Fiction
Namaku, Arimbi [4]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Seorang petugas satpam tampak memperhatikan gerak-gerik Dayu dari kejauhan. Dari tatapannya tebersit kecurigaan bila melihat kehadiran orang asing yang masuk di daerah sekitar situ. Barangkali itu menjadi naluri sekaligus tanggung jawab baginya sebagai seorang petugas yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban. Lagi pula, bahasa tubuh wanita ini pantas menimbulkan kecurigaan. Setiap rumah yang dilewatinya selalu ia tatap baik-baik, seakan ingin menelisik ke balik setiap dindingnya.

”Selamat pagi, Neng!” sapa pria separuh baya tertuju ke Dayu. ”Ada yang bisa dibantu? Atau Eneng sedang nyari siapa?” ujar Pak Satpam, seakan tak puas dengan pertanyaan pertamanya.

Dayu terenyak atas kehadiran satpam yang berseragam putih biru ini.

”Eh, tidak, Pak!” jawabnya agak tersipu. ”Pak, punten, bisa tanya, mungkin Bapak tahu ada penghuni salah satu rumah di sini bernama Bu Arimbi?”

Satpam yang kini balik ditanya, sejenak terdiam. Otaknya sedang bekerja keras mencari jawabannya.

”Aduh Neng, maaf! Bapak nggak tahu kalau di sini ada yang namanya Bu Arimbi,” jawab Pak Satpam, masih dengan wajah diliputi kebingungan. ”Soalnya, Bapak juga baru lima tahun kerja di sini. Jadi tidak semua orang yang tinggal di jalan ini saya kenal,” ujarnya, polos.

Dayu tentu saja kecewa dengan jawaban tadi. Sedianya, ia akan mendapat jawaban yang bisa dijadikan keping pertama puzzle yang akan merangkai mozaik misteri besar yang tengah dihadapinya.

”Betul Bapak tidak kenal Bu Arimbi? Atau, mungkin Bapak lupa?” desaknya kembali. Satpam setengah baya tadi sambil menggaruk kepala berusaha berpikir lebih keras.

”Wah, nyerah, deh, Neng! Bapak betul-betul nggak tahu!” jawabnya, dengan nada pasrah. ”Mungkin ada nama lengkapnya? Soalnya, setahu Bapak di sini tidak ada yang bernama Bu Arimbi,” katanya, sambil tersenyum kecut.

”Ya, sudah, nggak apa-apa! Nuhun, ya, Pak!”

Potongan pertama puzzle itu ternyata sulit ditemukan. Dayu melanjutkan langkahnya ke ujung Jalan Tikukur. Sebelum meninggalkan kawasan itu, sekali lagi menengok jalan lengang yang penuh misteri.

OM HARDI

Hampir seharian Dayu mengelilingi kawasan seputar Jalan Tikukur. Mungkin hingga radius lebih dari 2 kilometer dari lokasi awal saat ia melakukan penelusuran. Hasilnya nihil. Penduduk setempat umumnya tidak kenal nama yang ia tanyakan. Penat dengan pencarian yang tidak membuahkan hasil itu, Dayu memacu kendaraannya ke arah Kafe Cisangkuy. Di sana ia memesan segelas yoghurt leci dan sepotong black forest. Di tempat inilah dulu ia sering hang out dengan teman-teman kuliahnya, berdiskusi atau sekadar melepas kepenatan setelah seharian kuliah.

Tempat yang masih mempertahankan cirinya seperti ia kenal dulu ini, menyimpan banyak kenangan manis. Beberapa teman pria yang pernah dekat dengannya, sering diajak ke tempat ini. Soalnya, ia tidak terlalu nyaman berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi. Kafe yang banyak dikunjungi sepanjang hari, terlebih di akhir pekan ini, jelas menjadi tempat paling aman buatnya.

Sambil menyeruput yoghurt, Dayu membuka beberapa berkas yang ia bawa dari Subang. Satu per satu ia cermati. Ada segepok foto lama, yang tersimpan rapi dalam album berukuran sedang. Selain foto keluarga, juga beberapa foto ayahnya di beberapa lokasi. Dulu, tiap kali memandangi foto lama, kenangan segera terbawa ke masa-masa indah yang sulit dilupakan.

Saat ia mulai bisa mengingat pengalaman pertamanya belajar mengemudikan sepeda roda dua dibimbing ayahnya. Masih terngiang dorongan semangat Ayah, ”Ayo, Nak, kayuh terus pedal sepedanya.”

Sejujurnya, saat itu ia sangat panik. Ternyata, mengendalikan sepeda roda dua bukan alang kepalang sulitnya. Tetapi, dorongan Ayah membuatnya tegar. ”Aku harus bisa!” batin Dayu, dalam hati.

Pompaan semangat yang tak pernah kering dari kedua orang tuanya, terutama ayahnya, menjadi energi yang besar yang membentuk sikap dan perilaku Dayu di kemudian hari. Selepas SMA yang dituntaskan tepat waktu, Dayu sempat bingung memilih jurusan di perguruan tinggi. Tetapi, berkat dorongan ayahnya akhirnya ia memilih bidang yang ia minati: antropologi.

Baginya, mempelajari bidang antropologi seperti menimba air dari sumur tanpa batas. Tak pernah kering dan tak akan habis-habisnya mendapat pengetahuan baru. Manusia, dari sudut pandang antropologi, menjadi makhluk budaya yang unik. Makhluk yang bisa mengembangkan kemampuan daya nalarnya meningkatkan peradaban dan kebudayaan.

Sejak duduk di bangku kuliah, ia melahap habis bukan saja buku-buku teks antropologi, tapi hampir semua bacaan lain. Ibarat pepatah, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Kebiasaan membaca dan mengumpulkan buku seakan mengalir deras dari kromosom ayahnya. Terlebih ketika ia melanjutkan studi S-2-nya di Inggris, di tahun kedua setelah memutuskan menjadi tenaga pengajar di almamaternya.

Profesor Budi Santoso, dosen senior yang sangat ia hormati, mengajaknya bergabung menjadi dosen. Tawaran ini langsung ia ambil, terlebih saat ayahnya mendukung keputusannya mengabdikan diri di perguruan tinggi. Dosen ini pula yang menawarkan kesempatan kepadanya untuk mengambil beasiswa dari pemerintah Inggris, bagi dosen-dosen muda yang akan menggali ilmu di negeri yang pernah menguasai lautan ini.

Hidup jauh di negeri orang memang bukan perkara gampang. Setidaknya itu juga dirasakan Dayu. Terlebih harus berjauhan dengan kedua orang tuanya. Tapi, kecintaan pada antropologi meneguhkan niatnya untuk bisa menikmati kesempatan langka ini. Sebagai mahasiswa asing, Dayu mendapat biaya untuk mencukupi kebutuhannya selama tinggal di Inggris. Belajar di negeri empat musim ada suka dukanya. Terlebih di Inggris yang kerap diselimuti awan mendung, tanpa kecuali di Birmingham.

Kota penghasil besi dan perabotan rumah tangga di sebelah barat laut London ini dipilih Dayu karena memiliki salah satu universitas tertua di Inggris. Universitas Birmingham dipilih karena selain menawarkan program studi antropologi budaya, juga memiliki karakteristik aristokrasi yang menjadi ciri utamanya. Paduan keduanya membulatkan tekad Dayu memilih universitas yang memiliki area puluhan mungkin ratusan hektare ini.

Selama menimba ilmu di sana, Dayu melanjutkan beberapa ritual sama seperti saat kuliah di Bandung. Kebiasaannya berkutat di perpustakaan, kini dilanjutkan di Birmingham. Terlebih di perpustakaan yang memiliki jutaan koleksi buku dan arsip bersejarah ini, menjadi tempat paling pas untuk melakukan penelusuran bahan kuliah dan materi tesisnya.

Di saat liburan musim panas, Dayu melakukan tur panjang ke beberapa negara di Eropa daratan. Honorarium yang dikumpulkannya sebagai jerih payahnya menjadi tenaga pemelihara perangkat sistem informasi di perpustakaan, dan honorarium hasil tulisannnya di koran lokal, cukup jadi bekal selama perjalanan dua minggunya. Bukan hanya Prancis, Jerman, Swiss, Belgia, Italia, bahkan ia sempat menyeberang ke bekas wilayah Jerman Timur yang sejak penghujung tahun ’80-an bergabung ke Jerman Barat.

Di bekas negara blok Timur ini, Dayu menyaksikan bangunan tua yang dipertahankan keaslian arsitekturnya. Berlin, kota yang sempat terbelah dua oleh tembok tinggi itu, kini menjadi jantung perekonomian negara yang dikenal memiliki teknologi tinggi ini.


Penulis: Hadi PM



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?