Fiction
Molek dari Tepian Sungai Musi [7]

3 Apr 2012

<< Cerita Sebelumnya

Inten mengambil mawar dan kenanga yang telah disiapkan di meja rias, lalu menyelipkannya di rambut. “Senang rasanya mengetahui di dunia ini kau tidak sendirian. Dia, satu dari dua orang kerabat yang kumiliki dan aku menyayanginya. Meski aku tidak tahu, apakah dia juga menyayangiku dan menganggapku adik, mengingat aku manusia paling hina. Aku hanya ingin menjaga dan membantunya. Aku tak ingin kehilangan dia. Untuk itulah aku jadi mata-mata, meski kepalaku jadi taruhan. Kau lihat, Molek, aku ini hanya mau melindungi kepentinganku. Aku tak pernah punya alasan mulia seperti kemerdekaan negara ini. Jadi, aku bukan pejuang. Adenan, Zein, dan teman-teman merekalah yang pejuang.

“Lihatlah ke cermin,” kata Inten.

Molek memandang bayangannya di cermin. Dia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. Bibir lebar yang tak disukainya itu kini sempurna dengan warna merah. Dia sering bermimpi memiliki bibir mungil seperti milik Aisyah. Kini dia tahu bah­wa bibirnya punya keindahan tersendiri, tampak penuh dan sensual. Celak hitam membuat matanya tampak besar, bening, dan tajam. Model rambut belah tengah berponi dengan ombak-ombak tebal di kedua sisi terasa pas membingkai wajah ovalnya. Dia tampak menarik dalam versi lain. Bukan kecantikan lembut rembulan, namun kecantikan menggairahkan.

“Kini kau yakin bahwa kau cantik?” Inten tersenyum.

“Ini seperti bukan aku,” kata Molek, tak percaya.

“Itu kau yang selama ini tersembunyi.”

“Terima kasih. Ini semua berkat kau. Kau sungguh baik. Bi-sakah kita berteman?” tanya Molek yang langsung dijawabnya sendiri, “Ah, tapi kau akan pergi, bukan? Jadi, percuma saja.”

“Itu permintaan yang aneh. Seumur hidup aku belum pernah mendengarnya.” Kini Inten duduk, meneruskan menggulung rambutnya sendiri. “Aku tak punya teman perempuan. Tapi, sepertinya senang sekali, ya.”

Molek mengawasi penampilan Inten. “Kenapa kau ingin pergi dari sini? Kau mencintai Tuan Hansen, sehingga mau meninggalkan tanah leluhur?”

Inten menggeleng. “Kita baru bertemu, tapi pertanyaanmu banyak. Harusnya kau tahu, ada hal yang tak bisa ditanyakan, karena terlalu pribadi.”

Molek tergagap, “Maaf, aku….”

Inten tersenyum. “Kukira, aku tidak seberuntung itu hingga bisa merasakan cinta. Hansen sangat baik. Dia melindungi dan memberi semua yang kubutuhkan. Keluarganya jauh di Belanda dan dia kesepian. Aku bisa menghibur dan membuatnya gembira. Kukira hubungan kami saling menguntungkan.”

”Wanita seperti aku ini harus pandai berhitung. Karena kami punya waktu, waktu yang tidak lama. Jadi, selagi di puncak ambillah banyak-banyak, selagi masih ada kesempatan, manfaatkan sebaik-baiknya. Karena, aku harus menyimpan untuk hari tua. Jika masaku sudah selesai, aku akan sendiri lagi, takkan ada seorang pun yang dengan sukarela merawatku. Saat ini Hansen bisa memberi segalanya. Seleraku sangat tinggi. Hanya pejabat penting seperti Hansen yang bisa memenuhinya.”

Inten mengubah raut mukanya menjadi serius. “Kau sangat beruntung, Molek. Kau akan menikah dengan lelaki baik, lalu membentuk keluarga yang selalu menjaga, merawat, dan berada di sisimu sepanjang hidup. Hidupmu akan bahagia. Aku bisa membayangkannya. Lupakan masalahmu, dan bersyukurlah dengan jalan yang sudah dipilihkan, karena itu jalan yang mulus dan indah.”

Molek memalingkan muka, menatap lurus-lurus bayangannya di cermin. Ia hanya ingin mengenal wanita yang bisa bicara begitu setara, tampak sangat istimewa dan dihormati oleh Zein. Karena, ia ingin jadi wanita seperti itu.

Molek berbaring di atas ranjang, matanya memandang langit di luar jendela. Warnanya kelabu. Pasti sebentar lagi hari akan hujan. Rumah begitu sepi, dia tidak mendengar suara siapa pun. Semua orang pasti sedang di toko, karena besok Abah berangkat berdagang. Semua sibuk mempersiapkan keberangkatan Abah. Nyai yang setiap hari biasanya menenun pun kini sedang ke pasar membeli ikan untuk membuat makanan kesukaan anaknya.

Tinggal dia sendiri. Abah melarangnya ke luar rumah. Tak lama setelah kepulangannya dari rumah Inten, Abah juga pulang. Abah begitu marah. Molek belum pernah melihat kemarahan sehebat itu.

“Apa yang kau cari di rumah perempuan itu? Apa kau sudah gila? Apa kau tidak tahu akibat yang ditimbulkannya? Sekarang seluruh kampung sedang membicarakan kelakuanmu. Padahal, kau sudah bertunangan. Entah apakah Zein masih mau mengambilmu menjadi menantu.”

“Apa salahnya pergi ke sana?” bisik Molek.

Suara Abah menggelegar. “Lihat sekarang! Penampilanmu sudah sama dengan perempuan itu. Kau mau jadi seperti dia?”

Ketika pulang dari rumah Inten, dia sengaja tidak menghapus dandanannya. Molek senang melihat banyak laki-laki melihatnya dengan kagum.

“Apa salahnya? Dia wanita hebat.”

Rasa sakit menyengat. Molek terjatuh ke belakang, tangannya memegangi pipi yang panas. Mbuk menjerit, Nyai berteriak, “Sudahlah, Anas!”

“Katakan pada anak kurang ajar itu, jika ingin menjadi manusia rusak, dia bisa pergi dari rumah ini. Jangan pernah kembali atau menyebut kami di sini keluarganya lagi. Tapi, kalau dia masih mau hidup lurus, mulai sekarang dia tak boleh keluar rumah untuk alasan apa pun!” teriak Abah pada Mbuk.

Molek mengelus pipi, rasa pedih masih tertinggal setiap kali dia ingat kejadian itu. Meski lebamnya sudah berkurang, sakit yang timbul karena dia telah melukai hati Abah tetap bertahan. Dia malu karena bersikap kurang ajar. Dia sungguh tak ingin menjadi anak durhaka.

Pintu kamar terbuka. Molek mengawasi lesu. Biasanya Nyai atau Mbuk datang membawa makanan dan minuman untuknya.

“Cek Ti,” katanya heran, melihat kakaknya.

Denti duduk di pinggir tempat tidur, menatap adiknya yang makin kurus. Molek berpikir, apakah dia harus menanyai kakaknya, dari mana saja hingga tak pernah datang menemuinya. Sudah lima hari dia mendekam di kamar, tak sekali pun Denti muncul. Abah hanya melarangnya keluar rumah, tapi Molek menghukum diri dengan tidak keluar kamar. Seisi rumah sudah bergantian mengunjunginya. Hanya Denti yang tidak pernah.

“Apa kau tak bisa menjadi anak baik?” tanya Denti.

“Apa Cek Ti ingin aku mati? Jika aku dipaksa kawin dengan Yusuf, Cek akan melihat aku mati. Aku tak ingin hidup dengan orang yang tidak kucintai. Abah dan Mbuk takkan mengerti.” Air mata Molek yang tertahan sekarang tumpah bersama emosinya yang tak terbendung lagi.

Kakaknya memandangi pintu. Dia sangat mengerti. Dia, Molek, dan Aisyah punya sifat yang sama. Bedanya hanya pada takaran. Seluruh sifat Abah yang pendiam namun sangat keras kepala diwariskan pada Molek, sementara dia dan Aisyah punya separuh warisan Mbuk yang lebih terbuka dan suka mengalah.


Penulis: Lisa Andriy


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?