.
Di lain kesempatan, aku menceritakan sepotong kisah Wright bersaudara si penemu pesawat terbang, lalu di kesempatan berikutnya kuceritakan Imam Gazali, imam besarnya umat Islam.

“ ... Sang Imam dari keluarga miskin. Tapi, ia pantang untuk tidak menuntut ilmu, padahal saat itu selain keterbatasan ekonomi, di daerahnya sedang kacau-balau. Pembantaian terjadi di mana-mana. Tapi, ia sama sekali tak hirau. Itu semua demi ilmu, Din. Demi sekolah.”
Demi sekolah. Kata-kata demi sekolah kupenggal dan kubuat dramatis lagi. Kujelaskan pelan-pelan makna sekolah yang sungguhnya. Semua berujung pada ilmu dan ilmu bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sorot matanya yang liar berbinar-binar menatapku. Air mukanya yang penuh semangat seolah menagih seribu kisah lagi untuk dituangkan ke dalam tempurung otaknya. Sepertinya ia mulai memahami arti dari sebuah pendidikan. Aku tersenyum. Anak kecil ini telah kusesaki kepalanya dengan serpihan-serpihan kisah sukses orang-orang dulu. Kusesaki dengan ilmu supaya ia tidak buta lagi untuk sekadar melihat jalan suram sukunya yang tertinggal ini. Supaya kelak ia bisa membangun pulaunya ini. Minimal lepas dari kungkungan kebodohan.

Selanjutnya, ia merasa senang ketika berada dalam kelas. Ia penuh minat pada hal-hal yang baru. Serba ingin tahu. Rajin menulis dan membaca. Beberapa kali kerap ia perlihatkan padaku buku catatan yang kuberikan kepadanya. Isinya menarik, sebuah catatan sehari-harinya, mulai dari aktivitas dengan ayahnya sampai ketika ia sekolah.
Aku tersenyum melihat namaku tertera di sana sebagai seorang guru bagai yang baik hati. Aku senang ketika ia menilaiku baik. Tapi, sampai pada harapannya ingin bertemu kakaknya, raut mukaku berubah, lembar demi lembar begitu polos, penuh harap dan pedih:
    
Segeralah pulang, Kak! Ayah sering sakit-sakitan. Kami di sini menunggu, Kakak. Oh ya, Kak, tahun ini  Budin tidak lagi mendapat juara dua, tapi juara satu berturut-turut. Kakak harus pulang lihat Budin mendapat hadiah.

Apa yang kulakukan pada Budin kulakukan juga pada murid-murid yang lain. Rupanya, sebagian orang tua mereka kurang setuju dengan niat baikku. Mereka yang miskin sedikit ketakutan ketika anak-anak mereka mulai mengenal satu kata, yakni impian.
Impian bagi mereka adalah ironi di tengah masyarakat Bajo yang skeptis pada pendidikan. Selain itu, kehidupan mereka yang sederhana ketakutan membayangkan biaya sekolah kalau anak mereka meneruskan sekolahnya. Bagi mereka cukup sampai SD. Mampu menghitung hasil penjualan ikan sudah cukup untuk bekal hidup sebagai nelayan. 

Maka, terjadi pro dan kontra pada mereka terhadap apa yang kulakukan. Tapi mereka --orang Bajo yang ramah itu-- dilema menghadapi ini. Mereka yang sangat menghormati pendatang apalagi pendatang yang berpendidikan sungkan menegurku. Kukira mereka akan menyampaikan keluhnya pada Pak Husen, kepala sekolah SD ini. Kemudian kepala sekolah akan menegurku, menyuruh metode mengajar seperti itu diganti. Tapi, ternyata itu tidak mereka lakukan. Aku  makin menjadi-jadi.

****
Budin sedang memberi makan kambingnya di bara dengan daun bakau ketika aku bertandang ke rumahnya di suatu sore yang teduh. Ayahnya duduk di papanjak di samping bara sedang menyulam jaring pada bagian yang robek. Jaring itu disampirkan pada sebatang kecil pohon bakau yang sudah dikelupas kulitnya yang ujung atasnya bercabang membentuk huruf y.  Mereka berdua di muka rumah.

 “Igih, Pak. Ke sini. Ada apa?” tanya Budin dengan logat Bajo Bungin.
Kutangkap satu gerakan refleks pada ayahnya ketika Budin menyebut namaku. Serupa tersentak.
“Cuma ingin jalan-jalan, Din,” jawabku.
Budin menghentikan rutinitasnya lalu mengajak singgah sejenak.
“Duduk, Pak!. Ua’, ini, Pak Bur. Guruku yang sering kuceritakan itu!”
“Oh, silahkan, Pak Guru.”
Ua’ Mman bergegas menghentikan sulamannya, lalu memperbaiki posisi duduknya.
“Hanya sebentar saja, Ua’!”
Setahun di sini, aku sudah terbiasa memanggil Ua’ untuk lelaki yang lebih tua dan Ma’ untuk perempuan yang lebih tua. Bahkan aku mengerti beberapa percakapannya. Sekadar mengerti tapi untuk mengeluarkannya sangat susah.
“Sebentar pun tidak apa yang penting singgah.”
Aku tersenyum.
Budin dibisiki ayahnya. Setelah itu, ia bergegas pergi ke suatu rumah yang tak jauh dari sini. Tidak lama ia pun kembali dan langsung naik ke rumah.
“Maaf, saya mengganggu, Ua’!”
“Oh, tidak, Pak Guru. Ini sudah hampir selesai. Nanti malam saya lanjutkan lagi. Pak Guru ke sini jalan-jalan?”
“Ya, Ua’. Sekalian jenguk Budin. Sudah dua hari ini ia tidak sekolah. Budin kenapa, Ua’?”
“Sakit, Pak Guru. Din panas. Kemarin dibawa ke darat, berobat.”
“Kasihan!” ucapku iba. “Kenapa tidak mengabari kami, Ua’?”
“Maaf, Pak Guru. Kemarin susah kita itu, jadi tidak sempat minta izin. Padahal Din memberi tahu saya supaya meminta izin ke sekolahnya. Tapi, besok ia mau sekolah. Katanya, ia takut ketinggalan banyak pelajaran.”
“Kalau masih sakit, suruh diam di rumah saja, Ua’!”
“Dia tidak mau, Pak Guru. Dia ingin cepat-cepat sekolah,”
Dalam percakapan itu, tiba-tiba datang seorang gadis membawa dulang kecil berisi dua gelas minuman berwarna biru dan empat buah bolu tawar yang diletakkan di atas piring bening. Ia muncul dari kolong rumah yang didatangi Budin tadi.
    “Di sini saja, Ani! ” kata Ua’ Mman pada gadis itu.

    Gadis yang kutaksir umurnya sedikit terpaut di bawahku itu, tanpa berucap kata meletakkan isi nampan di tengah-tengah kami. Ia sempat melirikku dan aku melihat itu. Melihat matanya yang sebening lautan dengan alis hitam melengkung indah. Rambutnya tergerai melewati bahunya. Wajahnya yang putih langsat kulihat sekilas memerah. Jantungku berdegup. Dug.

Dulu, sebelum ke sini aku mengira perempuan-perempuan Bungin kebanyakan berkulit gelap karena dekat dengan air laut. Namun  ternyata, anggapanku salah. Mereka bahkan lebih banyak berkulit langsat daripada yang gelap.
    Seperti yang diucapkan Ua’ Mman, gadis itu bernama, Ani. Entah kenapa, nama itu menggoda batinku. Saat percakapan dengan Ua’ Mman berlanjut, nama itu masih mengambang di langit-langit otakku. Sampai pada Ua’ Mman menyampaikan keluh yang serius baru buyar nama itu.

    “Keluarga kami miskin, Pak Guru! Saya tak mampu membiayai Din, jika harus melanjut, ” ucap Ua’ Mman dengan raut muka sedih. “Impiannya tinggi, Pak Guru. Lebih baik sekarang dia disadarkan.”
    Tersentak aku mendengarnya. Antara melihat Budin menjadi lebih baik dengan kondisi renta bapak tua di depanku ini. Dilematis.

    Hening. Tak ada kata-kata yang sempurna kuucap. Aku pulang dengan langkah berat. Aku tahu Budin mendengar itu di atas rumah. Aku tahu Budin meneteskan air mata ketika melihatku pulang. Satu alasan kenapa aku ingin mengabdi di desa tertinggal adalah karena aku ingin rakyatnya maju, cerdas, dan bisa membangun desanya sendiri. Namun, apa yang kulakukan terbentur tubuh ringkih Ua’ Mman dan bapak-bapak yang sekondisi dengannya. Wajah mereka yang polos sedikit ketakutan membayangkan diri mereka membanting tulang jika seandainya anak mereka terus melanjut.
    “Igih, wajahmu, Nak, kenapa cemberut?” tanya Ma’ Mina saat aku hendak masuk ke kamarku.
    Aku kikuk, “Oh, tidak apa-apa, Ma’. Tadi waktu di jalan kaki saya tersandung,” kataku, beralasan.
    “Makanya hati-hati, Nak. Di sini banyak batu.” Mak Mina berlalu keluar dengan memegang botol bimoli berisi sisa minyak goreng. Tampaknya ia mau membeli minyak goreng.    
    Perempuan paruh baya bernama Ma’ Mina adalah istri Ua’ Banggo. Aku tinggal di rumah mereka. Mereka adalah suami dan istri yang baik hati. Bukan lantaran mereka sudah mau menampungku, tapi, di Pulau Bungin ini mereka memang dikenal begitu. Jangankan kepada tetangganya, kepada bagai saja mereka begitu baik.
“Kalau kita baik pada orang… orang pun akan baik pada kita,” kata Ma’ Mina
selalu  kepada  tiap orang yang diberinya petuah.
“Itu sudah ketentuan Allah Ta’ala, Nak, ” sambung Ua’ Banggo yang selalu seia sekata dalam segala hal dengan istrinya.
Mereka menganggapku seperti anak sendiri. Kebetulan mereka tidak punya anak laki-laki. Dua anak perempuan mereka sudah berkeluarga, semuanya menetap di sini, di bagian utara pulau ini.

****
Usai salat Subuh, aku sempatkan berbaring sebentar di ranjang kayu kamarku. Dari jendela yang terbuka tampak alam masih gelap. Sisa-sisa angin darat menerobos melalui celah dinding gedek dan jendela. Mataku mulai terlena. Aku bangkit lalu menyandarkan diri di dinding kamar.
Rumah panggung ini berlantai papan dan bertiang bungur. Langkah kaki terdengar berderak-derak. Sebagian besar rumah orang Bajo pesisir Pulau Sumbawa seperti ini. Berpanggung, berkolong, berlantai papan, berpintu susun dan sedikit berserambi di pintu depannya. 

Aku memandang langit-langit kamarku yang dengan cepat berubah menjadi layar visual. Layar itu bergerak-gerak menampilkan ulasan ulang kejadian kemarin bersama Ua’ Mman dan Budin. “Keluarga kami miskin, Pak Guru. Saya tak mampu membiayai Budin jika harus melanjut. Impiannya tinggi, Pak Guru. Lebih baik sekarang dia disadarkan”
 Wajah tirus nan polos Ua’ Mman mengiba saat ia memohon minta semangat anaknya dikurangi. Tentu saja ini berat untukku, sebab, cita-cita utamaku ke pulau ini tak lain supaya sumber daya manusianya bisa maju. Antara kasihan dan harapan perubahan berbenturan di tempurung otakku, membuatku menghela napas panjang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kemudian tanpa terduga layar visual itu menampilkan wajah Ani. Ah, gadis itu, terbayang saja ia di pikiranku. Tapi, entah kenapa senang sekali hati dibuatnya. Apa ia sudah punya pacar? Ah, apa-apaan aku ini.

Sedang pikiranku menjelajah, tiba-tiba suara Ma’ Rukia memanggil Ma’ Mina terdengar sampai dapur. Aku sedikit tersentak. Subuh-subuh begini ibu-ibu Bungin selalu ke darat menjual ikan hasil tangkapan suami mereka dan membeli barang kelontong untuk dijual kembali. Sedangkan bapak-bapaknya turun ke laut. Ibu-ibu itu nantinya akan berkumpul di dermaga. Setelah mereka banyak, jonson akan mengantar mereka sampai ke Pelabuhan Alas. Kemudian dengan menaiki cidomo mereka akan diantar ke pasar kota kecamatan.

Ma’ Mina mengemasi baskom-baskom ikannya. Karena cukup banyak, ia memintaku membantunya membawakan baskom-baskom itu ke dermaga. Biasanya juga seperti itu. Jika banyak yang ia bawa, maka kubantu membawakannya sampai dermaga. Tapi, jika sedikit cukup membantunya mengangkatkan baskom itu ke kepalanya.
“Baskom yang ini, Nak! Tidak terlalu berat,” ucap Ma’ Mina.

Ma’ Mina sudah terbiasa memanggilku dengan panggilan Anak. Seperti yang sudah kukatakan bahwa Ma’ Mina dan Ua’ Banggo telah menganggapku sebagai anak.  
Alam masih gelap. Aku terseok-seok memanggul baskom hitam berisi ikan yang sudah didinginkan dengan es batu. Kadang-kadang aku tersandung batu dan Ma’ menyuruhku hati-hati. Banyak batu katanya. Kupikir begitu. Sebab, sudah banyak kali --semenjak aku menginjakkan kaki di sini– kakiku tersandung batu. Dengar-dengar dari cerita tetua sini, daratan Pulau Bungin adalah daratan buatan yang dibangun di atas batu karang oleh  tiap warga yang akan membangun rumah. Jika memang demikian, tak heran di gang-gang banyak batu yang bertimbulan.

Ma’ Mina, Ma’ Rukiah dan Ma’-Ma’ lainnya tidak kelihatan payah menjunjung baskom itu di kepalanya dan mengapit pula di pinggangnya. Dasar! Aku    tidak biasa memanggul baskom berat sehingga sampai dermaga kepalaku sedikit pening. Sedang mereka santai saja sambil sesekali tertawa lepas.

Budin
Baru saja ia pulang dari sekolahnya. Wajahnya cemberut dan kurang bergairah seperti anak kecil yang tidak jadi dibelikan mainan oleh ibunya. Dengan perasaan tak peduli ia membuang tas sekolahnya di sudut dapur. Baju dan celana sekolahnya dibiarkan tergeletak di lantai papan yang lapuk tanpa mau menggantungnya seperti biasa.
    Dua hari ini hatinya dongkol. Dan itu membuatnya tak selera makan, belajar dan mengerjakan rutinitas sehari-harinya. Jika ayahnya sedang di rumah maka ia dengan sekuat tenaga meredam kesal hatinya, menelan ludah sedihnya dan memaksa menggerakkan roda tubuhnya yang hampir mogok. Walau bagaimanapun kacau hatinya, ia tak tega memperlihatkannya pada ayahnya. Bocah Bajo itu sudah mampu memahami arti dari sebuah kasih sayang.

    Apa sebab Budin begitu rupa? Rupanya, suasana hati yang masygul itu lantaran impiannya dicekal ayahnya. Masih terngiang di telinganya ucapan sang ayah sewaktu berbicara dengan Pak Bur. Ia ingat betul itu seperti ia ingat kambingnya. Betapa ia kecewa karena senyum manis ayahnya ketika mendengarnya bercerita seputar sekolahnya ternyata terpaksa, palsu.
Ia   makin kecewa karena Pak Bur setelah bersua dengan ayahnya sudah mengurangi intensitas gaya mengajar menginspirasinya itu. Tadi, ia kelihatan kikuk, serupa orang baru belajar mengajar. Tidak tahu harus memulai dari mana, sebab ia terbiasa memulai dengan menyitir kata-kata keramat orang-orang sukses lalu memolesnya dengan sentuhan-sentuhan lembut yang mengobarkan semangat. Dua hari ini, Pak Bur serupa orang amnesia.

    Air laut belum surut ketika Budin turun dari rumahnya dengan langkah berat. Ia harus mengambil daun bakau untuk dimakan kambingnya. Rutinitas yang satu ini tidak ia hentikan hanya gara-gara ia mendongkol. Kambing-kambing itu baginya bukan hanya sekadar hewan peliharaan yang harus diberi makan, tapi lebih dari itu, mereka sudah ia anggap kawan baiknya. Hewan yang memiliki hubungan emosional dengannya. Dan ia sudah melihat itu. Melihat betapa wajah kambingnya berubah memelas jika ia sedang sedih. Riang, jika ia sedang gembira. Dua kambingnya itu pandai sekali merajuk.

Berat sekali ia menaikkan sauh jungkung yang tergeletak di tumpukan-tumpukan batu. Dengan gelagat malas tapi tak punya pilihan ia mendayung sampai jajaran hutan bakau di depan sana. Tak jauh di depannya beberapa lepa pemancing melintas pulang dengan layar masih terkembang di buritan. Di antara lepa-lepa itu ia tidak melihat lepa ayahnya.
Pulang dari mengambil daun bakau, ia berniat mengunjungi Pak Bur. Ia  ingin menghibur diri dengan mengajak Pak Bur memancing di kramba. “Barangkali di sana Pak Bur tidak sungkan lagi bercerita,” pikirnya. Sekalian ia akan minta Pak Bur supaya seperti dulu lagi.
Dua hari tak mendengarkan cerita guru muda itu, rindu juga ia rasanya. Maka, bergegas sekali ia memasukkan daun-daun bakau itu ke bara. Tibok dan Bebeseh yang sedari tadi menunggu melahap rakus daun-daun itu sebelum sampai ke tanah. Budin sempatkan membelai-belai kepala mereka sebelum akhirnya ia pergi menemui Pak Bur.


*****
Sandi Sardi


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?